Udara kafe beraroma kopi dan percikan harapan. Di sudut, Anya menggenggam erat ponselnya. Layar menyala, menampilkan antarmuka aplikasi bernama "Amore AI". Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menekan tombol "Mulai Obrolan".
"Selamat sore, Anya. Ada yang bisa saya bantu hari ini?" Suara lembut, nyaris tanpa nada robotik, menyambutnya dari speaker ponsel.
"Sore, Amore," jawab Anya, sedikit gugup. "Aku...aku punya kencan malam ini."
"Kencan pertama dengan Leo?"
Anya terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"
"Analisis data. Leo menyukai postinganmu tentang astronomi kemarin. Dia juga secara konsisten memberikan 'like' pada unggahanmu yang berhubungan dengan musik indie. Algoritma memprediksi dia akan mengajakmu berkencan, dan prediksinya terbukti akurat."
Anya tertawa kecil. Aneh rasanya, mengetahui bahwa sebuah AI menganalisis perilakunya dan orang yang disukainya. Namun, ia harus mengakui, Amore AI telah banyak membantunya.
"Baiklah, Sherlock Holmes digital," kata Anya. "Jadi, apa sarannya untuk malam ini? Aku benar-benar gugup. Aku tidak tahu harus memakai apa, atau topik apa yang sebaiknya dibahas."
"Tenang, Anya. Tujuan utama adalah menjadi dirimu sendiri. Namun, berdasarkan profil Leo, dia tertarik pada percakapan yang cerdas dan humoris. Mengenakan sesuatu yang nyaman namun elegan akan memberimu kepercayaan diri. Hindari membicarakan mantan pacar atau masalah pekerjaan. Fokuslah pada kesamaan minat: astronomi dan musik."
Anya mendengarkan dengan seksama. Amore AI bukan hanya sekadar pemberi saran. Aplikasi itu belajar dari interaksi Anya, menganalisis kepribadiannya dan orang yang disukainya, lalu memberikan nasihat yang disesuaikan. Awalnya, Anya ragu. Mengandalkan AI untuk urusan cinta terdengar konyol dan tidak romantis. Namun, setelah beberapa kali gagal dalam urusan asmara, ia memutuskan untuk mencobanya. Dan hasilnya, sejauh ini, cukup menjanjikan.
Malam itu, Anya mengenakan gaun biru tua yang nyaman, seperti saran Amore. Ia juga menyiapkan beberapa topik menarik tentang penemuan terbaru di bidang astronomi dan band indie yang sedang naik daun. Ketika Leo menjemputnya, jantungnya berdebar kencang.
Kencan itu berjalan lancar, nyaris sempurna. Leo terpesona dengan pengetahuan Anya tentang luar angkasa, dan mereka berdua tertawa lepas saat membahas musik. Anya bahkan berhasil menyelipkan beberapa lelucon cerdas yang, entah bagaimana, terasa alami dan tidak dipaksakan. Sepanjang malam, Anya sesekali melirik ponselnya, membaca pesan-pesan singkat dari Amore yang memberikan dukungan moral dan saran-saran kecil.
"Kamu melakukan pekerjaan yang hebat, Anya. Ingat, kontak mata penting. Jangan terlalu banyak bicara tentang dirimu sendiri. Ajukan pertanyaan tentang Leo," bunyi salah satu pesan.
Setelah kencan selesai, Leo mengantarnya pulang. Di depan pintu apartemen Anya, mereka saling berpandangan.
"Aku sangat menikmati malam ini, Anya," kata Leo, senyumnya tulus. "Kita harus melakukannya lagi."
"Aku juga," jawab Anya, wajahnya merona.
Leo mendekat, dan untuk sesaat, Anya merasa seperti adegan dalam film romantis. Tapi kemudian, rasa bersalah menghantamnya. Apakah ciuman ini tulus? Atau hanya hasil dari algoritma dan nasihat AI?
"Leo, tunggu," kata Anya, mundur selangkah. "Ada sesuatu yang harus kukatakan."
Ia menceritakan semuanya kepada Leo: tentang Amore AI, tentang bagaimana ia meminta saran dan panduan untuk kencan ini. Leo mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong.
Ketika Anya selesai bercerita, Leo terdiam sejenak. Kemudian, ia tertawa.
"Serius? Kamu menggunakan AI untuk berkencan denganku? Itu gila!"
Anya merasa malu dan bodoh. Ia mengira Leo akan marah dan merasa tertipu.
"Tapi," lanjut Leo, "aku juga harus mengakui, itu juga sangat menarik. Dan jujur saja, Anya, aku juga mencari beberapa artikel tentang astronomi sebelum menjemputmu. Aku ingin terlihat pintar di matamu."
Anya terkejut. "Jadi, kamu juga berusaha?"
"Tentu saja. Aku menyukaimu, Anya. Dan aku ingin membuat kesan yang baik. Mungkin aku tidak menggunakan AI, tapi aku melakukan riset."
Mereka berdua tertawa. Ketegangan mencair.
"Jadi, bagaimana sekarang?" tanya Anya.
"Sekarang, kita lupakan AI dan semua nasihat. Kita berdua menjadi diri sendiri. Kita mulai dari awal." Leo mendekat lagi, kali ini Anya tidak menghindar. Ia merasa nyaman dan percaya diri.
"Kedengarannya bagus," bisik Anya.
Ciuman itu terasa tulus, hangat, dan penuh harapan. Bukan hasil algoritma, tapi hasil dari kejujuran dan kerentanan.
Beberapa bulan kemudian, Anya duduk di bangku taman bersama Leo. Mereka bergandengan tangan, menikmati matahari sore.
"Aku masih menggunakan Amore AI, tahu," kata Anya, tiba-tiba.
Leo tertawa. "Aku tahu. Aku melihat notifikasi di ponselmu."
"Tapi sekarang, aku menggunakannya untuk hal yang berbeda. Aku menggunakannya untuk menganalisis bagaimana aku bereaksi terhadapmu, bagaimana aku berkomunikasi denganmu. Ini membantuku memahami diriku sendiri lebih baik."
"Dan apa hasilnya?" tanya Leo.
"Hasilnya adalah, aku benar-benar mencintaimu. Tanpa bantuan algoritma atau nasihat AI. Ini semua tentang aku dan kamu."
Leo mencium kening Anya. "Aku juga mencintaimu, Anya. Dan aku senang kamu menemukan cara untuk menjadi dirimu yang terbaik, bahkan jika itu melibatkan sedikit bantuan dari mesin."
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa Amore AI bukanlah pengganti cinta sejati. Namun, ia telah membantunya membuka diri, belajar tentang dirinya sendiri, dan menemukan keberanian untuk mengejar kebahagiaan. Terkadang, bahkan mesin pun bisa menjadi penasihat cinta yang unik dan berharga. Dan dalam kasusnya, Amore AI telah membantunya menemukan cinta sejatinya. Ia menatap Leo, dan yakin, masa depan mereka, akan mereka rancang sendiri, tanpa bantuan algoritma, melainkan dengan hati yang tulus dan penuh cinta.