Hembusan angin malam membawa aroma kopi dari kedai di seberang jalan. Anya menyesap kopinya, menatap layar laptop yang memantulkan cahaya rembulan di matanya. Baris-baris kode program berjejer rapi, membentuk labirin rumit yang berusaha ia pecahkan. Bukan algoritma rumit tentang kecerdasan buatan atau machine learning. Ini lebih personal. Ini tentang Reihan.
Lima tahun. Lima tahun Anya dan Reihan berbagi kode, ide, dan impian di balik layar komputer. Mereka membangun aplikasi bersama, merancang game inovatif, dan bahkan menciptakan sistem keamanan siber yang sempat dilirik pemerintah. Bersama, mereka adalah duo dinamis, otak brilian yang saling melengkapi. Namun, di balik semua itu, Anya memendam perasaan yang tak pernah terucap. Cinta. Cinta yang rumit, karena Reihan hanya melihatnya sebagai sahabat, rekan kerja, dan partner in crime.
Reihan bagaikan algoritma yang sempurna, efisien dan terstruktur. Ia tahu apa yang ia inginkan, dan bagaimana cara mendapatkannya. Logikanya tajam, keputusannya terukur. Anya, di sisi lain, lebih intuitif dan spontan. Ia melihat celah di antara baris kode, menemukan solusi yang tak terpikirkan oleh Reihan. Perbedaan itu yang membuat mereka kuat, namun juga menjadi penghalang bagi Anya untuk mengungkapkan perasaannya.
Semua berubah tiga bulan lalu. Reihan tiba-tiba memutuskan untuk pindah ke Silicon Valley, menerima tawaran dari perusahaan teknologi raksasa. Keputusan itu menghancurkan Anya. Bukan karena kehilangan partner kerja, tapi karena ia tahu, jarak akan memperlebar jurang di antara mereka. Sebelum pergi, Reihan hanya berkata, "Anya, kamu yang terbaik. Jangan lupakan aku." Kalimat sederhana itu membuatnya semakin terluka. Seolah ia hanya sekadar baris kode yang akan disimpan dalam memori, bukan bagian penting dari program yang sedang berjalan.
Malam ini, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang gila. Ia ingin menciptakan algoritma cinta. Algoritma yang bisa menganalisis data interaksi mereka selama lima tahun, mengidentifikasi pola-pola tersembunyi, dan menentukan apakah Reihan juga memiliki perasaan yang sama. Kedengarannya konyol, bahkan untuk seorang programmer sekalipun. Tapi Anya merasa inilah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban.
Ia mulai mengumpulkan data. Semua email, pesan teks, log chat, bahkan riwayat git commit mereka. Ia menganalisis frekuensi interaksi, jenis kata yang digunakan, waktu respons, dan bahkan emoji yang sering mereka kirim. Ia menggunakan teknik natural language processing untuk mengukur sentimen dan menganalisis topik percakapan. Setelah berminggu-minggu begadang dan larut dalam kode, Anya akhirnya berhasil menciptakan program yang ia namakan "Rindu.exe".
Program itu berjalan. Baris-baris kode berpacu di layar, memproses jutaan data point. Jantung Anya berdebar kencang. Ia merasa seperti sedang menunggu hasil tes DNA. Setelah beberapa saat, program berhenti. Di layar muncul sebuah pesan:
"Probabilitas Reihan memiliki perasaan romantis terhadap subjek: 67%."
Anya tertegun. 67%. Bukan angka yang mutlak, tapi cukup signifikan untuk memberikan harapan. Program itu juga menyertakan analisis lebih lanjut, menyoroti momen-momen ketika Reihan menunjukkan perhatian khusus, mengungkapkan rasa kagum, atau memberikan dukungan emosional. Anya membaca setiap baris dengan seksama, mengingat kembali setiap kejadian.
Namun, di tengah euforia, Anya merasakan keraguan. Apakah ia benar-benar mempercayai algoritma ini? Bisakah cinta yang kompleks dan irasional direduksi menjadi sekumpulan data dan persamaan matematika? Apakah ia hanya mencari pembenaran atas perasaannya sendiri?
Ia menutup laptopnya. Angin malam semakin dingin. Anya memutuskan untuk berjalan kaki. Ia ingin menjernihkan pikirannya, merasakan dunia di luar layar komputer. Ia berjalan menuju kedai kopi di seberang jalan, memesan secangkir kopi panas, dan duduk di teras.
Di tengah kesunyian malam, Anya teringat percakapan terakhirnya dengan Reihan. Bukan kata-kata perpisahan, tapi percakapan tentang mimpi mereka. Reihan selalu bersemangat berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana teknologi bisa mengubah dunia. Ia ingin menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Dan Anya selalu mendukungnya, memberinya ide dan inspirasi.
Tiba-tiba, Anya menyadari sesuatu. Cinta bukan tentang kode dan algoritma. Cinta bukan tentang mencari bukti dan validasi. Cinta adalah tentang koneksi, tentang berbagi, tentang saling mendukung. Selama lima tahun, ia dan Reihan telah membangun koneksi yang kuat, berbagi impian, dan saling mendukung. Mungkin Reihan tidak mencintainya dalam arti romantis, tapi ia menghargainya sebagai sahabat, sebagai rekan kerja, sebagai bagian penting dari hidupnya.
Anya mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada Reihan.
"Reihan, aku merindukanmu. Aku merindukan ide-ide gilamu, percakapan larut malam kita, dan semangatmu untuk mengubah dunia. Aku tahu kamu sibuk di Silicon Valley, tapi aku harap kamu tidak melupakan kita. Aku akan selalu mendukungmu, apapun yang terjadi."
Setelah mengirim pesan itu, Anya merasa lega. Ia tidak peduli lagi tentang algoritma dan probabilitas. Ia hanya ingin jujur pada perasaannya, dan menghargai hubungan yang ia miliki dengan Reihan.
Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering. Pesan dari Reihan.
"Anya, aku juga merindukanmu. Silicon Valley memang keren, tapi aku sering merasa kehilangan separuh otakku. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Terima kasih sudah selalu mendukungku. Aku sedang mengerjakan proyek baru, dan aku ingin mendengar pendapatmu. Bisakah kita video call besok?"
Anya tersenyum. Ia tahu, jarak tidak akan menghapus koneksi mereka. Cinta mungkin tidak bisa dikodekan ulang, tapi persahabatan dan dukungan bisa bertahan selamanya. Mungkin, algoritma itu tidak memberikan jawaban pasti tentang cinta, tapi ia telah membantunya untuk memahami apa yang benar-benar penting. Dan itu, lebih dari cukup.