Saat Hati Tersesat di Labirin Algoritma Cinta?

Dipublikasikan pada: 22 Aug 2025 - 03:40:12 wib
Dibaca: 145 kali
Aroma ozon yang khas selalu menemani malam-malam panjang Renata di lab komputasi. Jemarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode program tercipta, membentuk algoritma rumit yang ia harap bisa memprediksi kecocokan cinta. Ironis, pikirnya, menciptakan alat untuk menemukan cinta, sementara dirinya sendiri masih tersesat dalam labirin kompleks perasaannya.

Renata, dengan rambut cokelat yang selalu diikat asal dan kacamata tebal yang menutupi sebagian wajahnya, bukanlah tipikal gadis romantis. Baginya, cinta adalah sebuah persamaan yang belum terpecahkan. Ia percaya, dengan data yang cukup dan algoritma yang tepat, ia bisa menemukan pola yang tersembunyi di balik emosi yang abstrak ini. Proyek "Soulmate Seeker" yang sedang ia kerjakan adalah bukti nyata obsesinya.

Di tengah kesunyian malam, notifikasi pesan masuk berdering dari laptopnya. Itu dari Ardi, rekan kerjanya sekaligus satu-satunya orang yang mengerti obsesinya. "Ren, sudah makan? Kubawakan ramen panas," tulis Ardi.

Renata tersenyum tipis. Ardi selalu begitu. Perhatiannya sederhana, namun terasa hangat di tengah dinginnya lab komputasi. Ia membalas, "Belum. Makasih, Ardi. Tapi jangan lupa tambahin cabe yang banyak."

Ardi datang tak lama kemudian, membawa semangkuk ramen yang mengepulkan uap. Aroma pedas langsung menusuk hidung Renata, membuatnya bersin.

"Hati-hati," kata Ardi sambil tertawa kecil. Ia meletakkan ramen di meja Renata dan duduk di kursi di sebelahnya. "Gimana progres Soulmate Seeker?"

"Lumayan. Aku lagi mencoba mengintegrasikan data dari media sosial," jawab Renata, matanya kembali fokus pada layar laptop. "Ternyata, orang-orang lebih jujur tentang perasaan mereka di dunia maya."

"Apa hasilnya menjanjikan?" tanya Ardi, menatap Renata dengan rasa ingin tahu.

"Ya… ada beberapa pola menarik. Tapi masih jauh dari sempurna," jawab Renata, sedikit frustrasi. Ia sudah berbulan-bulan berkutat dengan proyek ini, namun hasilnya masih belum memuaskan.

"Mungkin kamu terlalu fokus pada data dan algoritma," kata Ardi, pelan. "Cinta itu bukan cuma tentang angka dan statistik, Ren. Ada hal-hal yang tidak bisa diukur dengan rumus."

Renata terdiam. Ia tahu Ardi benar. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara lain untuk memahami cinta. Baginya, emosi itu terlalu rumit, terlalu membingungkan.

"Kamu sendiri gimana, Ardi?" tanya Renata, mengalihkan pembicaraan. "Apa kamu sudah menemukan 'soulmate' lewat Soulmate Seeker?"

Ardi tertawa. "Belum lah. Aku lebih suka cara yang konvensional. Ngobrol, ketawa, saling mengenal."

"Konvensional?" Renata mengangkat alisnya. "Itu terlalu… acak."

"Mungkin acak, tapi lebih manusiawi," balas Ardi, menatap Renata dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kadang, kita harus membiarkan hati yang menuntun kita, bukan algoritma."

Malam itu, kata-kata Ardi terus terngiang di benak Renata. Ia mulai meragukan proyek yang selama ini ia banggakan. Apa gunanya mencari cinta dengan rumus, jika cinta itu sendiri tidak bisa diukur?

Beberapa hari kemudian, Renata mendapati dirinya sering memikirkan Ardi. Perhatiannya, senyumnya, bahkan cara dia mengkritik proyeknya, semuanya terasa berbeda. Ia mulai menyadari, bahwa selama ini, ia terlalu sibuk mencari cinta di luar, sehingga ia tidak menyadari bahwa cinta itu mungkin sudah ada di dekatnya.

Namun, ada satu masalah. Soulmate Seeker, yang seharusnya menjadi alat pencari cinta, justru tidak menunjukkan kecocokan antara dirinya dan Ardi. Algoritma yang ia buat sendiri mengatakan bahwa mereka tidak cocok.

Renata merasa frustrasi. Ia telah menciptakan sebuah alat yang justru menghalanginya untuk melihat apa yang ada di depan matanya. Ia marah, ia bingung, dan yang paling parah, ia takut. Takut jika perasaannya ini hanya ilusi, takut jika ia salah menafsirkan perhatian Ardi.

Malam itu, Renata memutuskan untuk jujur pada Ardi. Ia menemuinya di lab komputasi, dengan jantung berdebar kencang.

"Ardi," panggil Renata, gugup.

Ardi menoleh, tersenyum. "Ada apa, Ren?"

"Aku… aku ingin bicara sesuatu," kata Renata, menarik napas dalam-dalam. "Aku… aku rasa aku menyukaimu."

Ardi terdiam, menatap Renata dengan ekspresi terkejut. Renata menunduk, takut melihat reaksinya.

"Renata," kata Ardi, pelan. Ia mengangkat dagu Renata, memaksanya untuk menatap matanya. "Aku juga menyukaimu."

Renata mendongak, matanya membulat. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Tapi… Soulmate Seeker…" gumam Renata, bingung.

Ardi tersenyum. "Lupakan Soulmate Seeker. Algoritma tidak bisa mengerti apa yang kurasakan padamu. Aku menyukaimu, bukan karena data dan statistik, tapi karena kamu adalah kamu."

Ardi mendekat, perlahan, dan mencium Renata. Ciuman itu terasa lembut, hangat, dan penuh dengan perasaan yang selama ini terpendam. Renata membalas ciuman Ardi, melupakan semua keraguan dan ketakutannya.

Di malam itu, di tengah dinginnya lab komputasi, Renata akhirnya menemukan cinta yang selama ini ia cari. Ia menyadari bahwa cinta itu bukanlah persamaan yang harus dipecahkan, melainkan sebuah misteri yang harus dijalani. Dan terkadang, hati yang tersesat di labirin algoritma cinta, akan menemukan jalannya kembali ketika dibimbing oleh cinta yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI