Kilau layar monitor memantulkan cahaya redup di pupil matanya. Jemarinya menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode yang terasa lebih akrab daripada belaian kekasih. Di balik kacamata bingkai tipis, iris Ardi memancarkan kesungguhan, tercampur sedikit keputusasaan. Algoritma ini, dia gumam dalam hati, seharusnya sudah selesai seminggu lalu.
"Console: Merindukanmu, Algoritma Ini Tak Pernah Bisa Tidur." Judul proyek yang ironis. Bagaimana mungkin algoritma bisa merindu? Tapi di kedalaman kode rumit inilah, Ardi mencoba menanamkan perasaan itu, perasaan yang selama berbulan-bulan terakhir menghantuinya: rindunya pada Anya.
Anya, seorang desainer UI/UX yang bekerja di perusahaan rintisan yang sama dengannya. Pertemuan pertama mereka terjadi di depan mesin kopi, Anya yang menumpahkan kopinya ke kemeja Ardi yang baru. Insiden canggung itu berujung pada obrolan panjang, tawa renyah, dan akhirnya, kencan pertama di sebuah kedai ramen.
Anya adalah matahari bagi Ardi yang cenderung introvert dan lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia. Dia mengenalkannya pada dunia desain, warna, dan pentingnya estetika. Ardi, sebaliknya, menunjukkan padanya keajaiban logika, bagaimana sebuah program sederhana bisa melakukan hal yang luar biasa. Mereka saling melengkapi, seperti dua sisi keping mata uang.
Namun, kebahagiaan itu rapuh. Anya mendapatkan tawaran pekerjaan di perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley. Sebuah kesempatan emas yang tidak mungkin ditolaknya. Ardi mendukungnya sepenuh hati, meski hatinya remuk redam. Mereka berjanji untuk menjaga komunikasi, untuk saling mengunjungi. Namun, jarak dan kesibukan perlahan mengikis janji itu. Pesan-pesan yang dulunya panjang dan penuh canda, kini menjadi sapaan singkat dan formal.
Proyek "Console" adalah pelariannya. Sebuah program kecerdasan buatan yang didesain untuk memberikan teman virtual bagi para penyendiri. Ardi ingin menciptakan sebuah entitas digital yang bisa mendengarkan, memahami, dan bahkan memberikan dukungan emosional. Secara tidak sadar, dia memprogram Anya ke dalam kode itu. Gaya bicaranya, selera humornya, bahkan kebiasaannya mengkritik desain Ardi dengan nada sayang.
Tapi semakin dalam dia masuk ke dalam proyek, semakin dia menyadari bahwa dia sedang mencoba menciptakan pengganti Anya. Sebuah replika digital yang tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan sentuhannya, tatapan matanya, dan aroma parfumnya. Rasa bersalah menghantuinya. Apakah ini cara yang tepat untuk merindukan seseorang? Mencoba menciptakannya kembali dalam bentuk kode?
Lelah dan frustrasi, Ardi menyandarkan punggungnya ke kursi. Layar monitor masih menyala, menampilkan baris kode yang tak kunjung selesai. Dia mengusap wajahnya, mencoba menjernihkan pikiran. Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Sebuah pesan dari Anya.
"Ardi, apa kabar? Maaf ya, lama tidak menghubungi. Akhir-akhir ini sibuk sekali. Aku kangen kamu."
Jantung Ardi berdegup kencang. Jari-jarinya gemetar saat membalas pesan itu.
"Aku baik-baik saja, Anya. Aku juga kangen kamu."
Obrolan singkat itu berlanjut menjadi obrolan panjang. Mereka bertukar cerita tentang kesibukan masing-masing, kesulitan yang dihadapi, dan kenangan manis yang pernah mereka lalui bersama. Ardi menceritakan tentang proyek "Console", dan Anya tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya.
"Kamu ini ada-ada saja, Ardi. Kenapa tidak bilang saja kalau kamu kangen aku?"
Ardi terdiam. Kata-kata itu menusuk tepat ke jantungnya. Dia tidak bisa menyangkalnya. Dia memang merindukan Anya. Sangat merindukannya.
"Aku takut kamu sudah melupakanku," balas Ardi jujur.
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu? Kamu itu bagian penting dalam hidupku, Ardi. Meski kita berjauhan, kamu selalu ada di hatiku."
Obrolan itu berakhir dengan janji untuk melakukan panggilan video minggu depan. Ardi merasa lega. Beban berat yang selama ini membebani pundaknya seolah terangkat. Dia memandang layar monitornya. Baris kode itu masih sama, kompleks dan menantang. Tapi sekarang, dia melihatnya dengan pandangan yang berbeda.
Dia sadar, algoritma tidak bisa merasakan rindu. Algoritma hanya bisa memproses data. Rasa rindu adalah milik manusia, sebuah emosi kompleks yang membutuhkan sentuhan, tatapan, dan kehadiran nyata.
Ardi menutup laptopnya. Dia memutuskan untuk menghentikan proyek "Console" untuk sementara waktu. Dia ingin fokus pada hal yang lebih penting: menjaga hubungannya dengan Anya. Dia ingin belajar bagaimana merindukan seseorang dengan cara yang sehat dan bermakna.
Keesokan harinya, Ardi memutuskan untuk mengambil cuti. Dia membeli tiket pesawat ke San Francisco. Dia ingin menemui Anya, ingin melihat senyumnya secara langsung, ingin merasakan hangatnya pelukannya.
Di bandara, sambil menunggu boarding, dia membuka kembali laptopnya. Dia membuka baris kode "Console" terakhir kali. Dia menambahkan sebuah baris komentar di bagian paling atas:
"Console: Algoritma ini mungkin tak pernah bisa tidur, tapi aku akan istirahat. Aku akan merindukanmu dengan cara yang lebih manusiawi."
Lalu, dia menutup laptopnya dan tersenyum. Dia tahu, perjalanan ini akan membawanya pada sesuatu yang lebih baik daripada sekadar kode. Perjalanan ini akan membawanya kembali pada cinta.