Lampu neon di kedai kopi itu berkedip-kedip, seperti sinyal morse yang tak terpecahkan. Di sudut ruangan, Anya menyesap latte-nya, matanya terpaku pada layar laptop. Deretan kode Python menghiasi monitor, sebuah labirin logika yang sedang ia coba taklukkan. Bukan kode rumit tentang kecerdasan buatan atau analisis data, melainkan sebuah algoritma cinta.
“Gila, kan?” gumam Anya pada dirinya sendiri. Sudah seminggu ini ia berkutat dengan proyek konyol ini, dipicu oleh keluhan sahabatnya, Rina, tentang betapa susahnya mencari pasangan di era digital ini. Rina, yang selalu sial dalam urusan cinta, berpendapat bahwa kencan daring hanya menghasilkan kekecewaan yang seragam.
Anya, seorang data scientist handal, merasa tertantang. Bisakah algoritma mengoptimalkan pencarian cinta? Ia berpikir, data kan ada di mana-mana. Preferensi, hobi, riwayat interaksi sosial, semuanya bisa dikuantifikasi dan dianalisis. Maka, lahirlah “CintaData,” algoritma yang menjanjikan kecocokan berdasarkan kompatibilitas digital.
Namun, ada satu masalah. Algoritma ini membutuhkan data. Dan data yang paling relevan untuk Anya, ironisnya, adalah dirinya sendiri. Ia memasukkan semua informasi tentang dirinya: kecintaannya pada film klasik, kebenciannya pada kopi instan, obsesinya pada kucing Maine Coon, dan segudang detail lainnya.
Awalnya, CintaData hanya menghasilkan profil-profil yang generik, tipe pria ideal yang sering ia temui di film romantis: dokter yang tampan, pengusaha yang sukses, seniman yang eksentrik. Tidak ada yang terasa pas. Anya merasa algoritma ini gagal menangkap esensi dirinya.
Lalu, muncullah satu nama: Ben.
Ben adalah seorang software engineer dengan minat yang sama pada open source dan kecintaan pada buku-buku fiksi ilmiah. Profilnya tidak terlalu mencolok, fotonya bahkan sedikit buram. Tapi, ada sesuatu dalam deskripsinya yang membuat Anya tertarik. Ben menulis tentang kecintaannya pada alam, kekagumannya pada kompleksitas pola pikir manusia, dan ironisnya, kerinduannya pada koneksi yang autentik di tengah dunia yang serba digital.
Anya ragu. Bagian rasional otaknya mengatakan ini hanya kebetulan. Algoritma hanyalah alat, bukan penentu takdir. Namun, bagian hatinya, yang sudah lama merindukan koneksi, mulai berharap.
Mereka mulai berkirim pesan. Diskusi tentang teori kuantum berubah menjadi obrolan tentang masa kecil, lalu berkembang menjadi percakapan larut malam tentang mimpi dan ketakutan. Anya merasa nyaman berbicara dengan Ben, seolah ia telah mengenalnya seumur hidup. Ada resonansi yang aneh, namun menyenangkan.
Setelah beberapa minggu, Ben mengajak Anya bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah taman kota yang rindang. Ketika Anya melihat Ben berdiri di bawah pohon maple, jantungnya berdebar kencang. Ia tidak setampan aktor Hollywood, tapi ada kehangatan di matanya dan ketulusan dalam senyumnya yang membuat Anya merasa tenang.
Hari itu, mereka berjalan-jalan di taman, berbicara tanpa henti. Anya merasa seolah waktu berhenti. Ia tertawa mendengar lelucon konyol Ben, terpesona oleh pengetahuannya tentang astronomi, dan terharu ketika Ben bercerita tentang mimpinya untuk membangun sebuah aplikasi yang membantu anak-anak belajar coding.
Anya sadar, ia jatuh cinta.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran Italia, Anya menceritakan tentang proyek CintaData. Ia menjelaskan bagaimana algoritma itu mempertemukannya dengan Ben.
Ekspresi Ben berubah. Ia menatap Anya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jadi, kau berkencan denganku karena algoritma?” tanyanya dengan nada dingin.
Anya mencoba menjelaskan. Ia mengatakan bahwa algoritma itu hanyalah alat, bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada Ben, bukan pada hasil perhitungan. Tapi, Ben tidak mendengarkan. Ia merasa seperti objek penelitian, subjek eksperimen dalam proyek konyol Anya.
“Aku tidak percaya ini,” kata Ben sambil berdiri dari kursinya. “Aku pikir kita punya sesuatu yang nyata. Tapi ternyata, ini semua hanya bias data.”
Ben pergi, meninggalkan Anya sendirian di meja restoran dengan sepiring pasta yang tak tersentuh. Anya merasa hancur. Ia telah merusak segalanya dengan kebodohannya. Ia terlalu sibuk mencari cinta melalui angka dan logika, sehingga lupa bahwa cinta sejati itu tentang perasaan, intuisi, dan koneksi yang tak terduga.
Malam itu, Anya menghapus CintaData dari laptopnya. Ia menyadari, algoritma tidak bisa memprediksi cinta. Cinta adalah sesuatu yang organik, sesuatu yang tumbuh di luar kendali, di luar logika.
Beberapa minggu kemudian, Anya menerima email dari Ben. Ia menulis bahwa ia telah memikirkannya dan menyadari bahwa ia terlalu keras pada Anya. Ia mengakui bahwa ia juga merasakan koneksi yang kuat dengan Anya, terlepas dari bagaimana mereka bertemu.
“Mungkin,” tulis Ben, “kita bisa mencoba lagi. Tapi kali ini, tanpa algoritma.”
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan cinta mereka tidak akan mudah. Akan ada tantangan, keraguan, dan mungkin bahkan bias data yang tersembunyi. Tapi, ia bersedia untuk mencoba. Karena ia percaya bahwa cinta sejati layak diperjuangkan, bahkan di era digital yang serba algoritmik ini.