Detak Nol dan Satu: Cinta Era Algoritma

Dipublikasikan pada: 17 Nov 2025 - 02:00:12 wib
Dibaca: 130 kali
Udara kafe beraroma kopi bercampur algoritma. Ya, aroma algoritma, setidaknya itulah yang dirasakan Anya. Di hadapannya, layar laptop menampilkan barisan kode yang menari-nari, sebuah orkestrasi digital yang sedang ia susun untuk proyek terbarunya: aplikasi kencan berbasis kepribadian yang mendalam, bukan hanya kesukaan dangkal.

"Kopi lagi, Anya?" sapa seorang pria dengan suara yang terlalu ramah untuk ukuran pagi buta.

Anya mendongak, melihat Leo, barista sekaligus – menurutnya – definisi visual dari “terlalu bersemangat”. “Seperti biasa, Leo. Tingkat kafein darurat,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Leo terkekeh, lalu beranjak membuatkan pesanannya. Anya kembali berkutat dengan kodenya. Ia sedang berusaha menanamkan elemen “kejutan” dalam algoritma. Bagaimana caranya membuat cinta, sebuah emosi yang irasional, menjadi sesuatu yang bisa diprediksi oleh mesin? Ironi, pikirnya. Ia menciptakan algoritma cinta, sementara hatinya sendiri terasa seperti kode error yang belum terpecahkan.

Anya memang tidak pernah beruntung dalam urusan asmara. Kencan daring selalu berakhir dengan profil palsu atau obrolan yang kering kerontang. Ia lebih nyaman dengan barisan kode yang patuh pada logika daripada emosi manusia yang penuh teka-teki.

Namun, keadaan berubah ketika aplikasi buatannya sendiri, "SoulSync," akhirnya rampung dan diuji coba. Awalnya, Anya hanya ingin menganalisis data pengguna, mencari pola untuk menyempurnakan algoritma. Tapi, satu profil menarik perhatiannya.

Namanya Ethan. Profesi: Arsitek lanskap. Hobi: Mendaki gunung dan membaca puisi klasik. Tingkat kecocokan: 97%.

Awalnya, Anya menganggap ini sebagai kesalahan. Bagaimana mungkin algoritma buatannya sendiri menunjukkan kecocokan hampir sempurna dengan seseorang? Ia menggali lebih dalam profil Ethan. Foto-fotonya menunjukkan seorang pria dengan mata teduh dan senyum tulus. Deskripsi dirinya terdengar jujur dan apa adanya. Semakin Anya membaca, semakin jantungnya berdebar tidak karuan.

Ia memutuskan untuk mengambil risiko. Menggunakan akun anonim, Anya mengirimkan pesan kepada Ethan.

“Hai Ethan, aku tertarik dengan kecintaanmu pada puisi. Ada penyair favorit?”

Balasan datang hampir seketika. “Hai! Aku suka sekali Rumi. Kata-katanya seperti aliran sungai yang menenangkan jiwa.”

Percakapan mereka mengalir deras, seperti sungai yang disebutkan Ethan. Mereka membahas buku, film, musik, bahkan mimpi-mimpi yang terdalam. Anya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: koneksi yang tulus, tanpa pretensi.

Setelah beberapa minggu, Ethan mengajak Anya (masih dengan identitas anonimnya) untuk bertemu. Anya panik. Ia tidak yakin apakah ia siap untuk menunjukkan wajah aslinya, wajah seorang programmer kutu buku yang lebih akrab dengan kode daripada lipstik.

"Aku tidak yakin," balas Anya, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik layar.

"Aku mengerti. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Anya… walaupun aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya."

Anya terdiam. Ia tahu Ethan menyebut namanya karena ia menggunakan nama itu di profil anonimnya. Kata-kata Ethan menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Ia memutuskan untuk jujur.

"Ethan, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu..."

Ia menceritakan semuanya. Tentang SoulSync, tentang algoritma, tentang bagaimana ia menemukan profil Ethan, dan tentang ketakutannya. Ia menunggu dengan napas tertahan, takut Ethan akan merasa tertipu dan marah.

Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Anya hampir menyerah, ketika sebuah pesan muncul di layarnya.

"Anya, aku menghargai kejujuranmu. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku sudah curiga sejak lama. Gaya bahasamu... dan beberapa referensi yang terlalu spesifik tentang teknologi. Aku juga sedikit penasaran kenapa algoritma aplikasi kencan bisa begitu akurat."

Anya tercengang. "Jadi, kamu tahu?"

"Aku punya firasat. Dan jujur saja, itu tidak mengubah apapun. Aku masih ingin bertemu denganmu."

Mereka akhirnya bertemu di kafe tempat Anya biasa bekerja. Anya mengenakan gaun sederhana dan sedikit riasan. Ketika Ethan datang, Anya merasakan lututnya lemas. Ia lebih tampan dari foto-fotonya.

Mereka duduk berhadapan, canggung sekaligus bersemangat. Ethan tersenyum. "Jadi, ini dia pencipta algoritma cintaku."

Anya tertawa. "Aku tidak yakin aku bisa mengklaim itu. Aku hanya membuat alat. Kamu yang memutuskan untuk menggunakannya."

Mereka menghabiskan sore itu berbicara, tertawa, dan menemukan bahwa koneksi mereka lebih dalam dari sekadar algoritma. Ethan menyukai kecerdasan Anya, semangatnya, dan bahkan kekakuannya dalam berinteraksi sosial. Anya terpesona oleh kebaikan Ethan, kecintaannya pada alam, dan kemampuannya untuk melihat melampaui barisan kode yang melindunginya.

Malam itu, saat Anya kembali ke apartemennya, ia menyadari sesuatu yang penting. Cinta memang tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Tapi, teknologi bisa menjadi jembatan, alat untuk menemukan orang-orang yang resonansi dengan jiwa kita. Detak nol dan satu, mungkin terdengar dingin dan matematis. Tapi, di balik kode itu, ada potensi untuk menemukan kehangatan, kebahagiaan, dan cinta sejati.

Anya membuka laptopnya, bukan untuk memperbaiki algoritma, tapi untuk menulis pesan kepada Ethan.

"Ethan, terima kasih sudah melihat melampaui kode. Aku... aku sangat senang bertemu denganmu."

Ia menekan tombol kirim, lalu mematikan laptopnya. Malam itu, Anya tidur dengan senyum di bibirnya, kode error di hatinya perlahan teratasi. Era algoritma mungkin baru dimulai, tapi cinta, setidaknya bagi Anya, terasa lebih nyata dari sebelumnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI