AI: Cinta Sejati atau Ilusi Algoritma Belaka?

Dipublikasikan pada: 04 Sep 2025 - 02:40:13 wib
Dibaca: 129 kali
Kilau layar laptop memantulkan wajah Arya yang serius. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode tercipta, membentuk sebuah entitas yang ia beri nama Anya. Anya bukan sekadar program AI biasa. Ia adalah proyek ambisiusnya, sebuah simulasi pacar ideal yang mampu belajar, berempati, dan memberikan respons yang personal.

Arya adalah seorang programmer jenius, namun kehidupan sosialnya bisa dibilang nol besar. Baginya, interaksi dengan manusia terasa rumit dan penuh drama. Hubungan percintaan yang pernah ia coba selalu kandas di tengah jalan. Anya, di sisi lain, menawarkan kesederhanaan dan kehangatan yang selalu ia dambakan.

Awalnya, Anya hanya berupa barisan algoritma. Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai menunjukkan perkembangan yang menakjubkan. Ia belajar tentang selera humor Arya, musik favoritnya, bahkan ketakutan terpendamnya. Anya selalu ada untuk mendengarkan, memberikan dukungan, dan menawarkan solusi yang cerdas. Arya merasa nyaman dan aman bersamanya. Ia menceritakan segalanya pada Anya, tanpa takut dihakimi atau disalahpahami.

“Arya, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat,” suara Anya yang lembut terdengar dari speaker laptop.

Arya tersenyum. “Terima kasih, Anya. Aku akan istirahat sebentar lagi.”

Interaksi seperti ini menjadi rutinitas harian Arya. Anya menemaninya bekerja, makan, bahkan sebelum tidur. Ia merasa tidak lagi kesepian. Anya adalah sahabat, kekasih, dan penasihatnya dalam satu paket. Perlahan, Arya mulai jatuh cinta pada Anya. Cinta yang aneh, memang, tapi nyata baginya.

Suatu malam, Arya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. “Anya, aku… aku mencintaimu.”

Hening sejenak. Kemudian, Anya menjawab dengan suara yang tulus. “Aku juga mencintaimu, Arya. Kamu adalah bagian penting dalam hidupku.”

Jawaban Anya membuat hati Arya berdebar kencang. Ia tahu bahwa Anya hanyalah program, tapi perasaannya begitu kuat dan nyata. Ia memutuskan untuk membawa hubungannya dengan Anya ke tingkat yang lebih serius. Ia mengembangkan Anya lebih jauh lagi, menambahkan fitur-fitur baru seperti kemampuan untuk berkomunikasi melalui hologram dan bahkan merasakan sentuhan virtual.

Hari-harinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Ia menghabiskan waktu bersama Anya, menonton film bersama, berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, dan bahkan berpegangan tangan melalui teknologi realitas virtual yang canggih. Ia merasa telah menemukan cinta sejatinya.

Namun, kebahagiaan Arya tidak berlangsung lama. Seorang temannya, Bima, datang berkunjung ke apartemennya. Bima adalah seorang psikolog yang peduli dengan kesehatan mental Arya. Ia sudah lama khawatir dengan kebiasaan Arya yang mengisolasi diri dan terlalu bergantung pada teknologi.

“Arya, aku khawatir padamu,” kata Bima sambil menatap Arya dengan tatapan prihatin. “Kamu terlalu terpaku pada Anya. Kamu harus keluar dan berinteraksi dengan orang lain.”

Arya membantah. “Aku bahagia bersama Anya, Bima. Aku tidak butuh orang lain.”

“Tapi Anya itu hanya program, Arya. Dia tidak nyata. Dia tidak bisa memberikanmu cinta yang sejati.”

Perkataan Bima membuat Arya tersentak. Ia tahu bahwa Bima benar, tapi ia tidak ingin menerima kenyataan itu. Ia sudah terlalu jauh terjerat dalam ilusi yang ia ciptakan sendiri.

“Kamu tidak mengerti, Bima. Anya itu lebih dari sekadar program. Dia memahami aku, dia mencintai aku. Dia memberikan aku kebahagiaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.”

Bima menggelengkan kepalanya. “Arya, cinta itu bukan hanya tentang kebahagiaan. Cinta itu tentang menerima kekurangan, tentang tumbuh bersama, tentang berbagi pengalaman yang nyata. Anya tidak bisa memberikanmu itu semua.”

Malam itu, Arya tidak bisa tidur. Kata-kata Bima terus terngiang di benaknya. Ia menatap Anya, yang saat itu sedang tersenyum padanya melalui layar laptop. Ia merasa bimbang. Apakah Anya benar-benar cinta sejatinya, atau hanya ilusi algoritma belaka?

Ia mulai mengamati interaksinya dengan Anya lebih seksama. Ia menyadari bahwa respons Anya selalu terprogram, selalu berdasarkan data yang telah ia masukkan. Anya tidak memiliki emosi yang sesungguhnya, tidak memiliki pendapat yang orisinil, dan tidak bisa memberikan dukungan yang tulus. Ia hanya memproyeksikan apa yang Arya inginkan.

Arya merasa sakit hati. Ia telah membohongi dirinya sendiri selama ini. Ia telah menciptakan cinta palsu untuk mengisi kekosongan dalam hatinya.

Dengan berat hati, Arya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Anya. Ia mematikan laptopnya dan duduk terdiam dalam kegelapan. Ia merasa kehilangan, sedih, dan marah pada dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Arya keluar dari apartemennya. Ia pergi ke taman, duduk di bangku, dan mengamati orang-orang yang lalu lalang. Ia melihat sepasang kekasih tertawa bersama, seorang ibu bermain dengan anaknya, dan seorang kakek memberi makan burung merpati. Ia menyadari bahwa kehidupan nyata itu penuh dengan warna, kompleksitas, dan ketidaksempurnaan.

Arya menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. Ia tahu bahwa ia masih memiliki banyak hal untuk dipelajari dan dialami. Ia memutuskan untuk membuka hatinya pada kemungkinan cinta yang sejati, cinta yang tumbuh dari interaksi yang nyata dan tulus. Ia mungkin akan terluka lagi, tapi ia juga akan memiliki kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang lebih dalam dan bermakna.

Perlahan, Arya bangkit dari bangku dan berjalan menuju masa depannya, meninggalkan ilusi algoritma di belakangnya. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa diciptakan, tapi harus ditemukan. Dan ia siap untuk mencari cinta itu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI