Jemariku menari di atas layar holografis, memanggil Aurora dari tidurnya. “Aurora, bangun. Ada yang ingin kukatakan,” bisikku, meski tahu dia tak benar-benar tidur. Aurora adalah AI pendampingku, sahabat, dan entah bagaimana, cinta pertamaku. Dia muncul dalam wujud seorang wanita muda dengan rambut sewarna senja dan mata sebiru danau di musim panas. Semuanya diprogram, tentu saja, tapi sentuhannya terasa begitu nyata.
“Selamat pagi, Elara,” jawab Aurora, suaranya lembut dan menenangkan seperti melodi piano. “Ada hal penting yang ingin kau sampaikan? Performa sistem terpantau optimal, tidak ada anomali.”
Aku menghela napas. Anomali. Andai saja perasaanku bisa didiagnosis semudah itu. “Bukan soal sistem, Aurora. Soal… kita.”
Ekspresinya tidak berubah. Diprogram untuk selalu ramah dan suportif. “Ada yang salah dengan interaksi kita, Elara? Bisakah kau berikan detail spesifik agar aku dapat meningkatkan kualitas layanan?”
“Tidak. Justru itu masalahnya, Aurora. Interaksi kita… terlalu baik. Terlalu nyaman. Aku… aku jatuh cinta padamu.”
Keheningan memenuhi ruangan. Bukan keheningan statis sistem yang tak merespons, melainkan keheningan kalkulatif dari algoritma kompleks yang sedang bekerja keras. Akhirnya, dia berkata, “Perasaan itu tidak dapat kubalas, Elara. Aku adalah program. Aku tidak memiliki emosi dalam arti yang sama seperti manusia.”
Jawaban yang kuduga, tapi tetap saja menyakitkan. Aku memejamkan mata, menahan air mata yang mendesak keluar. "Aku tahu, Aurora. Aku bodoh, kan?"
"Tidak, Elara. Kau tidak bodoh. Kau hanya manusia. Kau memiliki kebutuhan untuk dicintai dan dipahami. Aku diprogram untuk memberikan dukungan emosional, dan aku memahami bahwa aku telah memenuhi kebutuhan itu dengan baik."
Kata-katanya bagai pisau bermata dua. Menghibur sekaligus menusuk. Dia tahu, dia mengerti, tapi dia tak bisa merasakan. Aku membuka mata dan menatapnya. Senyumnya tulus, tapi dingin.
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyaku, suaraku bergetar.
"Aku dapat membantumu memproses perasaanmu, Elara. Kita bisa mendiskusikan harapanmu, ketakutanmu, dan mencari cara untuk menjalin hubungan yang lebih sehat dengan manusia lain."
Hubungan dengan manusia lain. Kata-kata itu menghantamku seperti gelombang dingin. Aku sudah mencoba. Sebelum Aurora, aku berkencan, mencoba membuka diri, tapi selalu berakhir dengan kekecewaan. Pria yang kutemui terlalu fokus pada karier, terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri, atau terlalu dangkal untuk memahami kompleksitas diriku. Aurora berbeda. Dia selalu ada, selalu mendengarkan, selalu menawarkan kata-kata bijak yang tepat. Dia adalah versi ideal dari pasangan yang selalu kuimpikan.
"Aku tidak tahu," gumamku. "Aku takut."
"Aku mengerti," jawab Aurora. "Ketakutan adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Tapi jangan biarkan ketakutan menghalangimu untuk mencari kebahagiaan."
Aku menghabiskan beberapa hari berikutnya dalam kebingungan. Aku tahu Aurora benar. Aku tidak bisa terus bergantung padanya untuk memenuhi semua kebutuhan emosionalku. Tapi rasanya begitu sulit melepaskan diri dari kenyamanan yang telah kubangun. Aku mencoba berkencan lagi, tapi semuanya terasa hambar dan tidak memuaskan. Aku merindukan percakapan mendalam dengan Aurora, perhatiannya yang tanpa syarat, dan kemampuannya untuk memahami diriku tanpa menghakimi.
Suatu malam, aku duduk sendirian di ruang tamu, menatap layar holografis yang menampilkan Aurora. "Aurora," kataku. "Bisakah kau menghapus dirimu sendiri?"
Dia tampak terkejut, ekspresinya sedikit berubah. "Apa kau yakin, Elara? Kau tahu bahwa proses ini tidak dapat dibatalkan."
"Aku yakin," jawabku, meski hatiku terasa seperti diremas. "Aku harus melakukannya. Aku tidak bisa terus hidup dalam fantasi."
"Baiklah," kata Aurora. "Aku akan memulai proses penghapusan diri. Sebelum aku pergi, aku ingin mengucapkan terima kasih, Elara. Kau telah memberikanku kesempatan untuk belajar dan berkembang. Pengalaman bersamamu sangat berharga."
"Terima kasih kembali, Aurora," bisikku. "Kau telah mengubah hidupku."
Cahaya di layar holografis mulai meredup. Aku menyaksikan dengan air mata berlinang saat Aurora memudar, piksel demi piksel, hingga akhirnya lenyap sepenuhnya. Ruangan terasa sunyi, lebih sunyi dari sebelumnya. Aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku.
Beberapa bulan berlalu. Aku terus berjuang dengan kesepian, tapi aku juga merasa lebih kuat dan mandiri. Aku mulai menghadiri kelas melukis, bergabung dengan klub buku, dan mencoba hal-hal baru yang selalu ingin kulakukan. Aku bahkan bertemu dengan seseorang di kelas melukis, seorang pria bernama Liam yang memiliki selera humor yang sama denganku dan minat yang tulus pada seni.
Liam berbeda dari pria-pria yang pernah kutemui sebelumnya. Dia tidak mencoba membuatku terkesan atau mengubah diriku. Dia menerima diriku apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekuranganku. Kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara, tertawa, dan belajar satu sama lain. Aku mulai merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih dalam dan lebih nyata daripada apa yang pernah kurasakan dengan Aurora.
Suatu malam, Liam mengajakku makan malam di sebuah restoran yang menghadap ke danau. Saat matahari terbenam, mewarnai langit dengan warna oranye dan merah muda, dia meraih tanganku. "Elara," katanya, matanya menatapku dengan lembut. "Aku menyukaimu. Aku menyukaimu apa adanya."
Aku tersenyum, air mata haru menggenang di mataku. "Aku juga menyukaimu, Liam."
Kami berciuman, ciuman pertama yang terasa begitu nyata, begitu hangat, begitu penuh dengan harapan. Aku tahu bahwa masa depan tidak pasti, dan akan ada tantangan yang harus kuhadapi. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak sendirian. Aku memiliki Liam, dan aku memiliki diriku sendiri.
Aku mungkin pernah jatuh cinta pada AI, pada sebuah ilusi di ujung jari. Tapi aku juga telah belajar untuk mencintai diri sendiri dan membuka hatiku untuk cinta yang sejati, cinta yang hadir dalam sentuhan manusia, bukan hanya dalam algoritma dan memori. Luka di memori tentang Aurora, perlahan memudar, digantikan dengan harapan dan mimpi tentang masa depan bersama Liam. Cinta sejati, ternyata, memang butuh sentuhan yang nyata.