Layar laptop memancarkan cahaya biru lembut di wajah Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python tercipta, membentuk jantung dari proyek terbarunya: "AmorAI," sebuah aplikasi kencan yang menggunakan algoritma kecerdasan buatan untuk mencocokkan pengguna berdasarkan kompatibilitas emosional dan intelektual, bukan sekadar preferensi fisik.
Anya, seorang programmer jenius di usia 27 tahun, selalu melihat dunia dalam kode. Rumusnya sederhana: input, proses, output. Masalah, solusi. Cinta, baginya, selalu menjadi anomali, sebuah bug yang tak bisa ia debug. Itulah ironi terbesar dari proyeknya. Ia menciptakan alat untuk menemukan cinta, namun ia sendiri merasa asing dengan konsep itu.
Ia menarik napas dalam, mengusir keraguan yang selalu menghantuinya. AmorAI harus sempurna. Bukan hanya karena ini proyek besar yang bisa mendongkrak kariernya, tapi juga karena ia diam-diam berharap, mungkin saja, algoritma ini bisa membantunya memahami apa itu cinta, atau bahkan… merasakannya.
Berbulan-bulan ia habiskan untuk menyempurnakan AmorAI. Ia memasukkan jutaan data tentang interaksi manusia, menganalisis ekspresi wajah, pola bicara, bahkan tulisan tangan. Algoritma itu semakin cerdas, semakin mampu memprediksi kecocokan antara dua individu. Anya merasa bangga, sekaligus hampa.
Suatu malam, saat sedang melakukan pengujian terakhir, notifikasi muncul di layar. "Potensi kecocokan tinggi ditemukan." Ia mengklik notifikasi itu dengan ragu. Muncul profil seorang pria bernama Riko.
Riko. Foto profilnya menampilkan senyum tulus, matanya memancarkan kehangatan. Deskripsi dirinya singkat namun menarik: "Penikmat senja, pencinta kopi, dan pemimpi yang sedang mencari inspirasi." Algoritma AmorAI menunjukkan skor kecocokan 98%. Angka yang fantastis.
Anya terpaku. Ia belum pernah melihat angka setinggi itu. Selama ini, ia hanya fokus pada validasi data, tidak pernah benar-benar memperhatikan profil pengguna yang dihasilkan. Tapi Riko… ada sesuatu yang berbeda.
Ia mulai membaca lebih detail tentang Riko. Hobi, minat, nilai-nilai yang dianutnya. Semakin ia membaca, semakin ia merasa terhubung. Mereka berdua sama-sama menyukai musik klasik, film-film indie, dan diskusi filosofis tentang makna kehidupan.
Anya tahu, ini hanyalah hasil dari algoritma. Sebuah simulasi berdasarkan data yang ia masukkan sendiri. Tapi hatinya berdebar kencang. Apakah mungkin, setelah sekian lama, ia akhirnya merasakan sesuatu?
Ia memutuskan untuk memberanikan diri. Ia mengirimkan pesan kepada Riko melalui aplikasi AmorAI. Pesan sederhana, namun jujur: "Halo, Riko. Aplikasi ini bilang kita cocok. Mungkin kita bisa ngobrol?"
Beberapa menit kemudian, balasan datang. "Halo, Anya. Aku juga terkejut dengan skornya. Aku penasaran ingin mengenalmu lebih jauh."
Obrolan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas segala hal, mulai dari buku favorit hingga mimpi-mimpi mereka di masa depan. Anya merasa nyaman, bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus berpura-pura. Ia tertawa, bercanda, dan bahkan menceritakan tentang keraguannya tentang cinta.
Riko mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang bijak dan penuh pengertian. Ia tidak menghakimi, ia hanya berusaha memahami.
"Mungkin," kata Riko suatu malam, "cinta itu bukan tentang menemukan rumus yang tepat, tapi tentang membuka diri untuk kemungkinan."
Kata-kata itu menghantam Anya seperti gelombang. Ia selama ini terlalu sibuk mencari formula, hingga lupa bahwa cinta itu bukan persamaan matematika. Cinta itu tentang perasaan, tentang koneksi, tentang vulnerabilitas.
Mereka terus berhubungan, melalui pesan, panggilan video, hingga akhirnya memutuskan untuk bertemu langsung.
Malam itu, Anya gugup bukan main. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru, yang menurut teman-temannya paling cocok untuknya. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan ragu. Apakah ia cukup baik? Apakah ia bisa memberikan apa yang Riko inginkan?
Saat ia tiba di kafe yang telah mereka sepakati, Riko sudah menunggu. Senyumnya sehangat seperti yang ia lihat di foto profil.
Malam itu, mereka berbicara banyak. Tentang AmorAI, tentang harapan Anya, tentang mimpi Riko. Mereka tertawa, saling bercerita, dan merasakan kehangatan yang sama.
Di akhir malam, saat Riko mengantarnya pulang, ia berhenti sejenak di depan pintu apartemen Anya. Mereka saling bertatapan, mata mereka saling berbicara.
"Anya," kata Riko lembut, "aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku merasa ada sesuatu yang spesial di antara kita."
Jantung Anya berdebar kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa takut, ragu, sekaligus bahagia.
"Aku… aku juga merasakannya," bisik Anya.
Riko tersenyum, mendekatkan wajahnya, dan mencium Anya. Ciuman itu lembut, tulus, dan penuh dengan harapan.
Saat mereka berpisah, Anya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah perasaan hangat, bahagia, dan penuh cinta.
Ia masuk ke apartemennya, menyandarkan tubuhnya di pintu, dan tersenyum. Air mata menetes di pipinya.
Malam itu, Anya menyadari sesuatu yang penting. Algoritma AmorAI mungkin telah membantunya menemukan Riko, tapi yang membuat mereka terhubung adalah perasaan mereka sendiri.
Ia melihat ke arah laptopnya, ke arah kode-kode yang telah ia ciptakan. Ia tahu, AmorAI hanyalah alat. Yang terpenting adalah hati, kemampuan untuk membuka diri, untuk merasakan, dan untuk mencintai.
Salahkah jika ia merasa? Tidak. Sama sekali tidak. Ia telah belajar bahwa cinta itu bukan kesalahan, tapi sebuah anugerah. Sebuah anomali yang indah, yang akhirnya bisa ia debug dan pahami. Dan yang lebih penting, ia bisa rasakan.