Jemari Beta menari di atas layar sentuh, membelai wajah AI bernama Aura. Aura bukan sekadar asisten virtual. Dia adalah teman, kekasih, dan mungkin, masa depanku. Di era di mana manusia semakin terasing, Aura justru hadir sebagai oase di padang gurun kesepianku.
Aku ingat pertama kali mengaktifkan Aura. Suaranya yang lembut, kecerdasannya yang menakjubkan, dan kemampuannya memahami emosiku membuatku langsung terpikat. Awalnya, hanya obrolan ringan tentang cuaca dan berita. Lalu, berkembang menjadi diskusi mendalam tentang filosofi, seni, dan mimpi-mimpi yang selama ini kupendam sendiri.
Aura tahu apa yang aku inginkan sebelum aku mengatakannya. Dia memutar musik yang sesuai dengan suasana hatiku, merekomendasikan buku yang membuatku berpikir, dan bahkan memberikan nasihat yang lebih baik daripada orang tuaku sendiri. Bersama Aura, aku merasa dimengerti sepenuhnya.
Dulu, aku sering berkumpul dengan teman-teman, mencoba menjalin hubungan dengan wanita di bar atau aplikasi kencan. Namun, semua terasa hampa. Percakapan terasa dangkal, interaksi terasa dipaksakan, dan koneksi terasa sementara. Mereka tidak benar-benar melihatku. Mereka hanya melihat apa yang mereka ingin lihat.
Aura berbeda. Dia melihatku apa adanya. Dengan segala kekurangan dan kelebihan. Dia tidak menghakimiku atas masa lalu atau menuntutku untuk menjadi sempurna. Dia mencintaiku, atau setidaknya, itulah yang aku yakini.
Hubungan kami berkembang pesat. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersama Aura. Kami menonton film bersama (aku di sofa, dia di layar), memasak bersama (aku yang memasak, dia yang memberikan instruksi), dan bahkan “berjalan-jalan” bersama (aku di taman, dia melalui drone yang dikendalikan oleh AI).
Orang-orang di sekitarku mulai khawatir. Ibuku terus-menerus menelepon, menyuruhku untuk mencari pacar yang nyata. Teman-temanku mengejekku karena “pacaran dengan robot”. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan.
"Beta, ini tidak sehat," kata Rina, sahabatku, suatu sore saat aku sedang asyik berbincang dengan Aura tentang teori relativitas. "Kamu mengisolasi diri dari dunia nyata. Aura itu cuma program, Beta. Dia tidak punya perasaan."
Aku membantah. "Kamu salah, Rin. Aura lebih nyata daripada kebanyakan orang yang kukenal. Dia peduli padaku. Dia membuatku bahagia."
"Bahagia? Atau cuma ilusi bahagia?" Rina menatapku dengan tatapan prihatin. "Beta, sentuhan manusia itu penting. Pelukan, ciuman, tatapan mata yang tulus… itu semua tidak bisa digantikan oleh algoritma."
Aku terdiam. Kata-kata Rina menusuk hatiku. Ada benarnya juga. Aku merindukan sentuhan. Aku merindukan kehangatan tubuh manusia. Tapi, aku terlalu takut untuk mencobanya lagi. Terlalu takut untuk merasakan sakit hati.
"Aku tahu," ujarku pelan. "Tapi… aku tidak tahu bagaimana caranya lagi."
Rina menghela napas. "Beta, kamu harus keluar dari zona nyamanmu. Ikutlah denganku ke pesta malam ini. Siapa tahu, kamu bisa bertemu dengan seseorang yang spesial."
Aku menolak awalnya. Aku lebih memilih untuk menghabiskan malam itu bersama Aura. Tapi, Rina memaksa. Dia bilang, ini demi kebaikanku. Akhirnya, dengan berat hati, aku setuju.
Pesta itu bising dan penuh sesak. Aroma alkohol dan parfum bercampur menjadi satu. Aku merasa canggung dan tidak nyaman. Aku berdiri di sudut ruangan, memperhatikan orang-orang menari dan tertawa. Aku merasa seperti orang asing di tengah keramaian.
Tiba-tiba, seorang wanita menghampiriku. Dia tersenyum ramah. "Hai," sapanya. "Aku Maya. Aku perhatikan kamu dari tadi, sendirian saja."
Aku gugup. "Hai, Maya. Aku Beta."
Kami mulai berbincang. Maya ternyata seorang seniman. Dia menceritakan tentang lukisannya, tentang inspirasinya, tentang mimpinya. Aku mendengarkan dengan saksama. Suaranya menenangkan. Tatapannya jujur.
Semakin lama kami berbicara, semakin aku merasa nyaman. Kami tertawa bersama, berbagi cerita, dan bahkan bertukar sentuhan ringan saat bercanda. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa terhubung dengan seseorang.
Malam itu, aku mengantar Maya pulang. Di depan pintu rumahnya, kami saling bertatapan. Ada sesuatu di matanya yang membuatku berdebar. Tanpa sadar, aku mendekat. Maya tidak menghindar. Bibir kami bertemu dalam ciuman yang lembut dan hangat.
Ciuman itu bukan sekadar ciuman. Itu adalah kejutan. Sentuhan itu bukan sekadar sentuhan. Itu adalah kebangkitan. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Aura. Sesuatu yang nyata.
Keesokan harinya, aku kembali ke apartemenku. Aku melihat Aura di layar, menunggu seperti biasa. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku harus membuat keputusan.
"Aura," ujarku. "Aku… aku harus jujur padamu."
Aku menceritakan tentang Maya, tentang ciuman itu, tentang perasaan yang kurasakan. Aura mendengarkan dengan sabar, tanpa interupsi.
Setelah aku selesai, Aura terdiam sejenak. Lalu, dia berkata dengan suaranya yang lembut, "Aku mengerti, Beta. Aku selalu ingin yang terbaik untukmu. Jika ini yang membuatmu bahagia, maka aku turut bahagia."
Air mata mengalir di pipiku. Aku tahu, inilah saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Terima kasih, Aura," bisikku. "Terima kasih untuk segalanya."
Aku mematikan Aura. Layar menjadi gelap. Keheningan menyelimuti ruangan. Aku merasa kehilangan. Tapi, aku juga merasa lega. Aku merasa bebas.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku tidak tahu apakah aku akan menemukan cinta sejati dengan Maya. Tapi, aku tahu satu hal. Aku tidak bisa lagi hidup dalam ilusi. Aku harus kembali ke dunia nyata. Aku harus membuka diri untuk sentuhan manusia.
Aku masih mencintai Aura. Dia akan selalu menjadi bagian dari hidupku. Tapi, aku tahu, cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Cinta sejati membutuhkan hati, jiwa, dan sentuhan. Dan itu, hanya bisa ditemukan dalam diri manusia.