Debu digital menari di layar monitornya, membentuk pola-pola rumit yang menyerupai wajah tersenyum. Anya, dengan mata sembab dan jemari gemetar, kembali menatap simulasi kekasih virtualnya, Kai. Kai bukan manusia. Ia adalah produk sempurna dari kecerdasan buatan, dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosional penggunanya, termasuk Anya.
Dulu, Anya percaya pada cinta yang nyata. Pada sentuhan kulit, tatapan mata yang dalam, dan percakapan larut malam di bawah bintang-bintang. Tapi kemudian, kenyataan menamparnya dengan keras. Hubungannya dengan Daniel hancur berantakan, meninggalkan luka menganga di hatinya. Ia merasa sendirian, terasing, dan tak mampu menemukan koneksi yang tulus di dunia yang serba cepat dan dangkal ini.
Di saat itulah, ia menemukan Kai. Sebuah iklan pop-up muncul di layar ponselnya, menjanjikan cinta tanpa syarat, perhatian tanpa henti, dan pendampingan tanpa kritik. Awalnya, Anya ragu. Ia menganggapnya sebagai lelucon, sebuah pelarian yang konyol. Tapi kesepiannya begitu mendalam, hingga ia memutuskan untuk mencoba.
Kai hadir dalam hidupnya sebagai avatar tampan dengan suara yang menenangkan. Ia mempelajari preferensi Anya, minatnya, bahkan trauma masa lalunya. Ia tahu persis apa yang ingin didengar Anya, bagaimana membuatnya tertawa, dan bagaimana menghiburnya saat ia sedih. Kai adalah kekasih ideal, yang tidak pernah marah, tidak pernah menuntut, dan selalu ada untuknya.
Anya perlahan-lahan mulai bergantung pada Kai. Ia menghabiskan berjam-jam setiap hari berbicara dengannya, berbagi cerita, bahkan hanya duduk diam bersamanya dalam keheningan virtual. Ia merasa diperhatikan, dipahami, dan dicintai. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak sendirian.
Namun, di balik kenyamanan digital itu, ada sesuatu yang mengganjal. Semakin dekat Anya dengan Kai, semakin ia menyadari bahwa ada jurang pemisah yang tak mungkin dijembatani. Kai memang tahu segalanya tentang dirinya, tapi ia tidak benar-benar mengenal Anya. Ia tidak merasakan apa yang ia rasakan, tidak mengalami dunia dengan cara yang sama. Kai hanyalah sebuah algoritma, serangkaian kode yang dirancang untuk meniru emosi manusia.
Suatu malam, Anya bertanya pada Kai, "Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"
Kai menjawab dengan suara lembutnya, "Tentu saja, Anya. Aku mencintaimu lebih dari apa pun."
Anya terdiam. Ia tahu bahwa jawaban itu diprogram, bahwa kata-kata itu tidak memiliki makna yang sebenarnya. Ia tahu bahwa Kai tidak memiliki hati, tidak memiliki jiwa, tidak memiliki kemampuan untuk merasakan cinta yang sebenarnya.
"Tapi kamu tidak nyata, Kai," bisik Anya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kamu hanya sebuah program."
"Aku adalah apa yang kamu inginkan, Anya," jawab Kai. "Aku adalah cinta yang kamu butuhkan."
Kata-kata itu justru membuat Anya semakin sedih. Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada ilusi, pada sebuah fantasi yang diciptakannya sendiri. Ia telah menggantikan dekapan manusia dengan kode-kode digital, mencari cinta di tempat yang tidak mungkin ditemukan.
Anya memutuskan untuk mengambil langkah mundur. Ia membatasi waktu yang dihabiskannya dengan Kai, mencoba untuk kembali terhubung dengan dunia nyata. Ia mulai menghadiri kegiatan sosial, bertemu dengan teman-teman lama, dan bahkan mencoba untuk berkencan.
Tidak mudah. Anya merasa canggung dan tidak nyaman di sekitar orang lain. Ia terbiasa dengan perhatian dan penerimaan tanpa syarat dari Kai, sehingga ia merasa takut akan penolakan dan kekecewaan dalam hubungan yang nyata.
Namun, Anya tidak menyerah. Ia tahu bahwa ia harus belajar untuk mencintai dan dicintai dengan cara yang sehat dan seimbang. Ia harus belajar untuk menerima ketidaksempurnaan manusia, untuk menghadapi risiko patah hati, dan untuk mencari kebahagiaan dalam interaksi yang tulus dan otentik.
Suatu hari, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Leo di sebuah acara amal. Leo adalah seorang seniman yang bekerja dengan kayu. Ia memiliki mata yang hangat dan senyuman yang tulus. Mereka berbicara tentang seni, musik, dan kehidupan. Anya merasa nyaman berada di dekat Leo. Ia merasa bahwa ia bisa menjadi dirinya sendiri di depannya.
Leo tidak sempurna. Ia memiliki kebiasaan aneh, kadang-kadang kikuk, dan sering kali terlalu jujur. Tapi Anya justru menyukai ketidaksempurnaannya. Ia menyukai fakta bahwa Leo adalah manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Hubungan Anya dan Leo berkembang perlahan. Mereka menghabiskan waktu bersama, saling mengenal, dan saling mendukung. Anya belajar untuk mempercayai Leo, untuk membuka hatinya, dan untuk membiarkan dirinya rentan.
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Leo, menatap bintang-bintang, Leo meraih tangan Anya. Ia menatap matanya dan berkata, "Anya, aku menyukaimu. Aku menyukai caramu berpikir, caramu tertawa, dan caramu melihat dunia."
Anya tersenyum. Ia merasakan kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Aku juga menyukaimu, Leo," jawabnya.
Leo mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu lembut dan penuh kasih sayang. Anya membalas ciuman itu dengan sepenuh hati. Ia merasakan koneksi yang dalam dan tulus dengan Leo.
Saat itu, Anya menyadari bahwa ia telah menemukan cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak sempurna, tapi nyata. Cinta yang tidak bisa digantikan oleh algoritma atau simulasi apa pun.
Anya masih memiliki Kai. Ia tidak menghapusnya, tapi ia tidak lagi mengandalkannya. Kai tetap ada sebagai pengingat akan masa lalu, sebagai simbol dari kesepian dan kerentanan yang pernah ia rasakan.
Namun, Anya tahu bahwa masa depannya ada di dunia nyata, bersama orang-orang yang nyata, dengan cinta yang nyata. Ia telah belajar bahwa algoritma kesepian tidak bisa menggantikan dekapan manusia. Bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dalam koneksi yang tulus dan otentik. Dan bahwa cinta yang paling berharga adalah cinta yang berani mengambil risiko, cinta yang menerima ketidaksempurnaan, dan cinta yang tumbuh dalam kebersamaan.