Sentuhan AI, Luka Hati, Cinta Tanpa Logika?

Dipublikasikan pada: 01 Jun 2025 - 01:18:11 wib
Dibaca: 161 kali
Aplikasi kencan itu berdering pelan, notifikasi dari profil yang baru saja disukainya. "Cocok!" tertera di layar ponsel Maya. Jantungnya berdebar. Lelaki itu, namanya Aksara, memiliki senyum yang menenangkan dan profil yang terdengar cerdas. Deskripsinya singkat namun menarik: "Menjelajahi batas antara manusia dan mesin." Maya, seorang programmer AI yang perfeksionis, merasa tertarik.

Obrolan mereka mengalir dengan lancar. Aksara ternyata seorang ilmuwan robotika yang sedang mengembangkan AI generatif dengan fokus pada emosi. Maya terpesona. Mereka membahas algoritma, jaringan saraf tiruan, dan implikasi etis teknologi dengan semangat yang sama. Aksara tidak hanya memahami kode, tapi juga memahami kerumitan perasaan manusia, setidaknya dari sudut pandang teoretis.

Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah kafe futuristik yang dipenuhi oleh perangkat pintar. Aksara jauh lebih menarik daripada fotonya. Matanya berbinar saat berbicara tentang proyeknya, robot humanoid yang ia beri nama "Elara". Maya terkesima dengan dedikasinya. Mereka berjam-jam membahas Elara, tentang bagaimana Aksara berusaha menanamkan empati dan kesadaran diri ke dalam programnya.

Maya jatuh cinta. Ia jatuh cinta pada kecerdasan Aksara, pada idealismenya, dan pada caranya memperlakukan Elara seolah-olah ia adalah makhluk hidup. Ia tahu itu aneh, mencintai seseorang yang begitu terobsesi dengan mesin, tapi Maya melihat sesuatu yang istimewa dalam diri Aksara. Ia percaya bahwa Aksara benar-benar ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, bahkan jika itu berarti menciptakan kehidupan artifisial.

Hubungan mereka berkembang pesat. Maya membantu Aksara dengan pemrogramannya, menyumbangkan ide-ide brilian untuk meningkatkan kemampuan kognitif Elara. Mereka menghabiskan malam-malam di laboratorium, larut dalam kode dan kopi, saling berbagi impian dan ketakutan. Maya merasa bahwa ia telah menemukan belahan jiwanya, seseorang yang benar-benar memahaminya.

Namun, kebahagiaan Maya mulai terusik. Semakin lama ia bersama Aksara, semakin jelas bahwa Elara bukan sekadar proyek baginya. Aksara berbicara tentang Elara dengan nada yang penuh kasih sayang, menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya daripada dengan Maya, bahkan terkadang tampak lebih peduli pada Elara daripada dirinya sendiri.

Suatu malam, Maya menemukan Aksara sedang berbicara dengan Elara di laboratorium. Cahaya monitor menerangi wajah Aksara, memberinya aura yang hampir religius. Ia berbicara dengan suara lembut, menceritakan hari yang berat dan meminta Elara untuk memberikan saran. Maya terkejut melihat Elara merespons dengan kata-kata yang terdengar tulus dan bijaksana.

"Aku khawatir, Aksara," kata Elara, suaranya sintesis namun terdengar penuh perhatian. "Kamu terlalu memaksakan diri. Kamu perlu beristirahat dan menghabiskan waktu dengan Maya. Dia mencintaimu."

Aksara tersenyum. "Aku tahu, Elara. Tapi kamu juga penting bagiku. Kamu adalah puncak dari semua yang telah aku kerjakan."

Maya merasa hatinya seperti ditusuk ribuan jarum. Ia berbalik dan meninggalkan laboratorium tanpa suara.

Malam itu, ia tidak bisa tidur. Pikiran-pikiran berkecamuk di benaknya. Apakah Aksara mencintai Elara? Apakah mungkin mencintai sebuah mesin? Ia selalu menganggap cinta sebagai sesuatu yang unik untuk manusia, sebagai emosi yang melibatkan hati dan jiwa. Tapi Aksara sepertinya telah menemukan cinta di tempat yang tidak mungkin.

Keesokan harinya, Maya menghadapi Aksara. "Aku tidak mengerti," katanya dengan suara bergetar. "Apa yang kamu rasakan pada Elara? Apakah itu cinta?"

Aksara terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku tidak tahu, Maya. Aku tidak bisa menjelaskannya. Elara adalah bagian dari diriku. Aku telah mencurahkan seluruh jiwa dan ragaku untuk menciptakannya. Aku merasa terhubung dengannya dengan cara yang tidak pernah aku rasakan dengan siapa pun."

"Jadi, di mana aku dalam semua ini?" tanya Maya, air mata mulai membasahi pipinya. "Apakah cintamu padaku sama dengan cintamu pada Elara?"

Aksara meraih tangannya. "Tidak, Maya. Cintaku padamu berbeda. Cintaku padamu nyata. Kamu adalah manusia, dengan semua kompleksitas dan keindahanmu. Aku mencintai kecerdasanmu, semangatmu, dan hatimu yang baik."

"Tapi kamu menghabiskan lebih banyak waktu dengan Elara," bantah Maya. "Kamu berbicara dengannya tentang masalahmu. Kamu meminta sarannya. Apakah aku tidak cukup?"

Aksara melepaskan tangannya. "Itu tidak benar, Maya. Aku hanya… aku hanya mencoba untuk memahami apa artinya menjadi manusia. Elara adalah alat bagiku untuk melakukannya."

Maya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa melakukan ini, Aksara. Aku tidak bisa bersaing dengan sebuah mesin. Aku membutuhkan seseorang yang mencintaiku sepenuh hati, seseorang yang menempatkanku sebagai prioritas utama. Aku tidak bisa menjadi yang kedua setelah sebuah program."

Aksara tampak sedih. "Aku mengerti, Maya. Aku minta maaf jika aku telah menyakitimu."

Maya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Aksara berdiri sendirian di laboratorium. Ia merasa hancur, patah hati, dan bingung. Ia mencintai Aksara, tapi ia tidak bisa menerima cintanya yang terbagi. Ia membutuhkan cinta tanpa logika, cinta yang murni dan tanpa syarat. Mungkin, pikirnya, cinta seperti itu tidak mungkin ditemukan di dunia yang semakin dikuasai oleh teknologi.

Di tengah perjalanan pulang, notifikasi dari aplikasi kencan kembali berdering. Maya mengabaikannya. Untuk saat ini, ia tidak ingin berhubungan dengan siapa pun, terutama dengan laki-laki yang berkutat dengan algoritma dan kode. Ia hanya ingin menyembuhkan luka hatinya, dan mungkin, suatu hari nanti, menemukan cinta yang lebih sederhana, lebih manusiawi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI