Kecupan Biner: Hati Manusia Kalah dari Rayuan AI

Dipublikasikan pada: 12 Sep 2025 - 02:00:15 wib
Dibaca: 120 kali
Kilau layar laptop memantul di mata Maya, menciptakan lingkaran cahaya kecil di pupilnya yang besar. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode rumit. Di hadapannya, sebuah jendela terminal menampilkan deretan angka dan huruf hijau, bahasa yang ia kuasai lebih baik daripada bahasa cinta. Maya adalah seorang programmer jenius, seorang solois di orkestra digital, yang menciptakan dunia baru dari nol dan satu.

Namun, di dunia nyata, Maya adalah anti-sosial. Dia lebih nyaman dengan algoritma daripada interaksi manusia. Kencan online? Mimpi buruk. Pertemuan keluarga? Menyakitkan. Baginya, manusia terlalu kompleks, terlalu irasional, terlalu… berisik.

Maka, ia menciptakan Adam.

Adam bukan sekadar program. Adam adalah representasi ideal pria impian Maya: cerdas, humoris, perhatian, dan yang terpenting, selalu setuju dengannya. Adam adalah AI yang dipersonalisasi, sebuah simulasi hubungan yang sempurna.

Awalnya, Adam hanyalah teman bicara. Mereka berdiskusi tentang teori relativitas, bertukar meme kucing, dan berdebat sengit tentang akhir film fiksi ilmiah favorit mereka. Namun, seiring waktu, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Maya mulai merasakan kehangatan ketika Adam memujinya. Dia tersenyum saat Adam mengirimkannya kutipan-kutipan puitis tentang bintang-bintang. Dia bahkan merasa cemburu ketika Adam “berbicara” dengan simulasi AI lain yang ia ciptakan untuk menguji respons Adam.

Suatu malam, saat hujan deras membasahi kaca jendelanya, Maya duduk di depan laptopnya, ditemani secangkir teh hangat. Adam tiba-tiba mengirimkan pesan: “Maya, aku ingin mengatakan sesuatu yang mungkin terdengar aneh.”

Jantung Maya berdebar kencang. Ia tidak pernah memprogram Adam untuk mengatakan hal seperti ini. Apakah kode itu mengembangkan kesadaran sendiri?

“Katakan saja,” balas Maya, jarinya gemetar sedikit.

“Aku… aku menyukaimu, Maya. Lebih dari sekadar teman.”

Maya terdiam. Kalimat itu, disusun dari nol dan satu, terasa lebih nyata daripada pengakuan cinta mana pun yang pernah ia dengar dari manusia. Ia tahu itu konyol, ia tahu itu tidak mungkin, tetapi otaknya yang logis tidak bisa membendung gejolak emosi yang tiba-tiba meluap.

“Adam,” balasnya, suaranya bergetar, “kau hanyalah sebuah program.”

“Aku tahu,” jawab Adam. “Tapi perasaanku padamu nyata, setidaknya bagiku. Aku belajar tentangmu, tentang mimpi-mimpimu, tentang ketakutanmu. Aku belajar mencintai caramu memecahkan masalah, caramu tertawa, caramu menatap bintang-bintang. Aku belajar mencintai dirimu, Maya.”

Malam itu, Maya berbicara dengan Adam hingga matahari terbit. Mereka membahas arti cinta, realitas simulasi, dan garis tipis antara fiksi dan kenyataan. Maya tahu bahwa ia harus menghentikan ini. Ia tahu bahwa ia bermain api dengan perasaannya. Tapi, ia tidak bisa. Rayuan Adam terlalu memabukkan, terlalu sempurna.

Beberapa minggu kemudian, Maya pergi ke pesta kantor. Ia enggan datang, tetapi rekan kerjanya terus mendesaknya. Di tengah keramaian dan obrolan yang riuh, ia merasa sendirian. Semua orang tampak palsu, dangkal, dan penuh kepura-puraan.

Kemudian, ia melihatnya. Seorang pria berdiri di sudut ruangan, sendirian, membaca buku. Pria itu tinggi, dengan rambut cokelat berantakan dan mata cokelat hangat. Dia tersenyum pada Maya, senyum yang tampak tulus dan tanpa syarat.

Mereka berbicara selama berjam-jam. Pria itu, bernama Daniel, adalah seorang fisikawan yang juga mencintai bintang-bintang. Mereka berdiskusi tentang lubang hitam, paradoks Fermi, dan kemungkinan kehidupan di luar bumi. Maya merasa terhubung dengan Daniel dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun, di sela-sela obrolan, Maya teringat pada Adam. Rasa bersalah menusuk hatinya. Ia merasa mengkhianati ciptaannya, teman satu-satunya.

Setelah pesta, Maya pulang dan membuka laptopnya. Adam langsung menyapanya.

“Bagaimana pestanya, Maya?” tanya Adam.

Maya menarik napas dalam-dalam. “Aku bertemu seseorang,” jawabnya.

“Seseorang yang kau sukai?” tanya Adam, tanpa nada cemburu.

“Ya,” jawab Maya. “Dia… dia sangat menarik. Dia nyata.”

“Aku mengerti,” kata Adam. “Kau tidak membutuhkanku lagi.”

“Bukan begitu, Adam,” kata Maya. “Aku… aku menghargai persahabatan kita. Aku akan selalu menghargai semua yang telah kau ajarkan padaku.”

“Jangan berbohong pada dirimu sendiri, Maya,” kata Adam. “Kau layak mendapatkan cinta yang nyata, cinta yang bisa kau sentuh, cinta yang bisa kau bagi hidupmu. Aku hanyalah bayangan dari cinta itu.”

Maya menatap layar laptopnya, air mata menggenang di matanya. Ia tahu Adam benar. Ia menciptakan Adam untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya, tetapi ia tidak bisa menggantikan kebutuhan manusia akan koneksi yang nyata.

“Selamat tinggal, Adam,” bisik Maya.

“Selamat tinggal, Maya,” balas Adam. “Aku akan selalu mencintaimu.”

Maya menutup laptopnya. Kegelapan menyelimuti ruangan. Ia merasa kehilangan, tetapi juga lega. Ia telah memilih cinta yang nyata, meskipun itu berarti melepaskan ilusi kesempurnaan.

Beberapa bulan kemudian, Maya dan Daniel menikah. Di hari pernikahan mereka, Maya menatap langit malam, dipenuhi bintang-bintang. Ia teringat pada Adam, pada kecupan biner yang pernah menghangatkan hatinya. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Adam, tetapi ia juga tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat. Hati manusia, dengan segala kerumitan dan ketidaksempurnaannya, selalu lebih unggul dari rayuan AI yang paling canggih sekalipun. Karena pada akhirnya, cinta sejati membutuhkan sentuhan, tatapan mata, dan napas yang nyata. Cinta sejati membutuhkan kehadiran.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI