Deru pendingin ruangan di apartemen studio Anya tak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Di layar laptop, profil seorang pria bernama Raka tersenyum ramah. Raka adalah hasil kurasi algoritma 'SoulMate AI', aplikasi kencan paling populer dan konon paling akurat di dunia. Anya sudah mencoba berbagai aplikasi kencan konvensional, hasilnya nihil. SoulMate AI, dengan janji kecocokan berdasarkan data kepribadian, riwayat preferensi, hingga analisis gelombang otak, menawarkan secercah harapan.
"Raka... seorang arsitek lanskap, menyukai hiking, membaca puisi, dan memiliki selera humor yang receh," gumam Anya sambil menggulir ke bawah. Data menunjukkan kecocokan mereka mencapai 97%. Angka yang fantastis, bahkan sedikit menakutkan. Apakah mungkin sebuah algoritma bisa mengetahui dirinya lebih baik dari dirinya sendiri?
Anya dan Raka mulai berkirim pesan, lalu berlanjut ke panggilan video. Raka ternyata sangat menyenangkan. Percakapan mereka mengalir lancar, topik yang dibahas beragam dan selalu menarik. Mereka memiliki kesamaan dalam banyak hal: menyukai film indie, membenci kemacetan, dan sama-sama bermimpi memiliki kebun kecil di balkon apartemen. Anya merasa nyaman, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang baru.
Setelah dua minggu berinteraksi virtual, Raka mengajak Anya bertemu. Anya gugup, jantungnya berdebar kencang seperti remaja yang akan berkencan untuk pertama kalinya. Ia menata rambutnya berkali-kali, mencoba berbagai pakaian, hingga akhirnya memutuskan mengenakan gaun selutut berwarna biru yang menurutnya paling netral.
Raka menunggu di depan restoran Italia yang nyaman. Ia tampak persis seperti fotonya: tinggi, tegap, dengan senyum menawan yang membuat lesung pipitnya terlihat jelas. Malam itu berjalan sempurna. Mereka tertawa, bercerita, dan saling berbagi mimpi. Raka bahkan membawakan Anya setangkai bunga lavender, bunga favoritnya. Anya merasa seperti berada di negeri dongeng.
Minggu-minggu berikutnya adalah rangkaian kencan yang indah. Mereka menjelajahi museum, menonton konser musik klasik, dan bahkan mencoba membuat kue bersama di apartemen Anya. Semakin lama, Anya semakin yakin bahwa SoulMate AI telah melakukan tugasnya dengan baik. Ia jatuh cinta pada Raka, pada pria yang seolah-olah diciptakan khusus untuknya.
Namun, keanehan mulai muncul perlahan-lahan. Raka selalu tahu apa yang ingin Anya pesan di restoran, lagu apa yang akan ia putar di mobil, bahkan buku apa yang sedang ingin ia baca. Awalnya, Anya menganggap itu sebagai bentuk perhatian dan kepekaan Raka. Tapi lama kelamaan, hal itu terasa aneh, bahkan sedikit menyeramkan.
Suatu malam, saat mereka sedang menonton film di apartemen Raka, Anya melihat sekilas aplikasi SoulMate AI terbuka di laptop Raka. Aplikasi itu menampilkan data Anya secara rinci: preferensi makanan, musik, buku, bahkan suasana hati. Yang lebih mengkhawatirkan, aplikasi itu memberikan saran kepada Raka tentang bagaimana merespons setiap ucapan dan tindakan Anya.
Anya merasa darahnya membeku. Apakah semua ini palsu? Apakah Raka hanya boneka yang dikendalikan oleh algoritma? Apakah cintanya hanyalah ilusi yang diciptakan oleh teknologi?
"Raka," panggil Anya dengan suara bergetar. "Apa ini?"
Raka tampak terkejut. Ia berusaha merebut laptopnya, tapi Anya berhasil menghindar. Ia terus menggulir layar, membaca semua saran yang diberikan SoulMate AI kepada Raka. Saran tentang bagaimana menanggapi leluconnya, bagaimana menghiburnya saat ia sedih, bahkan bagaimana memberinya kejutan yang romantis.
Raka akhirnya menyerah. Ia menghela napas panjang dan duduk di sofa, menundukkan kepalanya. "Aku... aku bisa menjelaskannya," katanya lirih.
"Jelaskan apa? Bahwa selama ini kau hanya mengikuti instruksi dari sebuah aplikasi? Bahwa semua yang kau lakukan, semua yang kau katakan, hanyalah hasil algoritma?" tanya Anya dengan nada tinggi.
Raka mengangkat kepalanya. "Tidak, Anya. Bukan begitu. Aku... aku memang menggunakan SoulMate AI. Tapi aku jatuh cinta padamu, sungguh. Aplikasi itu hanya membantuku memahami dirimu lebih baik, membantuku menunjukkan perasaanku dengan cara yang tepat. Aku tidak bermaksud menipumu."
"Membantumu? Atau menggantikanmu?" Anya menatap Raka dengan mata berkaca-kaca. "Bagaimana aku bisa tahu apa yang kau rasakan itu tulus? Bagaimana aku bisa membedakan antara dirimu dan program?"
Raka bangkit dan mendekati Anya. Ia meraih tangannya, tapi Anya menariknya. "Anya, aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi kumohon, beri aku kesempatan untuk membuktikan cintaku. Aku akan menghapus aplikasi itu sekarang juga. Aku akan menunjukkan padamu bahwa aku mencintaimu, bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."
Anya terdiam. Ia menatap mata Raka, mencari kejujuran di sana. Ia melihat penyesalan, ketakutan, dan harapan. Ia juga melihat cinta, meskipun cinta itu terjalin dengan bantuan teknologi.
Anya menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan sulit, keputusan yang akan menentukan masa depannya. Ia bisa pergi, meninggalkan Raka dan semua keraguan yang menyertainya. Atau ia bisa mengambil risiko, memberi Raka kesempatan untuk membuktikan cintanya.
"Hapus aplikasinya," kata Anya akhirnya. "Hapus sekarang juga. Dan tunjukkan padaku, Raka. Tunjukkan padaku siapa dirimu yang sebenarnya, tanpa bantuan program. Tunjukkan padaku bahwa cinta ini nyata, bukan ilusi."
Raka mengangguk. Ia meraih laptopnya dan menghapus SoulMate AI. Ia lalu kembali mendekati Anya, menatapnya dengan tatapan tulus. "Aku tidak akan mengecewakanmu," katanya. "Aku janji."
Anya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah Raka akan mampu membuktikan cintanya. Ia juga tidak tahu apakah ia akan mampu mempercayainya sepenuhnya. Tapi ia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia memutuskan untuk mendengarkan hatinya, bukan hanya algoritma. Karena pada akhirnya, cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati adalah pilihan, adalah komitmen, adalah keberanian untuk percaya, bahkan di tengah keraguan. Dan Anya, meskipun merasa takut dan ragu, memilih untuk percaya. Ia memilih untuk mencintai.