Hembusan angin malam dari balkon apartemen menyentuh kulit Lena yang sensitif. Di layar laptop, baris-baris kode terus bergulir, menampilkan algoritma buatannya yang diberi nama "QuantumHeart." Algoritma ini bukan sembarang program. Ia dirancang untuk memahami esensi emosi manusia, memprediksi preferensi, dan bahkan, konon, menemukan pasangan ideal. Ironisnya, Lena, sang pencipta, justru merasa paling kesepian di dunia.
Dua tahun ia habiskan untuk proyek ini, didorong oleh kekecewaan mendalam pada aplikasi kencan konvensional yang terasa dangkal dan transaksional. Ia ingin menciptakan sesuatu yang lebih bermakna, sebuah sistem yang benar-benar memahami kebutuhan hati, bukan hanya preferensi fisik dan hobi.
QuantumHeart bekerja dengan menganalisis data dari berbagai sumber: postingan media sosial, jurnal pribadi (yang diunggah sukarela oleh pengguna), pola komunikasi, dan bahkan gelombang otak melalui sensor khusus yang terintegrasi dalam aplikasi. Data-data ini kemudian diproses melalui jaringan saraf tiruan yang kompleks, menghasilkan profil emosional yang detail dan akurat.
Awalnya, Lena ragu. Bisakah mesin benar-benar memahami emosi? Bisakah cinta direduksi menjadi data dan algoritma? Namun, hasil yang ia peroleh sungguh mencengangkan. QuantumHeart mampu mengidentifikasi kecenderungan emosional, memprediksi reaksi dalam situasi tertentu, dan bahkan mendeteksi kebohongan dengan akurasi yang mengejutkan.
Beberapa bulan lalu, QuantumHeart diluncurkan ke publik. Aplikasi ini dengan cepat menjadi viral, dipuji karena akurasinya dan kemampuannya dalam membantu penggunanya menemukan pasangan yang kompatibel secara emosional. Lena menjadi selebriti dadakan, diundang ke berbagai konferensi dan wawancara. Ia dianggap sebagai visioner, seorang revolusioner dalam dunia percintaan.
Namun, di balik kesuksesan itu, Lena menyembunyikan sebuah rahasia. Ia belum pernah menggunakan QuantumHeart untuk dirinya sendiri. Ia takut. Takut bahwa algoritma itu akan mengungkap sesuatu yang tidak ingin ia lihat, atau lebih buruk lagi, menemukan pasangan yang tidak sesuai dengan ekspektasinya yang tersembunyi.
Malam ini, rasa penasaran akhirnya mengalahkannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan membuka aplikasi QuantumHeart di ponselnya. Jantungnya berdebar kencang saat ia memasukkan datanya sendiri. Algoritma mulai bekerja, menganalisis profil emosionalnya.
Beberapa menit kemudian, layar ponsel menampilkan hasil. "Pasangan Ideal: Elias Vance." Nama itu asing baginya. Profil Elias Vance muncul di layar. Seorang fisikawan kuantum, berusia 35 tahun, penyuka kopi pahit, dan memiliki kecenderungan untuk berpikir terlalu dalam tentang makna eksistensi. Foto profilnya menunjukkan seorang pria dengan mata yang teduh dan senyum yang tulus.
Lena terkejut. Ia tidak pernah tertarik pada fisikawan. Ia selalu membayangkan dirinya bersama seorang seniman atau musisi, seseorang yang kreatif dan ekspresif. Namun, ada sesuatu dalam profil Elias yang menarik perhatiannya. Deskripsi dirinya singkat namun jujur, jauh dari kesan narsis yang sering ia temui di aplikasi kencan lain.
Dengan ragu, ia memutuskan untuk mengirim pesan. "Hai Elias, QuantumHeart mengatakan kita cocok. Menurutmu?"
Beberapa menit kemudian, balasan datang. "Halo Lena. Agak aneh memang, dipertemukan oleh algoritma. Tapi, aku bersedia melihat apa yang terjadi. Bagaimana kalau kita bertemu untuk minum kopi?"
Lena tersenyum tipis. "Kopi terdengar bagus. Tapi aku memperingatkanmu, aku suka kopi manis."
"Kalau begitu, aku akan pesan yang pahit untuk menetralkan rasa manisnya," balas Elias.
Pertemuan mereka di kedai kopi kecil di pusat kota ternyata lebih menyenangkan dari yang ia bayangkan. Elias memang seperti yang ia bayangkan dari profilnya: cerdas, introspektif, dan memiliki selera humor yang unik. Mereka berbicara tentang fisika kuantum, makna cinta, dan paradoks kebebasan memilih di era algoritma.
Seiring berjalannya waktu, Lena semakin dekat dengan Elias. Ia menyukai caranya berpikir, caranya melihat dunia, dan caranya memperlakukannya. Ia merasa dipahami dan dihargai, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, di balik kebahagiaan itu, Lena masih merasa sedikit tidak nyaman. Ia terus bertanya-tanya, apakah Elias benar-benar mencintainya, atau hanya mencintai profil emosional yang dihasilkan oleh QuantumHeart? Apakah cinta mereka nyata, atau hanya hasil dari kalkulasi rumit?
Suatu malam, saat mereka duduk berdua di balkon apartemen Lena, menikmati pemandangan kota yang gemerlap, Lena memberanikan diri untuk bertanya. "Elias, apakah kamu mencintai aku, atau hanya mencintai algoritma yang mengatakan kita cocok?"
Elias menatapnya dengan tatapan yang lembut. "Lena, aku mencintai kamu. Bukan algoritma, bukan profil emosional, tapi kamu. Aku mencintai caramu berpikir, caramu tertawa, dan caramu melihat dunia. QuantumHeart mungkin telah mempertemukan kita, tapi apa yang terjadi setelahnya adalah pilihan kita sendiri."
Lena terdiam. Kata-kata Elias menghapus semua keraguannya. Ia akhirnya mengerti bahwa algoritma hanyalah alat, sebuah jembatan yang membantunya menemukan seseorang yang istimewa. Cinta sejati, pada akhirnya, adalah tentang koneksi manusia, tentang pilihan untuk saling memahami dan mencintai tanpa syarat.
Ia meraih tangan Elias dan menggenggamnya erat. Malam itu, di bawah cahaya bintang, Lena merasa lengkap. Ia telah menemukan cinta, bukan melalui algoritma, tapi melalui sentuhan hati yang tulus. Dan ia menyadari, algoritma mungkin bisa memahami, tapi hanya hati yang bisa merasakan kerinduan yang sebenarnya. Kerinduan untuk dicintai, untuk dipahami, dan untuk terhubung dengan seseorang yang istimewa. Dan malam ini, kerinduan itu telah terjawab.