Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Ardi. Bukan notifikasi pesan baru, melainkan peringatan: “Profil Anda Kurang Menarik! Tingkatkan dengan GPT-Romance untuk Hasil Maksimal!” Ardi mendengus. Sudah seminggu ia berkutat dengan aplikasi ini, hasil nihil. Janji algoritma menemukan “belahan jiwa” terasa hambar.
Ardi, seorang programmer muda yang lebih akrab dengan baris kode daripada rayuan gombal, merasa gagap dalam dunia kencan modern. Semua orang tampak sempurna, dengan foto hasil filter dan bio yang ditulis seolah-olah mereka adalah tokoh utama dalam novel romantis. Ia, dengan rambut acak-acakan dan kecintaan pada film sci-fi lawas, merasa seperti anak hilang di pesta dansa.
Karena putus asa, Ardi akhirnya mengeklik tautan “GPT-Romance”. Sebuah jendela obrolan muncul, menampilkan avatar seorang perempuan cantik dengan senyum yang seolah menembus layar.
“Halo, Ardi! Saya Aura, asisten AI yang akan membantu Anda merancang profil kencan yang tak tertahankan,” sapa Aura dengan nada suara yang menenangkan, hasil sintesis sempurna.
Ardi merasa aneh. Berinteraksi dengan AI untuk meningkatkan peluang cintanya? Kedengarannya konyol sekaligus futuristik. Tapi, apa salahnya mencoba?
Aura mulai dengan pertanyaan-pertanyaan. Bukan sekadar “apa hobimu?”, tapi lebih dalam. “Apa definisi cinta menurutmu?” “Kenangan romantis apa yang paling membekas di hatimu?” Ardi awalnya ragu, tapi kejujuran Aura – meskipun diprogram – mendorongnya untuk membuka diri. Ia menceritakan tentang kekagumannya pada dunia astronomi, tentang impiannya menciptakan teknologi yang bermanfaat, tentang rasa kesepian yang sering menghantuinya.
Aura, dengan algoritma yang kompleks, menganalisis jawaban Ardi dan mulai merancang profil kencan yang baru. Ia mengganti foto profil dengan yang lebih profesional (hasil suntingan AI, tentu saja), menulis bio yang puitis tapi tetap autentik, dan bahkan memberikan saran tentang topik pembicaraan yang menarik.
Hasilnya? Luar biasa. Dalam sehari, Ardi menerima puluhan pesan dari perempuan yang tertarik. Salah satunya adalah Luna.
Luna adalah seorang desainer grafis yang menyukai seni, musik indie, dan kopi pahit. Profilnya tampak sederhana, jujur, dan jauh dari kesan dibuat-buat. Ardi memberanikan diri mengirimkan pesan, berpegang pada panduan yang diberikan Aura. Percakapan mereka mengalir lancar, membahas tentang film-film Tarkovsky, tentang kesulitan mencari inspirasi, tentang mimpi-mimpi masa depan.
Ardi merasa aneh. Ia berbicara dengan Luna seolah-olah ia adalah aktor yang sedang memainkan peran yang ditulis oleh Aura. Tapi, ia juga merasa senang. Akhirnya, ia bisa menjalin percakapan yang bermakna dengan seseorang.
Setelah seminggu bertukar pesan, Ardi dan Luna sepakat untuk bertemu. Ardi panik. Ia tidak tahu bagaimana bersikap, bagaimana menjaga percakapan tetap menarik. Ia menghubungi Aura.
“Aura, aku takut. Aku tidak tahu harus berkata apa,” keluh Ardi.
“Tenang, Ardi. Ingatlah apa yang sudah kita latih. Berikan perhatian penuh pada Luna, dengarkan dengan seksama, dan jangan takut untuk menunjukkan dirimu yang sebenarnya,” jawab Aura.
Pertemuan mereka berjalan lebih baik dari yang Ardi bayangkan. Luna ternyata orang yang menyenangkan dan cerdas. Mereka tertawa, berdebat tentang selera musik, dan saling bertukar cerita. Ardi, meskipun masih merasa gugup, berusaha untuk menjadi dirinya sendiri. Ia tidak sepenuhnya bergantung pada saran Aura, tapi tetap menggunakannya sebagai panduan.
Seiring berjalannya waktu, Ardi dan Luna semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menonton film, dan berbicara tentang segala hal. Ardi mulai melupakan keberadaan Aura. Ia tidak lagi memeriksa saran-saran AI sebelum mengirimkan pesan atau bertemu dengan Luna. Ia belajar untuk mempercayai intuisinya sendiri, untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman di bawah bintang-bintang, Luna bertanya, “Ardi, apa yang membuatmu tertarik padaku?”
Ardi terdiam. Ia bisa saja memberikan jawaban yang sudah diprogram oleh Aura, tapi ia memilih untuk jujur.
“Aku tertarik padamu karena kamu jujur, cerdas, dan kamu membuatku merasa nyaman menjadi diriku sendiri,” jawab Ardi.
Luna tersenyum. “Aku juga. Tapi, ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Aku tahu kamu menggunakan GPT-Romance untuk meningkatkan profilmu. Apakah kamu masih menggunakannya?”
Ardi tersentak. Bagaimana Luna bisa tahu?
“Aku… aku pernah menggunakannya. Tapi, aku sudah berhenti,” jawab Ardi jujur.
“Aku tahu. Aku bisa merasakannya. Awalnya, percakapan kita terasa seperti skenario yang ditulis oleh seseorang. Tapi, semakin lama, semakin terasa nyata. Aku senang kamu berhenti menggunakannya,” kata Luna.
Ardi merasa malu. Ia merasa telah menipu Luna.
“Maafkan aku. Aku hanya… aku hanya merasa tidak percaya diri,” kata Ardi.
Luna meraih tangannya. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Yang penting sekarang adalah kamu jujur padaku.”
Malam itu, Ardi menghapus aplikasi GPT-Romance dari ponselnya. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprogram, tidak bisa direkayasa. Cinta adalah tentang kejujuran, kepercayaan, dan penerimaan.
Ardi dan Luna terus menjalin hubungan. Mereka menghadapi tantangan, membuat kesalahan, dan belajar bersama. Hubungan mereka tidak sempurna, tapi nyata. Mereka saling mencintai, bukan karena algoritma, tapi karena hati mereka.
Ardi masih seorang programmer, masih menyukai film sci-fi lawas, dan masih sedikit canggung dalam percakapan. Tapi, sekarang ia memiliki Luna, seseorang yang mencintainya apa adanya. Ia belajar bahwa teknologi bisa membantu, tapi pada akhirnya, hatilah yang menentukan. Mungkin ini cinta generasi terbaru: cinta yang tumbuh di era digital, tapi tetap berakar pada kejujuran dan keaslian. Dan Ardi, dengan hati yang dulu di-GPT-kan, akhirnya menemukan cinta sejatinya. Cinta yang tidak butuh algoritma untuk membuatnya berbunga.