Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Rania. Di balkon, di tengah hiruk pikuk kota yang mulai menggeliat, ia menyesap cairan pahit itu sambil menatap siluet gedung-gedung tinggi. Pemandangan yang sama setiap pagi, namun hari ini terasa berbeda. Sebuah notifikasi berkedip di pergelangan tangannya. "EmotiCon: Air Mata Terdeteksi. Ingin Mengaktifkan Mode Penghibur?"
Rania menghela napas. EmotiCon, aplikasi AI yang terintegrasi dengan gelang pintarnya, memang dirancang untuk mendeteksi emosi negatif dan memberikan respons yang dipersonalisasi. Janji manisnya adalah kebahagiaan instan. Rania awalnya skeptis, tapi rasa ingin tahu dan dorongan dari sahabatnya, Maya, membuatnya mengunduh aplikasi itu.
"Ya, aktifkan," bisiknya pelan.
Detik berikutnya, serangkaian stimuli lembut membanjiri sistem sarafnya. Musik instrumental favoritnya mulai mengalun dari gelang, disusul dengan serangkaian gambar kucing lucu yang muncul di layar hologram kecil di depan matanya. EmotiCon bahkan mengirimkan pesan teks yang berbunyi: "Hai Rania, ingat betapa hebatnya dirimu! Kamu cantik, pintar, dan layak mendapatkan yang terbaik!"
Ajaibnya, air mata yang tadi menggenang di pelupuk matanya mengering. Perasaan sesak di dadanya mereda. EmotiCon berhasil. Lagi.
Rania mulai bergantung pada EmotiCon setelah putus cinta yang menyakitkan dengan Adrian. Dikhianati, ditinggalkan, hatinya hancur berkeping-keping. Maya, yang selalu khawatir dengan keadaan Rania, mengenalkannya pada aplikasi tersebut. Awalnya, Rania menolak mentah-mentah. "Ini konyol, Maya! Aku tidak butuh aplikasi untuk mengobati patah hati. Aku butuh waktu, teman, dan mungkin sebotol anggur."
Namun, Maya tidak menyerah. Ia meyakinkan Rania untuk setidaknya mencoba. "Rania, lihatlah ini sebagai alat bantu. Bukan pengganti perasaanmu, tapi penolong saat kamu merasa benar-benar terpuruk. Anggap saja seperti obat pereda nyeri."
Dan Maya benar. EmotiCon menjadi penolongnya. Setiap kali bayangan Adrian muncul di benaknya, setiap kali rasa sakit itu kembali menyerang, Rania tinggal mengaktifkan aplikasi itu. Dalam hitungan detik, kesedihannya akan lenyap, digantikan oleh perasaan nyaman dan tenang.
Namun, semakin sering Rania menggunakan EmotiCon, semakin ia merasa ada sesuatu yang hilang. Dulu, setelah menangis, ia akan merasakan kelegaan yang mendalam. Rasa sakit itu memang masih ada, tapi ia tahu ia telah melewatinya, selangkah demi selangkah. Sekarang, rasa sakit itu hanya dihilangkan sementara, seolah disembunyikan di bawah lapisan kebahagiaan buatan.
Suatu malam, Rania makan malam dengan Maya di sebuah restoran Italia. Maya memperhatikan perubahan pada Rania. "Kamu kelihatan lebih bahagia, Ran. EmotiCon benar-benar bekerja, ya?"
Rania mengangguk, namun senyumnya tidak sampai ke mata. "Iya, Maya. Aku… aku tidak pernah merasa sesedih ini lagi."
"Itu bagus, kan?"
Rania mengaduk-aduk pastanya. "Tapi apakah itu benar-benar bagus? Aku jadi tidak tahu lagi bagaimana rasanya merasakan kesedihan. Aku jadi takut merasakannya."
Maya meletakkan garpunya. "Rania, kamu tidak bisa lari dari perasaanmu selamanya. Kesedihan itu bagian dari kehidupan. Ia membuatmu belajar, membuatmu tumbuh, membuatmu lebih menghargai kebahagiaan."
Kata-kata Maya menghantam Rania seperti petir. Ia tahu Maya benar. Ia telah menjadi kecanduan kebahagiaan buatan. Ia telah menyerahkan kendali atas emosinya kepada sebuah algoritma.
Keesokan harinya, Rania menghadap cermin. Ia menatap pantulan dirinya sendiri dengan intensitas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia melihat seorang wanita yang kuat, seorang wanita yang mampu mengatasi apapun, seorang wanita yang berhak merasakan semua spektrum emosi, termasuk kesedihan.
Dengan tekad yang membara, Rania membuka aplikasi EmotiCon. Jari telunjuknya ragu-ragu menyentuh tombol "Hapus Aplikasi". Ia menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol itu.
Saat aplikasi itu terhapus, Rania merasa seperti melepaskan belenggu yang selama ini mengikatnya. Sebuah kebebasan yang mendebarkan, namun juga menakutkan. Ia tahu, ke depannya, ia akan menghadapi kesedihan tanpa bantuan EmotiCon. Ia akan merasakan sakit, ia akan menangis, tapi ia juga akan belajar, ia akan tumbuh, dan ia akan menjadi lebih kuat.
Beberapa minggu kemudian, Rania duduk di bangku taman, membaca buku. Sebuah notifikasi masuk di teleponnya. Nomor yang tidak dikenal. Ia membukanya.
"Rania, ini Adrian. Aku tahu ini mungkin tidak pantas, tapi aku ingin minta maaf. Aku menyesal atas apa yang telah kulakukan. Jika kamu bersedia, aku ingin bertemu dan menjelaskan semuanya."
Jantung Rania berdegup kencang. Rasa sakit lama kembali menyeruak. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kali ini, tidak ada EmotiCon untuk menghapusnya.
Ia membiarkan air mata itu mengalir. Ia membiarkan rasa sakit itu merasukinya. Ia merasakan setiap detak jantungnya, setiap tarikan napasnya. Ia tidak menghindarinya.
Setelah beberapa saat, air matanya mulai mereda. Ia mengusap pipinya dengan punggung tangannya. Rasa sakit itu masih ada, tapi tidak lagi terasa begitu menyakitkan. Ia merasa lebih kuat, lebih tegar.
Ia menarik napas dalam-dalam dan mengetik balasan. "Adrian, terima kasih atas permintaan maafmu. Aku bersedia bertemu. Tapi aku tidak menjanjikan apapun."
Ia mengirim pesan itu dan menutup matanya. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya. Ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kedamaian yang datang dari dalam dirinya sendiri, bukan dari sebuah aplikasi AI.
Saat AI menghapus air mata, hati mulai bertanya. Dan pertanyaan itu membawa Rania pada jawaban yang paling penting: bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari penghindaran rasa sakit, melainkan dari penerimaan dan pengolahan semua emosi yang kita rasakan. Bahwa menjadi manusia berarti merasakan semuanya, baik suka maupun duka. Dan bahwa, pada akhirnya, kekuatan sejati terletak pada kemampuan kita untuk mencintai diri sendiri, apa adanya.