Aplikasi kencan itu berkedip-kedip, menampilkan notifikasi baru di layar ponsel Arya. “Satu kecocokan baru!” serunya dalam hati, sambil meneguk kopinya yang mulai dingin. Ia, seorang programmer yang sehari-harinya berkutat dengan algoritma rumit, merasa ironis menggunakan algoritma lain untuk mencari cinta. Ia menertawakan diri sendiri, namun jari-jarinya tetap cekatan membuka profil yang dijanjikan aplikasi.
Luna. Nama yang indah, pikirnya. Foto-fotonya menampilkan seorang wanita berambut panjang, mata cokelat hangat, dan senyum yang tampak tulus. Biodatanya singkat namun menarik: “Penulis lepas, pecinta kopi, dan percaya pada kekuatan kebaikan.” Arya terpikat. Ia menyukai profil Luna, dan dalam hitungan detik, notifikasi "Anda berdua saling menyukai!" muncul di layar.
“Ini dia,” gumam Arya. “Algoritma cinta bekerja.”
Percakapan mereka dimulai dengan basa-basi standar. Tentang cuaca, tentang pekerjaan, tentang kesukaan masing-masing. Namun, dengan cepat, percakapan itu berkembang menjadi lebih dalam. Mereka bertukar pikiran tentang buku favorit, film yang menginspirasi, dan mimpi-mimpi yang ingin mereka wujudkan. Arya merasa ada koneksi yang nyata, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Setelah seminggu bercakap-cakap, Arya memberanikan diri untuk mengajak Luna bertemu. Ia gugup bukan main. Ia telah menghabiskan berjam-jam memilih pakaian yang tepat, memastikan rambutnya tertata rapi, dan bahkan mempraktikkan beberapa kalimat pembuka di depan cermin.
Luna setuju. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman, di sudut kota yang jarang ia kunjungi. Ketika Arya melihat Luna untuk pertama kalinya, ia merasa seperti melihat versi digitalnya menjadi nyata. Rambut panjangnya tergerai indah, matanya memancarkan kehangatan, dan senyumnya, persis seperti yang ia lihat di foto, membuatnya terpana.
Kencan itu berjalan lebih baik dari yang ia bayangkan. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan merasa nyaman satu sama lain. Arya merasa seperti telah mengenal Luna seumur hidup. Ia bahkan mulai membayangkan masa depan bersamanya, sebuah masa depan yang penuh dengan kebahagiaan dan cinta.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Beberapa hari kemudian, ketika Arya sedang bekerja di kantornya, ia menerima pesan dari Luna. Isinya singkat dan ambigu: “Arya, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu. Bisakah kita bertemu?”
Arya merasa firasat buruk. Ia segera menyetujui pertemuan itu. Saat mereka bertemu, Luna tampak gelisah. Ia menggigit bibirnya dan menghindari tatapan Arya.
“Arya,” Luna memulai, suaranya bergetar. “Ada sesuatu yang belum kukatakan padamu. Tentang diriku.”
Arya menunggu dengan cemas.
“Aku… aku bukan penulis lepas,” Luna melanjutkan. “Aku bekerja di perusahaan yang sama denganmu. Di bagian pemasaran.”
Arya terkejut. Ia bekerja di perusahaan besar dengan ratusan karyawan. Bagaimana mungkin ia tidak pernah menyadari keberadaan Luna?
“Dan… dan foto-foto di profilku,” Luna berhenti sejenak, tampak menyesal. “Itu bukan foto diriku yang terbaru. Itu… foto lama. Aku menggunakan filter dan aplikasi editing yang berlebihan.”
Arya merasa seperti ditampar. Jadi, semua ini palsu? Koneksi yang ia rasakan, kebahagiaan yang ia alami, semuanya hanya ilusi digital?
“Aku minta maaf, Arya,” Luna berkata, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku ingin bertemu denganmu, tapi aku takut kamu tidak akan menyukaiku jika aku jujur tentang diriku.”
Arya terdiam. Ia merasa marah, kecewa, dan bingung. Ia merasa telah dibodohi oleh algoritma, oleh aplikasi kencan yang seharusnya membantunya menemukan cinta, tapi malah menjebaknya dalam kebohongan.
Ia berdiri dari kursinya.
“Aku butuh waktu untuk memikirkan ini,” kata Arya, lalu berbalik dan pergi.
Dalam perjalanan pulang, Arya merenungkan apa yang telah terjadi. Ia merasa dikhianati oleh Luna, tetapi ia juga merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia telah terlalu percaya pada algoritma, terlalu berharap pada dunia digital, dan lupa untuk melihat realitas di depannya.
Sesampainya di rumah, Arya membuka kembali aplikasi kencan itu. Ia melihat profil Luna, yang kini terasa asing baginya. Ia ingin menghapusnya, memblokirnya, melupakannya. Tapi, ia tidak bisa. Ada sesuatu dalam diri Luna, di balik semua kebohongan itu, yang masih menarik perhatiannya.
Ia memutuskan untuk memberikan Luna kesempatan. Ia mengiriminya pesan: “Luna, aku marah dan kecewa. Tapi, aku juga ingin mengenalmu yang sebenarnya. Tanpa filter, tanpa kebohongan. Jika kamu bersedia, mari kita bertemu lagi. Kali ini, jujur saja.”
Arya menutup ponselnya dan menunggu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi mengandalkan algoritma untuk menemukan cinta. Ia harus mencari cinta dengan cara yang lebih jujur, lebih otentik, dan lebih manusiawi.
Beberapa menit kemudian, ponsel Arya berdering. Pesan dari Luna: “Ya, Arya. Aku bersedia.”
Arya tersenyum. Mungkin, ia pikir, algoritma hati memang rumit dan penuh dengan kebingungan digital. Tapi, mungkin juga, di balik semua itu, ada kesempatan untuk menemukan cinta yang sejati. Ia hanya perlu berani untuk mengambil risiko dan melihat melampaui layar.