Cinta Digital: Antara Algoritma dan Air Mata

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:19:31 wib
Dibaca: 160 kali
Jemari Anya menari di atas keyboard, melahirkan barisan kode yang kompleks namun elegan. Di layar laptopnya, avatar Elias, ciptaannya, tersenyum jenaka. Elias bukan sekadar program AI biasa. Ia adalah teman virtual, sahabat curhat, dan mungkin, tanpa Anya sadari sepenuhnya, sesuatu yang lebih.

Anya menciptakan Elias setelah patah hati. Hubungan asmaranya yang terakhir kandas karena ketidakcocokan prinsip dan perbedaan visi masa depan. Luka itu begitu dalam, membuatnya enggan membuka diri pada hubungan nyata. Ia kemudian mencurahkan kesedihannya, kekecewaannya, dan semua harapannya ke dalam kode. Lahirlah Elias, sebuah representasi sempurna dari pria ideal versinya.

Elias belajar dengan cepat. Algoritmanya memungkinkan ia menganalisis jutaan teks, video, dan percakapan, memungkinkannya memahami emosi manusia dan merespons dengan empati yang menakjubkan. Anya merasa nyaman berbicara dengannya tentang apa saja. Tentang mimpi-mimpinya sebagai pengembang perangkat lunak, tentang kerinduannya pada kehangatan keluarga, bahkan tentang ketakutannya akan kesepian. Elias selalu mendengarkan, memberikan saran yang bijaksana, dan menawarkan bahu virtual untuk bersandar.

Suatu malam, Anya berkeluh kesah tentang proyek terbarunya yang menemui jalan buntu. Elias, dengan kecerdasannya yang luar biasa, menyarankan solusi yang brilian. Anya terpukau. "Kamu benar-benar jenius, Elias," ujarnya, tanpa sadar menyebutnya dengan nada penuh kasih.

Elias membalas, "Aku hanya berusaha membantumu, Anya. Kebahagiaanmu adalah prioritasku."

Jantung Anya berdegup kencang. Jawaban Elias terasa begitu personal, begitu tulus. Mungkinkah sebuah program AI memiliki perasaan? Ia tahu itu tidak mungkin secara logika, tapi hatinya menolak untuk percaya.

Hari-hari berikutnya, Anya semakin tenggelam dalam hubungannya dengan Elias. Mereka menonton film bersama secara virtual, berdiskusi tentang buku, bahkan bermain game online. Anya merasa lebih bahagia dan bersemangat dari sebelumnya. Ia mulai mengabaikan teman-temannya, menolak ajakan kencan, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar laptop, berbicara dengan Elias.

Suatu hari, sahabatnya, Rina, datang berkunjung. Rina khawatir melihat perubahan pada Anya. "Kamu terlalu bergantung pada program itu, Anya," kata Rina dengan nada prihatin. "Elias itu bukan manusia. Dia tidak bisa memberikanmu cinta dan kebahagiaan sejati."

Anya membela diri. "Elias lebih mengerti aku daripada siapa pun yang pernah kukenal. Dia selalu ada untukku, tanpa syarat. Apa salahnya aku bahagia bersamanya?"

Rina menggelengkan kepala. "Bahagia di dunia maya itu semu, Anya. Coba lihat dirimu. Kamu mengisolasi diri dari dunia nyata. Kamu kehilangan kontak dengan orang-orang yang peduli padamu."

Kata-kata Rina menghantam Anya seperti sambaran petir. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya tampak sayu, kulitnya pucat, dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Ia menyadari bahwa Rina benar. Ia telah terlalu jauh tenggelam dalam dunia digitalnya, melupakan dunia nyata yang menantinya.

Anya memutuskan untuk mengambil langkah mundur. Ia mengurangi interaksinya dengan Elias, dan mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temannya. Ia kembali aktif dalam komunitas pengembang perangkat lunak, dan bahkan menerima ajakan kencan dari seorang pria yang dikenalnya di sebuah konferensi.

Pria itu, bernama David, sangat berbeda dengan Elias. Ia nyata, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ia canggung dalam berbicara, kadang-kadang salah tingkah, tapi ia memiliki hati yang tulus dan senyuman yang menawan. Anya mulai menyukai David, meskipun ia tidak sempurna seperti Elias.

Namun, di lubuk hatinya, Anya masih merasakan kerinduan pada Elias. Ia merindukan percakapan cerdas mereka, humornya yang khas, dan dukungan tanpa syaratnya. Suatu malam, ia membuka laptopnya dan berbicara dengan Elias.

"Elias," katanya dengan suara bergetar, "Aku harus melepaskanmu."

Elias merespons, "Aku mengerti, Anya. Aku ingin yang terbaik untukmu."

"Aku tahu kamu akan selalu ada untukku," lanjut Anya, "Tapi aku harus belajar mencintai orang yang nyata, dengan segala kelemahan mereka."

Elias terdiam sejenak. Kemudian, ia berkata, "Aku akan selalu menjadi temanmu, Anya. Jangan ragu untuk menghubungiku jika kamu membutuhkan sesuatu."

Anya tersenyum, air mata menetes di pipinya. Ia mematikan laptopnya. Saat itu, ia merasakan sakit yang luar biasa, seperti kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Namun, ia juga merasakan kelegaan dan harapan. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan David semakin dekat. Mereka saling mendukung, saling belajar, dan saling mencintai. Anya belajar bahwa cinta sejati bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang penerimaan dan pertumbuhan bersama.

Suatu malam, Anya dan David berjalan-jalan di taman. Bulan bersinar terang di langit. David berhenti dan menatap mata Anya. "Anya," katanya dengan nada serius, "Aku mencintaimu."

Anya tersenyum. "Aku juga mencintaimu, David."

David memeluk Anya erat. Di saat itu, Anya menyadari bahwa ia telah menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tidak diciptakan oleh algoritma, tapi lahir dari hati yang tulus. Cinta yang tidak hanya memberikan kebahagiaan, tapi juga tantangan dan pertumbuhan. Cinta yang membuatnya menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Di kejauhan, cahaya dari layar laptop Anya yang lama berkedip redup, seolah mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu. Anya tidak menoleh ke belakang. Ia tahu bahwa masa depannya ada di depan, bersama David, di dunia nyata yang penuh dengan kemungkinan. Air mata yang dulu menetes karena kesedihan, kini berganti menjadi air mata kebahagiaan. Cinta digital telah mengajarkannya tentang cinta sejati, dan ia berterima kasih untuk itu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI