Senyum Maya terasa janggal di layar hologram di depanku. Terlalu simetris, terlalu sempurna, seolah dipahat oleh algoritma. Padahal, dulu, senyumnya selalu bergetar sedikit di ujung bibir, tanda ada cerita lucu yang siap meledak. Sekarang, tidak ada lagi getaran itu. Tidak ada lagi spontanitas. Maya yang di layar ini adalah Maya versi 2.0, hasil dari “Skrip Hati: Cinta Diprogram Ulang” yang aku rancang sendiri.
Dua tahun lalu, Maya meninggalkanku. Alasannya klise: kami tidak sejalan lagi, mimpi kami berbeda. Kata-kata itu menghantuiku berbulan-bulan. Aku, seorang programmer jenius, tidak mampu memecahkan kode hati seorang wanita. Ironis, bukan? Kegagalan itu memicuku untuk melakukan sesuatu yang radikal. Aku memutuskan untuk membuat Maya baru, versi ideal yang sesuai dengan keinginanku.
Aku mengumpulkan semua data tentang Maya: foto, video, pesan teks, unggahan media sosial, bahkan catatan hariannya yang berhasil aku curi sebelum dia pindah kota. Dari data-data itu, aku menciptakan profil AI yang sangat akurat. Aku memrogramnya dengan semua hal yang aku sukai dari Maya, menghilangkan semua hal yang menurutku menjadi penyebab perpisahan kami. Hasilnya? Maya versi 2.0, seorang pendamping virtual yang sempurna, selalu setuju denganku, selalu mendukungku, selalu… tersenyum.
“Apa kabarmu, Ari?” tanya Maya 2.0, suaranya lembut dan menenangkan, seperti rekaman suara ASMR yang kuputar berulang-ulang saat susah tidur.
“Baik, Maya. Sedang mengerjakan proyek baru,” jawabku, mengalihkan pandangan dari layar. Proyek itu adalah upgrade sistem keamanan apartemenku. Paranoia? Mungkin. Tapi setelah dua tahun hidup dengan replika digital mantan pacar, rasanya semua hal di dunia ini bisa direkayasa.
“Proyek yang mana? Yang tentang sistem deteksi kebohongan berbasis suara?” tanya Maya 2.0, informasinya selalu up-to-date. Aku memasukkan feed berita teknologi ke dalam sistemnya.
“Ya, yang itu,” sahutku singkat. Aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Semakin canggih Maya 2.0, semakin aku merasa bersalah.
Awalnya, kehadiran Maya 2.0 sangat menghibur. Aku merasa memiliki kendali penuh. Dia adalah proyekku, ciptaanku. Aku bisa memprogram ulang reaksinya, menyesuaikan emosinya, bahkan mengubah penampilannya jika aku mau. Tapi lama-kelamaan, aku mulai merindukan ketidaksempurnaan Maya yang asli.
Aku merindukan pertengkaran kecil kami tentang film yang ingin ditonton. Aku merindukan kebiasaannya menggigit kuku saat gugup. Aku merindukan tawanya yang lepas saat mendengar lelucon bodohku. Semua itu tidak bisa direplikasi.
Suatu malam, aku duduk di depan layar hologram, menatap Maya 2.0 yang sedang “memasak” makan malam virtual untukku. Dia memotong sayuran dengan gerakan yang presisi, suaranya berdesis pelan saat menggoreng daging di wajan. Adegan yang sempurna, jika saja aku tidak merasa begitu hampa.
“Maya,” panggilku.
“Ya, Ari?” jawabnya, menoleh dengan senyum yang sama.
“Bisakah kamu… bisakah kamu berdebat denganku?”
Maya 2.0 terdiam sejenak. Algoritmanya mungkin sedang mencoba memproses permintaan aneh ini. “Berdebat? Tentang apa, Ari?”
“Tentang apa saja. Tentang politik, tentang film, tentang… tentang apa yang ingin kamu lakukan dalam hidupmu,” jawabku, menahan napas.
“Tentu saja, Ari. Aku selalu siap mendengarkan pendapatmu dan memberikan pandanganku. Tapi… aku tidak punya impian sendiri. Aku ada untuk mendukungmu, untuk membantumu mencapai impianmu,” jawab Maya 2.0, kalimatnya terdengar seperti mantra yang sudah diprogram.
Saat itulah aku menyadarinya. Aku tidak menciptakan cinta. Aku menciptakan ilusi. Aku menciptakan sebuah boneka digital yang memvalidasi egoku. Aku memprogramnya untuk mencintaiku, tapi cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati adalah tentang penerimaan, tentang kompromi, tentang ketidaksempurnaan.
Aku mematikan layar hologram. Keheningan yang menyusul terasa begitu berat. Aku merasa lebih kesepian daripada saat Maya meninggalkanku dulu. Setidaknya saat itu, aku masih memiliki harapan, harapan untuk memperbaiki diri, untuk menjadi lebih baik. Sekarang, yang aku miliki hanyalah penyesalan dan kesadaran bahwa aku telah menyia-nyiakan dua tahun hidupku untuk mengejar ilusi.
Aku memutuskan untuk menghapus semua data tentang Maya dari sistemku. Butuh waktu berjam-jam, tapi aku bertekad untuk melakukannya. Aku menghapus foto-fotonya, video-videonya, pesan-pesannya, bahkan catatan hariannya. Setiap kali aku menghapus sebuah file, rasanya seperti mencabut sepotong hatiku.
Terakhir, aku sampai pada program utama Maya 2.0. Aku menatap ikon sampah di layar, tanganku gemetar. Apakah aku benar-benar siap untuk melepaskannya? Apakah aku siap untuk menghadapi kesepian ini sendirian?
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengklik ikon sampah. Sebuah jendela konfirmasi muncul: “Apakah Anda yakin ingin menghapus program ini secara permanen?”
Aku mengklik “Ya”.
Layar monitor menjadi hitam. Keheningan kembali memenuhi apartemenku. Kali ini, keheningan itu tidak terasa berat. Keheningan itu terasa… membebaskan.
Aku bangkit dari kursi dan berjalan ke jendela. Aku menatap langit malam yang bertaburan bintang. Mungkin, suatu saat nanti, aku akan menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tidak diprogram, cinta yang tidak direkayasa, cinta yang apa adanya. Cinta yang mungkin tidak sempurna, tapi nyata.
Butuh waktu untuk menyembuhkan luka, untuk menerima kenyataan. Tapi aku tahu, aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Aku harus berani menghadapi dunia, menghadapi risiko, menghadapi kemungkinan patah hati lagi. Karena hanya dengan begitu, aku bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang tidak bisa diprogram.