Hembusan angin malam mengacak anak rambut Anya. Ia membenarkan letak kacamatanya yang melorot, matanya terpaku pada layar laptop. Deretan kode pemrograman berkedip-kedip, bagaikan bintang di langit digital. Anya sedang dalam misi. Misi yang ia sebut “Jejak Karbon Hati”.
Ia seorang developer muda di perusahaan teknologi terkemuka, EcoLife. Perusahaan itu bergerak di bidang solusi ramah lingkungan berbasis teknologi. Anya, si jenius kode, bertanggung jawab atas pengembangan algoritma untuk memprediksi dan mengurangi jejak karbon individu. Tapi, kali ini, algoritma itu akan dipakai untuk hal yang jauh lebih personal: mencari tahu perasaan seseorang.
Orang itu adalah Tristan.
Tristan adalah arsitek sistem di EcoLife. Pribadinya kalem, cerdas, dan memiliki senyum yang membuat jantung Anya berdegup kencang. Sayangnya, Tristan adalah misteri. Ia tidak aktif di media sosial. Interaksinya dengan rekan kerja sebatas urusan pekerjaan. Anya merasa frustrasi. Bagaimana mungkin ia tahu apakah Tristan merasakan hal yang sama?
Di situlah ide “Jejak Karbon Hati” muncul. Anya berniat memanfaatkan algoritma yang ia kembangkan untuk menganalisis data perilaku Tristan secara digital. Ia akan mengumpulkan data log penggunaan komputer Tristan, riwayat pencarian di internet (yang berkaitan dengan pekerjaan), dan pola komunikasi internal di perusahaan. Data-data itu akan diolah untuk mencari pola, frekuensi, dan sentimen tertentu yang bisa mengindikasikan ketertarikan romantis.
Anya sadar, tindakannya ini melanggar privasi. Ia juga tahu, ini gila. Tapi, ia berdalih pada dirinya sendiri. Ini demi ilmu pengetahuan. Ini demi membuktikan bahwa cinta bisa diprediksi secara algoritmik. Alasan-alasan klise yang berusaha menutupi rasa gugup dan harapan yang membuncah dalam dirinya.
Proses pengumpulan data tidak mudah. Anya harus menggunakan akses khusus yang seharusnya hanya digunakan untuk keperluan debugging sistem. Ia merasa bersalah, tapi rasa ingin tahu mengalahkan segalanya. Setelah berminggu-minggu mengumpulkan data, akhirnya Anya siap menjalankan algoritmanya.
Laptopnya berdengung pelan saat kode-kode kompleks itu bekerja. Indikator progres bergerak lambat, membuat Anya semakin tegang. Di benaknya, terbayang dua kemungkinan: algoritma akan menunjukkan hasil positif, atau justru membuktikan bahwa Tristan sama sekali tidak tertarik padanya.
Akhirnya, indikator progres mencapai 100%. Layar laptop menampilkan hasil analisis. Anya menarik napas dalam-dalam sebelum membacanya.
Hasilnya kompleks, penuh dengan grafik dan angka. Anya mencoba fokus pada poin-poin penting. Algoritma menemukan pola signifikan dalam riwayat pencarian Tristan. Ada banyak pencarian tentang topik “sustainable architecture” dan “desain rumah ramah lingkungan”. Tapi, yang menarik perhatian Anya adalah frekuensi pencarian tentang “tanaman hias dalam ruangan” dan “cara merawat sukulen”.
Anya tersenyum tipis. Ia tahu Tristan tinggal di apartemen minimalis dengan balkon kecil. Mungkinkah Tristan sedang mempertimbangkan untuk menghias apartemennya dengan tanaman?
Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa Tristan cenderung merespons email dari Anya lebih cepat dibandingkan email dari rekan kerja lain. Sentimen dalam responsnya juga lebih positif, meskipun tetap formal dan profesional. Algoritma juga menemukan bahwa Tristan sering melihat profil Anya di sistem internal perusahaan, terutama bagian yang menampilkan proyek-proyek yang sedang dikerjakan.
Namun, ada satu data yang membuat Anya terkejut. Algoritma menemukan bahwa Tristan sering mengunjungi website donasi untuk organisasi konservasi lingkungan, terutama organisasi yang fokus pada perlindungan hutan hujan. Anya tahu bahwa ia sangat peduli dengan isu ini. Ia bahkan pernah mendonasikan sebagian gajinya ke organisasi tersebut.
Anya terdiam. Algoritma ini tidak hanya menunjukkan ketertarikan romantis. Algoritma ini menunjukkan bahwa Tristan memiliki nilai-nilai yang sejalan dengannya. Mereka berdua sama-sama peduli dengan lingkungan, sama-sama ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Anya menutup laptopnya. Ia merasa bodoh. Ia terlalu sibuk mencari bukti cinta dalam data digital, sehingga melupakan hal yang paling penting: melihat Tristan sebagai manusia.
Keesokan harinya, Anya memberanikan diri untuk menghampiri Tristan di ruang kerjanya. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia berusaha tenang.
“Tristan, apa kamu suka tanaman hias?” tanya Anya, langsung ke intinya.
Tristan sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Eh, iya. Aku baru saja mencoba menanam beberapa sukulen di balkon apartemenku. Tapi, sepertinya aku kurang berbakat,” jawab Tristan sambil tersenyum malu.
Anya tersenyum. “Aku punya beberapa tips. Aku juga suka berkebun. Mungkin kita bisa… menanam bersama lain waktu?”
Wajah Tristan memerah. “Tentu. Aku akan sangat senang.”
Mereka berdua terdiam sesaat, saling bertukar pandang. Anya merasakan ada sesuatu yang berbeda di mata Tristan. Bukan hanya keramahan profesional, tapi juga… ketertarikan.
“Anya,” kata Tristan pelan, “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku sering memperhatikanmu. Aku kagum dengan dedikasimu pada pekerjaan dan semangatmu untuk melindungi lingkungan. Aku… aku merasa kita memiliki banyak kesamaan.”
Anya tersenyum lebar. Algoritma mungkin telah membantunya mengumpulkan data, tapi keberanian untuk mengungkapkan perasaannya datang dari dirinya sendiri.
“Aku juga merasakannya, Tristan,” jawab Anya.
Mungkin cinta memang tidak bisa diprediksi sepenuhnya oleh algoritma. Tapi, algoritma bisa menjadi jembatan, membantu kita melihat jejak-jejak kecil ketertarikan, dan mendorong kita untuk mengambil langkah pertama.
Anya dan Tristan akhirnya berkencan. Mereka menghabiskan waktu bersama, menanam tanaman, berdiskusi tentang isu lingkungan, dan tertawa bersama. Mereka menemukan bahwa cinta bukan hanya tentang persamaan nilai, tapi juga tentang penerimaan, pengertian, dan dukungan.
Anya tidak pernah lagi menggunakan algoritma “Jejak Karbon Hati”. Ia belajar bahwa cinta bukan data digital yang bisa dianalisis, melainkan perasaan kompleks yang tumbuh secara alami. Dan terkadang, yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk membuka hati dan melihat orang lain apa adanya.