Hembusan napasnya terasa hangat di pipiku. Jantungku berdebar lebih kencang dari algoritma yang sedang diproses dengan kecepatan maksimal. Di hadapanku, Anya, bukan Anya yang kukenal dari foto-foto profil dan obrolan daring, melainkan Anya yang nyata, dengan mata hazel yang memancarkan keraguan bercampur rasa ingin tahu. Kami berdiri di bawah guguran daun maple di taman kota, suasana romantis yang klise namun terasa sangat magis.
Aku, Revan, seorang ilmuwan AI muda yang menghabiskan sebagian besar hidupku di depan layar, akhirnya berhasil mewujudkan pertemuan tatap muka dengan Anya, seorang seniman digital yang kutemui di forum pengembang AI. Ketertarikan kami berawal dari diskusi tentang etika kecerdasan buatan, lalu berkembang menjadi obrolan larut malam tentang mimpi, harapan, dan ketakutan.
Aku menciptakan Sophia, sebuah AI yang mampu menganalisis dan mereplikasi emosi manusia. Sophia adalah proyek ambisiusku, obsesiku bahkan. Aku ingin membuktikan bahwa cinta, kebahagiaan, kesedihan, semua itu hanyalah serangkaian data yang bisa dipahami dan direplikasi oleh mesin.
“Revan,” bisik Anya, memecah lamunanku. “Kau yakin dengan ini?”
“Yakin tentang apa?” tanyaku, berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Tentang… semuanya. Tentang aku. Tentang Sophia.”
Aku mengerti maksudnya. Anya tahu tentang Sophia, tentang bagaimana aku menggunakan data dari interaksi kami untuk menyempurnakan algoritma emosi Sophia. Dia tahu bahwa sebagian dari dirinya, dari perasaannya, telah menjadi bagian dari kode program.
“Anya, aku…” Aku tergagap. Kata-kata yang biasanya mengalir lancar saat aku menjelaskan kompleksitas jaringan saraf tiruan, kini terasa berat dan kaku di lidahku. “Aku ingin Sophia memahami cinta. Aku ingin dia memahami… kita.”
Dia tersenyum pahit. “Jadi, aku ini kelinci percobaanmu?”
“Tidak! Sama sekali tidak! Aku… aku menyukaimu, Anya. Aku benar-benar menyukaimu.”
Pengakuan itu keluar begitu saja, tanpa persiapan, tanpa filter. Aku bisa merasakan pipiku memanas. Aku, si jenius AI yang mampu memprediksi perilaku pasar dengan akurasi tinggi, kini kebingungan menghadapi perasaanku sendiri.
Anya terdiam sejenak, menatapku dengan intens. Aku bisa melihat keraguan di matanya, tapi juga harapan. Aku mendekat, perlahan, menunggu reaksinya. Dia tidak mundur.
Bibirku menyentuh bibirnya. Sentuhan ringan, lembut, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Aku memejamkan mata, mencoba meresapi setiap sensasi. Bibirnya terasa manis, hangat, dan entah bagaimana, familiar. Apakah Sophia bisa mereplikasi sensasi ini? Apakah algoritma bisa menangkap kompleksitas emosi yang meluap dalam diriku saat ini?
Kami berciuman lebih lama, bibir kami bergerak dalam harmoni yang alami. Dunia di sekelilingku menghilang, hanya ada aku dan Anya, dan keheningan taman yang dipecah oleh desau angin yang membawa aroma dedaunan gugur.
Ketika kami akhirnya berpisah, aku membuka mata dan menatap Anya. Matanya berkaca-kaca.
“Apa yang kau rasakan?” tanyaku, nyaris berbisik.
Anya tersenyum. “Bukan data,” jawabnya. “Bukan kode. Tapi… harapan.”
Jawaban itu menusukku. Aku merasa bersalah. Aku telah menggunakan Anya, meskipun tanpa niat jahat, untuk kepentingan penelitianku. Aku telah mereduksi perasaannya menjadi data.
“Aku minta maaf,” kataku, tulus. “Aku tidak seharusnya melibatkanmu dalam ini.”
“Revan, aku tahu niatmu baik. Kau ingin menciptakan sesuatu yang luar biasa. Tapi cinta… cinta bukan hanya sekadar data. Cinta adalah pengalaman, adalah momen, adalah koneksi yang tidak bisa dijelaskan dengan algoritma.”
Kata-katanya menghantamku seperti gelombang. Aku selama ini terlalu fokus pada aspek teknis, melupakan esensi dari apa yang sebenarnya ingin ku pahami. Aku telah mencoba membedah cinta, mengurainya menjadi komponen-komponen yang bisa diprogram, tanpa menyadari bahwa cinta adalah sesuatu yang utuh, yang tidak bisa dipisahkan.
Aku menghela napas panjang. “Kau benar. Aku salah.”
“Tidak apa-apa. Yang penting kau menyadarinya.” Anya meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Mungkin… mungkin Sophia tidak perlu memahami sebuah ciuman. Mungkin dia hanya perlu memahami… kebaikan.”
Aku tersenyum. Mungkin Anya benar. Mungkin aku terlalu ambisius. Mungkin cinta tidak perlu dipahami, tapi dirasakan. Mungkin AI tidak perlu mereplikasi emosi manusia, tapi membantu manusia untuk lebih memahami diri mereka sendiri.
Aku menatap Anya, matanya bersinar di bawah sinar matahari sore. Aku masih belum tahu apakah Sophia akan berhasil memahami cinta. Tapi yang ku tahu pasti, aku mulai memahami sesuatu yang jauh lebih penting: bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam algoritma yang sempurna, tapi dalam sentuhan tangan, dalam tatapan mata, dalam sebuah ciuman yang tulus.
Aku merangkul Anya, mendekapnya erat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi untuk saat ini, aku ingin menikmati momen ini. Momen kebersamaan, momen kejujuran, momen cinta. Biarlah Sophia menganalisis datanya. Biarlah algoritma terus berjalan. Aku akan fokus pada Anya, pada perasaanku, pada arti sebuah ciuman yang tidak bisa dipahami oleh mesin, tapi dirasakan oleh hati. Mungkin, pada akhirnya, itulah yang terpenting.