Di Balik Layar Sentuh: Cinta Bersemi, Piksel Merayu?

Dipublikasikan pada: 04 Sep 2025 - 00:40:12 wib
Dibaca: 132 kali
Jemari Riana menari di atas layar sentuh, menghasilkan kode-kode rumit yang membentuk aplikasi kencan bernama "Soulmate Algorithm." Di balik kacamatanya yang bingkai persegi, mata Riana fokus, sesekali mengerutkan kening lalu tersenyum puas saat baris kode berhasil dieksekusi. Baginya, cinta itu algoritma. Sebuah persamaan rumit yang bisa disederhanakan menjadi data, dianalisis, dan akhirnya, menghasilkan pasangan yang sempurna. Ironis, karena di usianya yang ke-28, Riana sendiri masih berstatus "single" – sebuah anomali yang menggelitik di dalam labirin logika yang ia bangun sendiri.

Di seberang ruang kantor yang dipenuhi aroma kopi dan dengungan komputer, duduklah Arya. Tim desain grafis adalah dunianya. Ia seorang seniman digital, menciptakan visualisasi yang membuat "Soulmate Algorithm" tampak menarik dan mudah digunakan. Arya percaya pada kekuatan sentuhan manusia, pada tatapan mata yang berbicara lebih dari ribuan kata, pada getaran hati yang tak bisa diukur dengan angka. Ia sering menggoda Riana, menyebutnya "Ratu Algoritma" dengan nada bercanda yang sebenarnya menyimpan kekaguman.

Pertemuan mereka awalnya hanya sebatas urusan pekerjaan. Riana memberikan spesifikasi teknis, Arya menyulapnya menjadi tampilan yang memikat. Namun, lama kelamaan, interaksi mereka berkembang. Diskusi tentang palet warna berubah menjadi perdebatan tentang filosofi cinta. Riana, dengan logikanya yang dingin, berusaha meyakinkan Arya bahwa emosi itu irasional dan tidak efisien. Arya, dengan senyumnya yang hangat, membalas bahwa cinta itu bukan masalah efisiensi, melainkan keindahan yang tak terduga.

Suatu malam, Riana terjebak di kantor karena bug parah yang menyerang sistem pencocokan. Frustrasinya memuncak. Algoritmanya, yang seharusnya presisi dan sempurna, justru menampilkan hasil yang absurd: pengacara yang cocok dengan peselancar, guru balet yang berjodoh dengan tukang las. Arya, yang kebetulan masih di kantor untuk menyelesaikan desain promosi, melihat keputusasaan Riana. Ia mendekat, menyodorkan secangkir teh hangat dan sepiring kue kering buatan ibunya.

"Mungkin," kata Arya perlahan, "algoritmamu terlalu sempurna. Mungkin cinta itu bukan tentang menemukan kesamaan, tapi tentang merayakan perbedaan."

Riana menatap Arya, terkejut dengan kedalaman kata-katanya. Ia selalu fokus pada data, pada pola, hingga melupakan bahwa manusia itu kompleks, penuh kontradiksi, dan justru di situlah letak daya tariknya. Malam itu, di tengah hiruk pikuk kode dan desain, mereka berdua mulai memahami satu sama lain lebih dalam. Riana menceritakan kesepiannya, ketakutannya akan penolakan, kerinduannya akan koneksi yang tulus. Arya mendengarkan dengan sabar, berbagi cerita tentang masa kecilnya yang bahagia, mimpinya untuk berkeliling dunia, dan keyakinannya bahwa cinta itu ada di mana-mana, menunggu untuk ditemukan.

Setelah perbaikan bug selesai, Riana merasa berbeda. Ia tidak hanya berhasil memperbaiki programnya, tapi juga membuka hatinya. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Arya: caranya tertawa, cara ia menggigit bibir saat berkonsentrasi, cara ia selalu membawa bekal makan siang buatan ibunya. Ia menyadari bahwa di balik senyum cerah Arya, tersimpan kesedihan yang mendalam karena kehilangan ayahnya beberapa tahun lalu.

Arya pun merasakan perubahan pada Riana. Ia tidak lagi melihatnya sebagai "Ratu Algoritma" yang dingin, melainkan sebagai wanita yang cerdas, sensitif, dan memiliki hati yang besar. Ia terpesona dengan kecerdasannya, kagum dengan dedikasinya, dan tergerak oleh kerapuhannya.

Beberapa minggu kemudian, perusahaan mengadakan pesta perayaan atas kesuksesan "Soulmate Algorithm." Riana, yang biasanya menghindar dari keramaian, memutuskan untuk hadir. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru yang dibelikan oleh ibunya. Saat melihat Arya tersenyum padanya dari kejauhan, Riana merasakan sesuatu yang aneh di dalam dadanya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan algoritma.

Di tengah musik yang bising dan obrolan yang riuh, Arya menghampiri Riana. Ia meraih tangannya, menatap matanya, dan berkata, "Riana, aku tahu ini mungkin terdengar konyol, tapi kurasa algoritmamu telah bekerja. Hanya saja, mungkin hasilnya bukan seperti yang kamu harapkan."

Riana tersenyum. "Maksudmu?"

Arya mendekat, berbisik di telinganya, "Mungkin, algoritma itu mengirimkanku padamu, dan kamu padaku."

Riana terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Mungkin kamu benar."

Mereka berdansa malam itu, di bawah lampu disko yang berputar-putar. Bukan tarian yang sempurna, bukan pula tarian yang anggun. Tapi tarian yang jujur, tarian yang mengungkapkan perasaan yang selama ini mereka sembunyikan. Saat tangan mereka saling menggenggam erat, Riana menyadari bahwa cinta memang bukan algoritma. Cinta itu lebih dari sekadar data dan persamaan. Cinta itu tentang keberanian untuk membuka hati, tentang keikhlasan untuk menerima perbedaan, dan tentang kepercayaan bahwa di balik layar sentuh, di balik piksel-piksel yang merayu, ada hati yang menunggu untuk dicintai. Malam itu, di balik layar sentuh, cinta bersemi. Bukan karena algoritma, tapi karena keajaiban hati yang saling menemukan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI