Nada dering kustom, "Rewrite the Stars," mengalun pelan dari ponsel Mia. Sebuah notifikasi dari aplikasi kencan daringnya. Harapan kembali menyala, meskipun sudah berkali-kali dipadamkan oleh kenyataan. Ia menghela napas, membuka aplikasi itu, dan mendapati pesan otomatis yang menyakitkan. "Error 404: Profil Tidak Ditemukan. Mungkin profil ini sudah tidak aktif atau telah memblokir Anda."
Lagi.
Mia menutup aplikasi dengan kasar. Rasa frustrasi yang familiar menjalar di dadanya. Ia sudah mencoba berbagai aplikasi, berbagai strategi, berbagai foto profil. Hasilnya selalu sama. Hampa. Ia merasa seperti sinyal Wi-Fi yang lemah, berusaha menjangkau router di ujung dunia. Cinta, bagi Mia, adalah sebuah koneksi yang terputus.
Usianya 28 tahun. Kariernya sebagai desainer grafis di sebuah startup teknologi sedang menanjak. Ia punya teman-teman baik, hobi yang menyenangkan, dan apartemen nyaman di pusat kota. Namun, di relung hatinya yang paling dalam, ada sebuah kekosongan yang menganga. Kekosongan yang hanya bisa diisi oleh cinta.
“Mungkin aku ditakdirkan untuk menjadi janda karir yang bahagia,” gumamnya getir, sambil menatap refleksi dirinya di layar ponsel. Bayangan itu membalasnya dengan tatapan lelah.
Suatu malam, di sebuah konferensi teknologi, Mia bertemu dengan Dr. Adrian Surya. Adrian adalah seorang ilmuwan komputer brilian yang sedang mengembangkan kecerdasan buatan (AI) untuk memahami dan memprediksi perilaku manusia. Mia terpesona oleh presentasinya yang inovatif. Ide tentang mesin yang bisa merasakan dan memahami emosi manusia terdengar seperti fiksi ilmiah, namun Adrian memaparkannya dengan keyakinan yang meyakinkan.
Setelah presentasi, Mia memberanikan diri untuk menghampiri Adrian. "Presentasi Anda sangat menarik, Dr. Surya. Saya Mia, seorang desainer grafis."
Adrian tersenyum, lesung pipi di pipinya semakin menonjol. "Panggil saja Adrian. Dan terima kasih, Mia. Saya senang Anda tertarik."
Mereka berbincang panjang lebar tentang teknologi, seni, dan kehidupan. Mia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam interaksinya dengan Adrian. Ada kejujuran, kecerdasan, dan rasa ingin tahu yang tulus. Ia merasa dilihat, didengar, dan dipahami.
Seminggu kemudian, Adrian menghubunginya. Ia sedang mengembangkan sebuah program AI yang disebut "Soulmate Algorithm," sebuah sistem yang dirancang untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, minat, dan nilai-nilai. Ia membutuhkan masukan dari sudut pandang seorang desainer untuk membuat antarmuka pengguna yang intuitif dan menarik.
Mia menerima tawaran itu dengan senang hati. Bekerja dengan Adrian membuatnya bersemangat. Ia terkesan dengan dedikasi Adrian terhadap proyeknya, tetapi lebih dari itu, ia terkesan dengan kepribadian Adrian. Ia adalah orang yang sabar, perhatian, dan memiliki selera humor yang unik.
"Bagaimana cara kerja Soulmate Algorithm?" tanya Mia suatu hari, sambil menyesap kopi di kantor Adrian.
Adrian tersenyum. "Pada dasarnya, algoritma ini menganalisis data yang dikumpulkan dari berbagai sumber - profil media sosial, riwayat penelusuran, bahkan pola tidur. Kemudian, ia menggunakan machine learning untuk mengidentifikasi pola-pola yang menunjukkan kesesuaian antara dua orang."
"Kedengarannya sedikit menakutkan," kata Mia, sedikit ngeri. "Bagaimana jika algoritma itu salah?"
"Tentu saja, ada kemungkinan kesalahan," jawab Adrian jujur. "Algoritma ini hanyalah alat. Pada akhirnya, keputusan ada di tangan manusia. Tujuan kami bukan untuk menggantikan cinta, tetapi untuk membantu orang menemukan koneksi yang bermakna."
Seiring berjalannya waktu, Mia semakin terlibat dalam proyek Soulmate Algorithm. Ia membantu Adrian menyempurnakan algoritma, memperbaiki antarmuka pengguna, dan menguji sistem pada berbagai kelompok pengguna. Ia bahkan membuat profil dirinya sendiri di Soulmate Algorithm, murni untuk tujuan pengujian.
Suatu malam, ketika mereka sedang bekerja lembur, Adrian tiba-tiba berhenti mengetik. Ia menatap Mia dengan ekspresi serius. "Mia," katanya pelan, "ada sesuatu yang ingin saya katakan."
Jantung Mia berdebar kencang. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini.
"Soulmate Algorithm... ia memberikan hasil yang sangat menarik." Adrian menarik napas dalam-dalam. "Ia merekomendasikan saya untuk Anda."
Mia terdiam. Ia tahu bahwa ia memiliki perasaan pada Adrian, tetapi ia tidak pernah membayangkan bahwa Adrian merasakan hal yang sama.
"Saya tahu ini mungkin terdengar aneh," lanjut Adrian, "terutama karena algoritma ini yang mengatakannya. Tapi jujur, Mia, saya juga merasakan hal yang sama. Saya menikmati setiap saat yang saya habiskan bersama Anda. Saya mengagumi kecerdasan Anda, kreativitas Anda, dan kebaikan hati Anda."
Mia tersenyum, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Saya juga, Adrian. Saya juga merasakan hal yang sama."
Mereka saling mendekat, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut. Ciuman yang terasa seperti kombinasi sempurna antara logika dan emosi, antara teknologi dan manusia.
Malam itu, Mia dan Adrian menyadari bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga. Bukan melalui aplikasi kencan yang penuh dengan profil palsu dan harapan kosong, tetapi melalui kolaborasi yang jujur, melalui ketertarikan intelektual, dan melalui keberanian untuk membuka hati.
Soulmate Algorithm mungkin hanya sebuah alat, tetapi alat itu telah membantu mereka melihat apa yang selama ini ada di depan mata mereka. Bahwa cinta, terkadang, membutuhkan sedikit bantuan dari teknologi untuk menemukan jalannya. Bahwa error 404: Cinta Tak Ditemukan, bisa diperbaiki dengan kehadiran AI, bukan untuk menggantikan perasaan manusia, tapi untuk menyingkapnya. Mereka adalah bukti bahwa di era digital, bahkan cinta pun bisa di-debug, di-patch, dan di-upgrade menjadi sesuatu yang lebih baik. Dan Mia, akhirnya, menemukan koneksi yang selama ini ia cari. Sebuah koneksi yang tidak akan pernah terputus.