Debu neon bertebaran di layar laptop, menari-nari mengikuti irama ketukan jemariku di atas keyboard. Di sini, di bilik kantor yang diselimuti cahaya artifisial, aku menciptakan algoritma cinta. Ironis, bukan? Seorang insinyur perangkat lunak dengan keahlian merangkai kode demi menemukan pasangan ideal untuk orang lain, justru terjebak dalam labirin kesendirian.
"Proyek 'Soulmate Finder' ini akan merevolusi kencan online, Gilang," ujar Pak Handoko, CEO perusahaan tempatku bekerja, beberapa bulan lalu. Kata-katanya masih terngiang jelas di telingaku. "Kita akan menghapus semua kebetulan dan intrik. Algoritma ini akan menemukan kecocokan sempurna berdasarkan data psikologis, minat, bahkan preferensi genetik."
Aku menelan ludah pahit. Kecocokan sempurna. Kata-kata itu terasa seperti cemoohan halus terhadap kisah cintaku sendiri. Aku pernah berpikir telah menemukan kecocokan sempurna itu pada diri Anya. Dua tahun bersama, berbagi mimpi, tawa, dan air mata. Lalu, tiba-tiba, semua itu menguap begitu saja. Anya pergi, tanpa penjelasan yang benar-benar kupahami. Katanya, kami tidak lagi sejalan. Algoritma akan mengatakan hal yang sama, mungkin, dengan grafik dan data yang memilukan.
Proyek Soulmate Finder ini sebenarnya adalah pelarianku. Aku membenamkan diri dalam baris kode, mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan Anya. Aku membangun jaringan saraf tiruan yang kompleks, memasukkan data dari ribuan profil pengguna, dan melatihnya untuk mengidentifikasi pola kecocokan yang tersembunyi. Aku ingin menciptakan cinta, memvalidasi keyakinan bahwa cinta bisa diprediksi, diukur, dan direkayasa.
Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan, aku bertemu Aira. Dia adalah anggota tim desain yang bertugas membuat antarmuka pengguna untuk Soulmate Finder. Aira memiliki senyum yang menenangkan dan mata yang selalu berbinar penuh ide. Kami sering bertukar pikiran tentang proyek ini, berdebat tentang estetika dan fungsionalitas.
Awalnya, interaksi kami sebatas profesional. Namun, seiring berjalannya waktu, aku menyadari ada sesuatu yang berbeda. Aira selalu tahu bagaimana membuatku tertawa, bagaimana menenangkan kegelisahanku. Dia adalah pendengar yang baik, dan percakapan kami selalu mengalir begitu saja, seolah kami telah saling mengenal selama bertahun-tahun.
Aku mulai merasa takut. Aku menciptakan algoritma cinta untuk orang lain, tapi justru aku yang jatuh cinta, tanpa perhitungan, tanpa data, tanpa prediksi. Cinta yang terasa begitu organik dan alami. Aku tahu ini tidak rasional, tapi aku tidak bisa menahannya.
Suatu malam, setelah bekerja lembur, aku mengajak Aira makan malam. Kami duduk di sebuah restoran kecil di sudut kota, diterangi cahaya lilin yang redup. Aku menceritakan tentang Anya, tentang proyek Soulmate Finder, tentang keraguanku.
"Gilang," kata Aira lembut, menggenggam tanganku. "Aku tahu ini sulit. Tapi kau tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi dengan Anya. Dan kau tidak bisa menyamakan cinta dengan algoritma. Cinta itu lebih dari sekadar data dan statistik. Cinta itu tentang koneksi, tentang kepercayaan, tentang keberanian untuk membuka hati."
Kata-katanya menghantamku seperti ombak. Aku menatap matanya, dan aku melihat kejujuran, kebaikan, dan harapan. Aku menyadari bahwa aku telah terlalu lama terpaku pada masa lalu, terlalu lama mencoba mengendalikan sesuatu yang seharusnya bebas.
Kami mulai berkencan. Kami menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menonton film, dan tertawa tanpa henti. Aira membantuku melihat dunia dengan cara yang baru, membantuku menemukan kembali diriku sendiri.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada bayangan yang mengintai. Aku terus bekerja pada Soulmate Finder, dan semakin lama aku bekerja, semakin aku merasa tidak nyaman. Algoritma itu terasa seperti pengkhianat, mencoba merampas keajaiban dari cinta yang kurasakan bersama Aira.
Suatu hari, aku memutuskan untuk menguji Aira dalam Soulmate Finder. Aku memasukkan semua datanya: profil psikologis, minat, hobi, bahkan preferensi genetik. Aku menunggu dengan jantung berdebar-debar.
Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu tidak menganggap Aira sebagai "kecocokan sempurna" untukku. Bahkan, skor kecocokan kami hanya berada di bawah rata-rata.
Aku tertegun. Bagaimana mungkin? Aku merasakan koneksi yang begitu kuat dengan Aira, tapi algoritma itu mengatakan sebaliknya. Apa yang salah? Apa yang telah aku lakukan?
Aku mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan ketidakcocokan itu. Ternyata, algoritma itu terlalu fokus pada data yang bersifat objektif. Algoritma itu tidak bisa mengukur hal-hal seperti selera humor, empati, atau chemistry. Algoritma itu tidak bisa merasakan apa yang kurasakan.
Aku menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan besar. Aku telah terlalu percaya pada kekuatan teknologi, terlalu meremehkan kekuatan hati. Aku telah mencoba mereduksi cinta menjadi serangkaian persamaan dan variabel, padahal cinta itu jauh lebih kompleks dan misterius dari itu.
Aku memutuskan untuk menghapus semua data Aira dari Soulmate Finder. Aku tidak ingin algoritma itu merusak apa yang kumiliki bersamanya. Aku ingin mempercayai perasaanku sendiri, mengikuti kata hatiku.
Aku menemui Pak Handoko dan mengundurkan diri dari proyek Soulmate Finder. Aku menjelaskan kepadanya bahwa aku tidak lagi percaya pada gagasan cinta yang direkayasa. Aku ingin mencari kebahagiaanku sendiri, dengan cara yang alami dan jujur.
Pak Handoko awalnya kecewa, tapi dia akhirnya mengerti. Dia mengakui bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa diprediksi atau dikendalikan.
Aku dan Aira masih bersama. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi kami berjanji untuk saling mencintai, saling mendukung, dan saling menghargai, tanpa peduli apa kata algoritma.
Jejak digital hatiku mungkin tidak cocok dengan algoritma siapa pun, tapi jejak hatiku dengan Aira terasa sempurna. Karena terkadang, cinta sejati ditemukan bukan dalam baris kode, melainkan dalam tatapan mata dan sentuhan tangan. Dan itu, bagiku, sudah lebih dari cukup.