Kopi late-nya dingin. Sama dinginnya dengan tatapan Maya beberapa minggu terakhir. Alfi mengaduknya perlahan, menatap pusaran kopi yang berputar seperti labirin pikirannya. Lima tahun bersama, terasa seperti kemarin mereka pertama kali bertemu di seminar robotik. Dulu, mata Maya berbinar setiap kali Alfi menceritakan algoritma terbaru atau inovasi AI. Sekarang? Jangankan binar, senyum pun terasa dipaksakan.
"Maya, kita perlu bicara," ucap Alfi akhirnya, memecah keheningan kafe yang ramai.
Maya mengangkat wajahnya dari layar ponsel. "Aku tahu," jawabnya singkat, nadanya datar seperti grafik detak jantung yang mati.
Alfi menarik napas dalam. "Aku merasa...ada yang berubah. Kita berubah."
"Memang," sahut Maya cepat. "Kita stuck, Alfi. Kamu dengan robot-robotmu, aku dengan… ya, dengan duniaku sendiri."
Dunia Maya adalah dunia desain grafis, dunia visual yang dinamis dan penuh warna. Alfi, di sisi lain, hidup di dunia kode, logika, dan angka. Dulu, perbedaan itu justru yang membuat mereka saling tertarik. Alfi belajar menghargai keindahan visual dari Maya, sementara Maya terpesona dengan kecerdasan Alfi dalam menciptakan mesin. Tapi sekarang, perbedaan itu terasa seperti jurang yang semakin lebar.
"Aku mencoba, Maya. Aku mencoba memahami duniamu," bela Alfi, suaranya tercekat. Ia ingat bagaimana ia mencoba belajar menggunakan software desain, hanya untuk mengagumi karya-karya Maya.
"Aku juga, Alfi. Tapi rasanya…percuma. Kamu tetap saja lebih tertarik dengan kode daripada perasaanku," balas Maya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Kata-kata Maya menghantam Alfi seperti bug dalam program yang krusial. Benarkah ia terlalu fokus pada pekerjaannya hingga mengabaikan Maya? Benarkah cintanya sudah usang, butuh di-upgrade seperti software yang ketinggalan zaman?
Malam itu, Alfi tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamarnya, otaknya berputar mencari solusi. Ia seorang ahli AI, bisakah ia menggunakan keahliannya untuk menyelamatkan hubungannya? Ide gila tiba-tiba muncul di benaknya. Ia bisa membuat sebuah AI personal, sebuah “Upgrade Hati,” yang akan menganalisis interaksi mereka, mengidentifikasi masalah, dan memberikan saran untuk memperbaiki hubungan mereka.
Alfi tahu ini gila. Ini melanggar batasan etika dan privasi. Tapi ia putus asa. Ia mencintai Maya. Ia tidak ingin kehilangan dia.
Berhari-hari Alfi begadang di laboratoriumnya, mengumpulkan data: pesan teks mereka, email, catatan percakapan, bahkan rekaman suara. Ia melatih AI itu dengan algoritma sentiment analysis, natural language processing, dan machine learning. Ia bahkan memasukkan data tentang kepribadian Maya, hobinya, dan hal-hal yang membuatnya bahagia.
Setelah berminggu-minggu, “Upgrade Hati” selesai. AI itu terhubung ke ponsel Alfi dan bekerja secara diam-diam di latar belakang. AI itu menganalisis setiap interaksi Alfi dengan Maya, memberikan saran halus melalui notifikasi dan pesan singkat.
Awalnya, terasa aneh. AI menyuruhnya untuk lebih sering memuji karya Maya, untuk bertanya tentang harinya dengan lebih detail, untuk memberikan kejutan kecil tanpa alasan. Alfi menuruti semua saran itu dengan canggung.
Anehnya, saran-saran AI itu berhasil. Maya mulai sedikit melunak. Ia tersenyum lebih sering, bahkan tertawa mendengar lelucon Alfi. Mereka mulai makan malam bersama lagi, menonton film, bahkan berpegangan tangan saat berjalan-jalan di taman.
Namun, Alfi merasa bersalah. Ia merasa seperti sedang memanipulasi Maya, menggunakan AI untuk mendapatkan kembali cintanya. Ini tidak jujur. Ini tidak adil.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran favorit mereka, Maya menatap Alfi dengan tatapan yang dalam.
"Kamu tahu, akhir-akhir ini kamu berubah," kata Maya, senyum lembut menghiasi wajahnya. "Kamu lebih perhatian, lebih pengertian…lebih hadir."
Alfi menelan ludah. Ia merasa seperti seorang penipu yang akan ketahuan. "Aku hanya… mencoba menjadi lebih baik," jawabnya gugup.
"Aku menghargainya, Alfi. Aku benar-benar menghargainya," balas Maya, menggenggam tangan Alfi.
Alfi tidak tahan lagi. Ia harus mengakui semuanya.
"Maya, ada sesuatu yang harus kukatakan," ucap Alfi, suaranya bergetar. "Aku…aku membuat sebuah AI. Sebuah AI yang… yang menganalisis hubungan kita dan memberikan saran bagaimana aku harus bersikap."
Maya terdiam. Senyum di wajahnya memudar. "Apa?" tanyanya pelan, seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Alfi menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir, dengan jujur dan terbuka. Ia mengakui kesalahannya, ketidakjujurannya, dan rasa bersalah yang menghantuinya.
Setelah Alfi selesai berbicara, Maya masih terdiam. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Alfi dan menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Kamu…membuat AI untuk mencintaiku?" tanya Maya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Alfi mengangguk, menunduk malu.
"Itu…itu gila, Alfi. Gila dan menakutkan," kata Maya, air mata mulai menetes di pipinya.
Alfi tahu, ia sudah melakukan kesalahan besar. Ia sudah merusak segalanya.
"Aku tahu, Maya. Aku minta maaf," ucap Alfi, suaranya lirih.
Maya berdiri dari kursinya. "Aku perlu waktu untuk memikirkan ini," ucapnya sebelum berbalik dan berjalan keluar dari restoran.
Alfi terduduk lesu di kursinya, merasa hancur. Ia sudah mencoba menggunakan teknologi untuk memperbaiki hatinya, tapi yang ia dapatkan hanyalah kehancuran.
Beberapa hari kemudian, Alfi menerima pesan dari Maya.
"Temui aku di kafe tempat kita pertama kali bertemu."
Alfi gugup saat tiba di kafe. Maya sudah duduk di sana, menunggunya.
"Alfi, aku sudah memikirkannya," ucap Maya, memulai percakapan. "Aku marah. Sangat marah. Tapi kemudian aku sadar…kamu melakukan ini karena kamu mencintaiku. Walaupun caranya salah dan gila."
Alfi menatap Maya, berharap.
"Aku tidak bisa memaafkanmu sepenuhnya, Alfi. Tapi aku bersedia mencoba lagi. Tapi kali ini, tanpa AI. Tanpa pembaruan. Kita harus belajar mencintai dengan hati kita sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihan kita."
Alfi tersenyum. "Aku janji, Maya. Aku akan belajar mencintaimu dengan hatiku. Tanpa upgrade."
Alfi menghapus "Upgrade Hati" dari ponselnya. Ia belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa dianalisis, dan tidak bisa diperbarui dengan algoritma. Cinta sejati adalah tentang kejujuran, kepercayaan, dan penerimaan. Dan yang terpenting, cinta sejati adalah tentang hati.