Aplikasi kencan itu berkedip di layar ponsel Aria, notifikasi yang terlalu sering muncul hingga ia hampir kebal. Sebuah hati berwarna ungu dengan tulisan kecil, “Leo menyukaimu!” Aria mendengus. Leo, arsitek lanskap digital yang profilnya penuh dengan gambar taman virtual yang indah namun terasa hampa. Ia sudah menggeser Leo ke kiri seminggu yang lalu. Kenapa algoritma ini terus mempertemukannya dengan pria yang jelas-jelas tidak cocok dengannya?
Aria, seorang coder yang bekerja di perusahaan pengembang kecerdasan buatan, merasa ironi takdir menjeratnya. Ia menciptakan algoritma yang memprediksi perilaku konsumen, tetapi tak mampu menaklukkan algoritma cinta yang mempertemukannya dengan pilihan-pilihan yang salah. Yang ia inginkan hanya satu nama: Kai.
Kai, sang jenius di balik sistem keamanan siber yang melindungi perusahaannya dari serangan peretas. Kai, dengan mata kelabu yang menyimpan lautan pengetahuan dan senyum tipis yang mampu membuat jantung Aria berdebar kencang. Kai yang nyaris tidak menyadari keberadaannya.
Aria tahu, menyukai Kai adalah sebuah kesalahan yang diprogram dalam dirinya. Kai adalah sosok yang dingin dan fokus, tenggelam dalam kode dan logika. Ia tidak punya waktu untuk aplikasi kencan, apalagi untuk perempuan seperti Aria yang dianggapnya terlalu “berisik” dan “emosional”. Setidaknya, itulah yang ditangkap Aria dari interaksi singkat mereka di kantor.
Namun, hati, seperti kode yang buruk, sulit di-debug. Setiap kali Kai melintas di mejanya, Aroma kopi yang selalu dibawanya menguar, Aria merasa aliran listrik singkat menyentuh ujung-ujung jarinya. Setiap sapaan singkat Kai, “Selamat pagi, Aria,” sudah cukup untuk membuatnya tersenyum sepanjang hari.
Suatu malam, Aria memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirimkan pesan melalui Slack kantor kepada Kai. Pesan itu berisi sebuah tautan ke artikel tentang kerentanan terbaru dalam protokol enkripsi. Ia tahu Kai akan tertarik.
"Hai Kai, aku menemukan artikel ini. Menurutmu, apakah ini berpotensi membahayakan sistem kita?"
Jantung Aria berdegup kencang menunggu balasan. Butuh waktu hampir satu jam sebelum akhirnya sebuah notifikasi muncul.
"Terima kasih, Aria. Aku akan mempelajarinya."
Singkat. Formal. Membuat Aria merasa bodoh. Ia seharusnya tahu. Kai tidak tertarik.
Namun, keesokan harinya, Kai mendatanginya di meja kerjanya. Ia membawa secangkir kopi untuk Aria, kopi yang sama dengan yang selalu ia minum.
"Artikel yang kamu kirimkan semalam sangat membantu. Ternyata ada celah kecil yang belum kami deteksi. Terima kasih sudah memperhatikannya."
Aria terkejut. Ia tidak menyangka Kai akan mengapresiasinya secara langsung.
"Ah, tidak masalah. Aku hanya... tertarik dengan keamanan siber juga," jawab Aria gugup.
"Kalau begitu, mungkin kamu tertarik untuk bergabung dengan tim kami?"
Aria hampir tersedak kopi yang baru ia teguk. "Bergabung dengan timmu?"
"Ya. Kami sedang mencari coder yang memiliki perhatian terhadap detail dan mampu berpikir di luar kotak. Kamu punya potensi itu."
Ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Bekerja dengan Kai, belajar darinya, mungkin bahkan memiliki kesempatan untuk lebih dekat dengannya. Aria mengangguk, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Beberapa minggu kemudian, Aria resmi menjadi bagian dari tim keamanan siber. Ia bekerja berdampingan dengan Kai, mengagumi kecerdasannya, dan perlahan-lahan mulai melihat sisi lain dari dirinya. Kai ternyata tidak sedingin yang ia kira. Ia bisa bercanda, ia bisa tertawa, dan ia bahkan menunjukkan perhatian kecil kepada Aria. Ia selalu memastikan Aria tidak bekerja terlalu larut, ia membelikannya camilan ketika ia lembur, dan ia selalu menyempatkan diri untuk menjelaskan hal-hal yang tidak Aria pahami.
Namun, Aria masih merasa ada jarak di antara mereka. Kai memperlakukannya sebagai kolega yang berharga, bukan sebagai seseorang yang istimewa. Apakah cintanya akan tetap menjadi algoritma yang tak terbalas?
Suatu sore, setelah menyelesaikan proyek yang rumit, Kai mengajak Aria makan malam. Bukan makan malam romantis, tapi makan malam sebagai perayaan keberhasilan tim. Meskipun begitu, Aria merasa gugup. Ia memilih gaun yang paling sederhana namun elegan, berharap Kai tidak akan menganggapnya berlebihan.
Selama makan malam, mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang teknologi, dan tentang mimpi-mimpi mereka. Aria menceritakan tentang cita-citanya untuk menciptakan AI yang bisa membantu memecahkan masalah global. Kai menceritakan tentang obsesinya terhadap keamanan siber, tentang bagaimana ia ingin melindungi dunia dari kejahatan digital.
Di akhir makan malam, Kai mengantar Aria pulang. Di depan pintu apartemen Aria, Kai berhenti.
"Aria," kata Kai dengan suara pelan. "Aku ingin berterima kasih. Sejak kamu bergabung dengan tim, banyak hal yang berubah. Kamu membawa energi baru dan perspektif yang berbeda. Aku... aku sangat menghargai kehadiranmu."
Aria menatap mata kelabu Kai. Ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bukan hanya penghargaan profesional, tapi juga... ketertarikan.
"Kai," jawab Aria, suaranya bergetar. "Aku juga menghargai kesempatan ini. Aku belajar banyak darimu."
Keheningan menggantung di antara mereka. Aria merasa jantungnya berdebar semakin kencang. Ia ingin mengatakan sesuatu, ia ingin mengungkapkan perasaannya, tetapi ia takut. Takut ditolak, takut merusak hubungan profesional mereka, takut semuanya hanya ilusinya saja.
Tiba-tiba, Kai mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Aria. Sentuhan itu lembut namun membakar.
"Aria," bisik Kai. "Aku... aku menyukaimu."
Aria membeku. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Apakah ini nyata? Apakah ini mimpi?
Kai mendekatkan wajahnya dan mencium Aria. Ciuman itu singkat namun penuh perasaan. Ketika Kai melepaskan ciumannya, Aria menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apakah ini benar?" tanya Aria.
Kai tersenyum. "Benar. Aku menyukaimu, Aria. Aku menyukaimu lebih dari yang bisa kubayangkan."
Aria tersenyum dan memeluk Kai erat-erat. Akhirnya, algoritma cinta telah bekerja untuknya. Mungkin bukan algoritma aplikasi kencan, tapi algoritma takdir, algoritma kesempatan, algoritma hati yang menemukan jalan untuk saling terhubung. Hati yang di-like, bukan oleh notifikasi palsu, tetapi oleh cinta yang tulus dan tak terduga. Malam itu, Aria menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi oleh algoritma, tetapi bisa ditemukan dalam kolaborasi, apresiasi, dan keberanian untuk mengambil risiko.