Aplikasi kencan bernama "Sempurna" itu menjanjikan satu hal: menemukan pasangan jiwa yang paling kompatibel. Bukan berdasarkan hobi yang sama, bukan pula ketertarikan fisik semata. Sempurna menggunakan algoritma kompleks yang menganalisis data psikologis, preferensi gaya hidup, bahkan pola aktivitas saraf penggunanya untuk mencocokkan mereka dengan kandidat yang paling potensial. Awalnya, Rania skeptis. Terlalu mekanis, pikirnya. Cinta seharusnya melibatkan kejutan, ketidaksempurnaan, sesuatu yang tak terduga. Tapi setelah serangkaian kencan yang mengecewakan di dunia nyata, dia memutuskan untuk mencobanya. Toh, apa salahnya?
Setelah mengisi kuesioner panjang yang terasa seperti sesi terapi gratis, mengunggah data medis opsional, dan menghubungkan akun media sosialnya, Rania menunggu. Algoritma Sempurna bekerja selama 72 jam tanpa henti, mengolah jutaan data untuk menemukan satu nama. Sebuah notifikasi akhirnya muncul di ponselnya: "Kandidat Ideal Ditemukan."
Nama itu adalah Arya.
Profil Arya di Sempurna tampak terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Dia seorang arsitek lanskap yang mencintai alam, memiliki selera humor yang cerdas, dan gemar membaca buku-buku klasik yang sama dengan Rania. Dari foto-fotonya, Arya tampak ramah dan memiliki senyum yang menenangkan. Tingkat kompatibilitas mereka menurut Sempurna mencapai 98,7%.
Rania dan Arya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang terletak di taman kota. Ketika Arya datang, Rania terkejut. Dia persis seperti yang dia bayangkan. Lebih tepatnya, persis seperti yang algoritma Sempurna gambarkan. Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membicarakan arsitektur, buku-buku favorit, dan mimpi-mimpi mereka. Arya mendengarkan dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan cerdas, dan menanggapi setiap perkataan Rania dengan empati. Rasanya seperti mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.
Kencan-kencan berikutnya terasa seperti adegan-adegan film romantis yang diedit dengan sempurna. Mereka mengunjungi museum, menonton konser jazz, dan berjalan-jalan di tepi pantai saat matahari terbenam. Arya selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana bersikap, dan bagaimana membuat Rania tertawa. Dia bahkan membawakan Rania bunga favoritnya tanpa Rania pernah memberitahunya. Algoritma Sempurna benar-benar telah melakukan tugasnya.
Rania mulai jatuh cinta pada Arya. Atau setidaknya, dia berpikir dia jatuh cinta. Ada sesuatu yang aneh, sebuah perasaan yang mengganjal di hatinya. Semuanya terasa terlalu terprogram, terlalu sempurna. Arya seperti karakter yang dirancang untuk memenangkan hatinya. Dia tidak pernah marah, tidak pernah egois, tidak pernah menunjukkan sisi buruknya. Apakah mungkin seseorang benar-benar sesempurna itu?
Suatu malam, saat mereka makan malam di sebuah restoran mewah, Rania memutuskan untuk bertanya. "Arya," katanya, "Apakah kamu pernah merasa... tertekan oleh ekspektasi Sempurna?"
Arya mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Maksudku, kita berdua tahu bahwa algoritma Sempurna mencocokkan kita berdasarkan serangkaian data. Apakah kamu merasa harus selalu memenuhi ekspektasi itu? Apakah kamu merasa harus selalu menjadi versi terbaik dirimu?"
Arya terdiam sejenak. Kemudian, dia menghela napas. "Sejujurnya, ya. Awalnya aku sangat bersemangat. Aku pikir Sempurna adalah cara yang cerdas untuk menemukan cinta. Tapi lama kelamaan, aku merasa seperti sedang memainkan sebuah peran. Aku berusaha keras untuk menjadi orang yang algoritma itu inginkan aku menjadi."
Rania merasa lega dan sedih pada saat yang bersamaan. Dia lega karena dugaannya benar. Dia sedih karena hubungan mereka ternyata tidak seotentik yang dia kira.
"Aku juga merasakannya," kata Rania. "Aku menyukaimu, Arya. Aku sangat menyukaimu. Tapi aku tidak yakin apakah aku menyukai dirimu yang sebenarnya, atau versi dirimu yang telah dioptimalkan oleh algoritma."
Arya mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Rania. "Aku mengerti," katanya. "Mungkin kita perlu berhenti mencoba menjadi sempurna dan mulai menjadi diri sendiri."
Mereka memutuskan untuk menghapus akun Sempurna mereka. Mereka berjanji untuk terus berkencan, tetapi kali ini tanpa pedoman algoritma. Mereka ingin mengenal satu sama lain dengan cara yang lebih alami, dengan semua ketidaksempurnaan dan kejutan yang menyertainya.
Beberapa minggu kemudian, Rania dan Arya sedang bersantai di taman. Arya sedang berusaha memperbaiki layang-layang yang rusak. Rania tertawa melihat Arya yang biasanya rapi dan teratur kini berlumuran lumpur dan frustrasi.
"Kamu tahu," kata Rania, "Aku belum pernah melihatmu se-tidak-sempurna ini sebelumnya."
Arya tersenyum kecut. "Aku tahu. Tapi aku merasa lebih hidup."
Tiba-tiba, Arya kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke dalam genangan air berlumpur. Rania tertawa terbahak-bahak. Arya ikut tertawa, meskipun dengan sedikit kesal.
"Oke, ini sudah keterlaluan," kata Arya sambil berusaha membersihkan diri.
Rania membantunya berdiri dan mengusap lumpur dari wajahnya. "Justru ini yang aku suka," kata Rania. "Ketidaksempurnaan ini. Kejujuran ini. Ini baru terasa nyata."
Mereka saling bertatapan. Untuk pertama kalinya, Rania merasa benar-benar terhubung dengan Arya. Bukan karena algoritma, bukan karena ekspektasi, tapi karena mereka berdua telah berani menjadi diri mereka sendiri, dengan semua kelebihan dan kekurangan mereka.
Mungkin, pikir Rania, cinta sejati tidak ditemukan dalam algoritma sempurna, tetapi dalam kemampuan untuk menerima dan mencintai ketidaksempurnaan satu sama lain. Mungkin, hati yang terprogram bisa diprogram ulang.