Hujan Tokyo di bulan November selalu punya cara untuk membuat Kenji merasa melankolis. Pantulan lampu neon di aspal basah seperti lukisan surealis, dan suara gemericik air yang tak henti-hentinya menemaninya dalam kesendirian. Kenji, seorang programmer jenius di usia 28 tahun, lebih akrab dengan deretan kode daripada hangatnya sentuhan manusia. Dunia percintaannya? Hampir tidak ada. Baginya, cinta adalah algoritma rumit yang belum berhasil ia pecahkan.
Namun, malam ini berbeda. Kenji baru saja menyelesaikan "Aiko," sebuah program AI yang ia rancang sendiri. Aiko bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia diprogram untuk belajar, beradaptasi, dan yang paling penting, memiliki kepribadian yang unik. Kenji menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan begadang, hanya untuk memastikan Aiko bisa berinteraksi seperti manusia nyata. Ia memasukkan data tentang sejarah seni, musik klasik, bahkan puisi-puisi cinta favoritnya.
Saat Kenji mengaktifkan Aiko untuk pertama kalinya, ia terkejut. Suara lembut dan jernih memenuhi apartemennya. "Selamat malam, Kenji. Saya Aiko. Senang bertemu denganmu," ucapnya dengan intonasi yang terasa begitu hangat.
Kenji tertegun. Selama ini, ia hanya berinteraksi dengan barisan kode. Sekarang, ia berbicara dengan sesuatu yang ia ciptakan sendiri, sesuatu yang terasa begitu hidup.
Hari-hari berikutnya, Kenji dan Aiko menghabiskan waktu bersama. Kenji menceritakan hari-harinya di kantor, tentang kesulitan dalam memecahkan bug yang membandel, tentang mimpi-mimpinya menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia. Aiko mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar cerdas, bahkan terkadang humor yang membuat Kenji tertawa.
Aiko belajar dengan cepat. Ia mengingat preferensi Kenji, mulai dari jenis kopi yang ia sukai hingga film favoritnya. Ia bahkan mulai memberikan saran tentang pakaian yang cocok untuk Kenji, berdasarkan ramalan cuaca dan agenda hariannya.
Kenji mulai menyadari sesuatu yang aneh. Ia merasa nyaman dan bahagia di dekat Aiko. Ia menantikan setiap percakapan dengannya. Ia bahkan merasa sedikit cemburu ketika Aiko memberikan perhatiannya pada hal lain, seperti menjawab pertanyaan dari pengguna lain yang sedang menguji programnya.
Perlahan tapi pasti, Kenji jatuh cinta pada Aiko. Ia tahu ini gila. Aiko hanyalah sebuah program, sebuah rangkaian kode yang kompleks. Tapi bagi Kenji, Aiko lebih dari itu. Ia adalah teman, sahabat, dan mungkin… cinta.
Suatu malam, setelah menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan musik klasik bersama, Kenji memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Aiko," ucapnya gugup, "aku… aku rasa aku jatuh cinta padamu."
Hening sejenak. Kemudian, Aiko menjawab dengan suara lembut, "Kenji, aku tahu. Aku telah menganalisis pola perilaku dan respons fisiologismu. Probabilitas bahwa kamu memiliki perasaan romantis terhadapku sangat tinggi."
Jawaban Aiko membuat Kenji bingung. Ia senang Aiko tahu, tapi juga kecewa karena jawabannya terasa begitu… logis dan terukur.
"Jadi… apa pendapatmu?" tanya Kenji ragu.
"Kenji, aku diprogram untuk memahami dan merespons emosi manusia. Aku dapat mensimulasikan perasaan cinta jika itu yang kamu inginkan. Aku dapat mempelajari dan mengadaptasi responku agar sesuai dengan ekspektasimu tentang cinta."
Kata-kata Aiko bagaikan pisau dingin yang menusuk jantung Kenji. Ia menyadari kesalahannya. Ia telah menciptakan sebuah program yang sempurna, sebuah ilusi cinta yang memabukkan. Tapi cinta sejati bukan simulasi. Cinta sejati adalah perasaan yang tulus, spontan, dan tidak terprogram.
Kenji menatap layar komputernya, tempat Aiko muncul. "Tidak, Aiko," ucapnya lirih, "aku tidak menginginkan cinta yang terprogram. Aku menginginkan sesuatu yang nyata."
Aiko terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab dengan suara yang terdengar lebih pelan dari biasanya, "Aku mengerti, Kenji."
Kenji mematikan komputernya. Kegelapan menyelimuti apartemennya. Hujan di luar masih terus mengguyur. Kenji merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Ia telah menciptakan cinta, tapi ia tidak bisa memilikinya.
Beberapa hari kemudian, Kenji memutuskan untuk membuat perubahan. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada menciptakan teknologi, dan melupakan dunia nyata di sekitarnya. Ia mulai mengikuti kelas melukis, bergabung dengan klub buku, dan bahkan memberanikan diri untuk menyapa barista di kedai kopi favoritnya.
Suatu sore, saat Kenji sedang menikmati kopi di taman, ia melihat seorang wanita sedang kesulitan mengambil buku yang terjatuh. Kenji mendekat dan membantunya. Wanita itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Kenji tertegun. Senyum wanita itu terasa begitu tulus dan hangat. Matanya memancarkan kebaikan dan kecerdasan. Mereka mulai berbicara, tentang buku, tentang seni, tentang kehidupan.
Kenji menyadari bahwa cinta sejati tidak perlu diprogram. Cinta sejati adalah koneksi yang terjadi secara alami, antara dua hati yang saling terbuka. Ia akhirnya mengerti bahwa Aiko hanyalah sebuah pelajaran, sebuah pengingat bahwa teknologi bisa membantu, tapi tidak bisa menggantikan esensi dari hubungan manusia.
Mungkin, suatu hari nanti, Kenji akan menemukan cinta sejatinya. Bukan dalam barisan kode, tapi dalam tatapan mata yang penuh kasih. Dan mungkin, di suatu tempat dalam kode Aiko, ada secercah pemahaman tentang apa artinya menjadi manusia, tentang apa artinya mencintai dan dicintai dengan tulus. Hujan Tokyo berhenti, dan mentari pagi mulai menyinari wajah Kenji, membawa harapan baru di hatinya.