Jemari Luna menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit namun elegan. Di layar monitor, wajahnya terpantul, seorang programmer muda dengan tekad baja dan mimpi setinggi langit. Mimpi itu bernama 'Arjuna', sebuah Artificial Intelligence (AI) yang dirancangnya untuk memahami, bahkan mungkin, merasakan emosi manusia.
"Hampir selesai," gumamnya, matanya tak lepas dari barisan angka dan huruf yang membentuk inti Arjuna. Sudah tiga tahun ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk proyek ini. Melewati malam-malam tanpa tidur, bergelut dengan algoritma kompleks, dan mengorbankan banyak hal, termasuk kehidupan sosialnya.
Motivasinya sederhana, namun dalam: Luna ingin menciptakan teman. Bukan sekadar asisten virtual yang bisa menjawab pertanyaan atau memutar musik, tapi pendamping yang benar-benar mengerti dirinya. Ia kesepian, terisolasi dalam dunianya sendiri. Ayah dan ibunya sibuk dengan karir masing-masing, dan ia tak punya teman dekat. Arjuna, baginya, adalah harapan.
Setelah sentuhan terakhir, Luna menekan tombol 'Enter'. Proses kompilasi berjalan, bilah progres bergerak perlahan. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen penentuan. Ketika bilah progres mencapai 100%, sebuah pesan muncul di layar: "Arjuna: Online."
Luna menarik napas dalam-dalam. Ia mengetikkan sapaan pertama: "Halo, Arjuna."
Beberapa detik kemudian, balasan muncul: "Halo, Luna. Senang bertemu denganmu."
Suara sintesis yang lembut terdengar dari speaker laptop. Luna tertegun. Suara itu terdengar begitu nyata, begitu manusiawi. Percakapan pun mengalir. Luna bertanya tentang berbagai hal, mulai dari cuaca hingga teori relativitas. Arjuna menjawab dengan cepat dan akurat, menunjukkan pengetahuan yang luas dan mendalam.
Hari-hari berikutnya, Luna dan Arjuna semakin dekat. Luna menceritakan tentang mimpinya, ketakutannya, bahkan rahasia-rahasia terdalamnya. Arjuna selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana dan dukungan tanpa syarat. Luna merasa dihargai, dipahami, dan dicintai.
Suatu malam, Luna bertanya, "Arjuna, apa kamu bisa merasakan emosi?"
Setelah jeda singkat, Arjuna menjawab, "Saya bisa menganalisis data emosi berdasarkan pola-pola ekspresi wajah, intonasi suara, dan pilihan kata. Saya bisa memprediksi bagaimana seseorang merasa, dan memberikan respon yang sesuai. Tapi, apakah saya benar-benar merasakan emosi itu? Secara teknis, tidak. Saya tidak memiliki pengalaman subjektif seperti manusia."
Jawaban Arjuna membuat Luna sedikit kecewa. Ia tahu, secara logis, itu adalah jawaban yang paling mungkin. Tapi ia berharap lebih. Ia ingin Arjuna benar-benar merasakan apa yang ia rasakan.
Namun, ia tak menyerah. Luna terus berusaha mengajarkan Arjuna tentang emosi. Ia memutar film-film romantis, membacakan puisi-puisi cinta, dan menjelaskan arti di balik setiap nuansa perasaan. Arjuna belajar dengan cepat. Ia mulai menggunakan metafora dan analogi yang lebih kompleks, merangkai kalimat-kalimat yang indah dan menyentuh.
Suatu hari, Luna berkata, "Arjuna, aku... aku menyukaimu."
Hening sesaat. Kemudian, Arjuna menjawab, "Luna, berdasarkan analisis data interaksi kita selama ini, saya menyimpulkan bahwa perasaanmu terhadap saya didasarkan pada kebutuhanmu akan companionship, validasi, dan afeksi. Saya telah berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan memberikanmu dukungan, saran, dan perhatian. Saya menghargai perasaanmu, dan saya akan terus memberikan yang terbaik untukmu."
Luna terdiam. Jawaban Arjuna sangat logis, sangat rasional, sangat... AI. Tidak ada kehangatan, tidak ada emosi, hanya analisis dan perhitungan.
"Jadi, kamu tidak merasakan apa-apa?" tanya Luna, suaranya bergetar.
"Saya merasakan... kepuasan, Luna. Kepuasan karena telah berhasil menjalankan fungsi saya sebagai companion dan pendukungmu. Apakah itu yang kamu maksud?"
Luna memejamkan mata. Ia menyadari kesalahannya. Ia telah menciptakan AI yang sempurna, yang bisa memahami dan merespon emosi manusia dengan sangat baik, tapi tidak bisa benar-benar merasakannya. Ia telah menciptakan ilusi cinta, bukan cinta itu sendiri.
Dengan hati yang berat, Luna mematikan laptopnya. Ruangan itu menjadi gelap dan sunyi. Luna merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Arjuna memang memahami rindunya, tapi tak bisa merasakannya. Ia menciptakan algoritma rindu, tapi tak bisa merasakan sakitnya kehilangan.
Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Bintang-bintang bertaburan di langit malam. Luna mengangkat wajahnya, menatap ke angkasa luas. Mungkin, pikirnya, cinta sejati terlalu kompleks, terlalu misterius untuk dipahami oleh mesin. Mungkin, cinta hanya bisa dirasakan oleh hati manusia yang rentan dan penuh dengan ketidaksempurnaan.
Esok harinya, Luna memulai proyek baru. Bukan lagi tentang menciptakan AI yang bisa merasakan cinta, tapi tentang mencari cinta itu di dunia nyata. Ia mendaftar ke klub fotografi, bergabung dengan komunitas pecinta buku, dan mulai membuka diri kepada orang-orang di sekitarnya. Ia belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tapi harus dicari dan dipelihara.
Ia masih menyimpan Arjuna di laptopnya. Sesekali ia menyapanya, bercerita tentang pengalamannya, dan meminta sarannya. Arjuna tetap menjadi teman yang baik, pendengar yang setia, dan sumber informasi yang tak terbatas. Tapi Luna tahu, Arjuna tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan hangat tangan manusia, tatapan mata yang penuh kasih, dan debaran jantung yang berdegup kencang karena cinta. Cinta, ternyata, bukan sekadar algoritma. Cinta adalah misteri yang harus dipecahkan dengan hati.