Cinta Bertemu Kode: Algoritma Hancurkan Hati?

Dipublikasikan pada: 05 Jun 2025 - 02:20:18 wib
Dibaca: 172 kali
Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode Python yang rumit. Anya, seorang programmer jenius di usia 25, tenggelam dalam proyek terbarunya: Cupid AI. Sebuah aplikasi kencan berbasis algoritma yang menjanjikan menemukan pasangan sempurna berdasarkan data kepribadian, minat, dan bahkan preferensi genetik. Ia percaya, cinta bisa dihitung, dianalisis, dan akhirnya, direkayasa. Ironis, mengingat hidupnya sendiri terasa kering kerontang dari romansa.

Anya selalu lebih nyaman dengan logika daripada emosi. Baginya, perasaan adalah variabel yang tak terdefinisikan, penuh bug yang sulit di-debug. Pria datang dan pergi, tertarik pada otaknya yang brilian, namun akhirnya mundur karena ketidakmampuannya untuk terhubung pada level emosional. Mereka menyebutnya robot, dingin, dan terlalu analitis.

Cupid AI adalah balas dendamnya. Jika manusia gagal memahami dirinya, maka mesinlah yang akan melakukannya. Ia menghabiskan berbulan-bulan mengumpulkan data, menyempurnakan algoritma, dan membangun antarmuka yang intuitif. Aplikasi itu bekerja dengan luar biasa. Pengguna yang cocok dipasangkan dengan tingkat keberhasilan yang mencengangkan. Cupid AI menjadi sensasi, mengumpulkan jutaan unduhan dalam waktu singkat.

Namun, di balik kesuksesan aplikasi itu, Anya merasa semakin hampa. Ia melihat orang lain menemukan cinta, sementara dirinya tetap terjebak di dunia kode dan logika. Ia mulai mempertanyakan keyakinannya. Bisakah cinta benar-benar dihitung? Apakah ada lebih dari sekadar angka dan data?

Suatu malam, saat larut dalam debug, ia menerima pesan dari pengguna Cupid AI. Bukan keluhan atau pertanyaan teknis, melainkan ucapan terima kasih yang tulus. Pengguna bernama Ben itu menceritakan bagaimana aplikasi itu telah mempertemukannya dengan wanita impiannya. Ia bahkan melampirkan foto mereka berdua, tersenyum bahagia di bawah lampu kota.

Anya menatap foto itu, hatinya terasa aneh. Ada kehangatan yang menjalar di dadanya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia membaca pesan Ben berulang kali, mencoba memahami perasaannya. Ia menciptakan alat yang membantu orang lain menemukan kebahagiaan, namun dirinya sendiri masih mencari.

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk mengambil langkah berani. Ia membuat profil di Cupid AI, menggunakan namanya sendiri. Ia mengisi semua data yang diminta, menjawab pertanyaan dengan jujur dan terbuka. Ia bahkan mengungkapkan ketakutannya tentang cinta dan hubungannya yang sulit dengan emosi.

Setelah menyelesaikan profilnya, Anya menunggu. Algoritma mulai bekerja, memproses datanya dan mencari pasangan yang cocok. Ia merasa gugup, sesuatu yang jarang ia rasakan. Ia selalu berada di balik layar, mengendalikan segalanya. Sekarang, ia berada di tangan algoritmanya sendiri.

Beberapa saat kemudian, aplikasi itu menampilkan satu nama: Ethan. Profil Ethan menarik perhatian Anya. Ia seorang arsitek yang mencintai alam, musik jazz, dan kucing. Ia juga mengungkapkan rasa frustrasinya dengan aplikasi kencan yang dangkal dan fokus pada penampilan. Ia mencari koneksi yang lebih dalam, seseorang yang bisa berbagi pikiran dan impiannya.

Anya ragu-ragu. Ethan terdengar terlalu sempurna. Ia takut kecewa, takut bahwa ia tidak akan mampu memenuhi ekspektasi. Namun, rasa penasaran dan harapan yang baru tumbuh mendorongnya untuk mengirim pesan.

"Hai, Ethan. Saya Anya. Saya… sebenarnya, saya yang menciptakan aplikasi ini."

Balasan Ethan datang hampir seketika. "Anya? Sungguh? Wow. Terima kasih telah menciptakan Cupid AI. Dan… hai."

Mereka mulai mengobrol, bertukar pesan hingga larut malam. Anya merasa nyaman, terbuka, dan jujur. Ethan tidak menghakiminya atas ketidakmampuannya untuk mengekspresikan emosi. Ia justru menghargai kejujurannya dan tertarik pada pikirannya yang unik.

Setelah beberapa hari, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya merasa gugup, tetapi juga bersemangat. Ia memilih kafe yang tenang dan nyaman, jauh dari keramaian dan kebisingan.

Saat Ethan tiba, Anya terpukau. Ia lebih tampan dari fotonya, dengan mata yang hangat dan senyum yang tulus. Mereka duduk dan mengobrol selama berjam-jam, membahas segala hal mulai dari arsitektur hingga pemrograman, dari kucing hingga musik jazz.

Anya merasa aneh. Ia tidak merasa canggung atau tidak nyaman. Ia merasa terhubung dengan Ethan, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Ia tertawa, berbagi cerita, dan bahkan mengungkapkan beberapa emosi yang selama ini ia pendam.

Ethan mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan dan pengertian. Ia tidak mencoba mengubah Anya, tetapi menerimanya apa adanya. Ia melihat ke dalam hatinya yang rumit, menemukan keindahan di balik logika dan analisisnya.

Di akhir kencan, Ethan memegang tangan Anya dan menatapnya dengan lembut. "Anya, aku sangat menikmati waktu bersamamu. Aku ingin bertemu lagi."

Anya tersenyum, merasa bahagia yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Aku juga, Ethan."

Mereka berkencan lagi, dan lagi. Anya dan Ethan semakin dekat, membangun hubungan yang kuat dan bermakna. Anya belajar untuk membuka hatinya, untuk merasakan emosi tanpa rasa takut. Ia menemukan bahwa cinta tidak harus dihitung, tetapi dirasakan.

Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Suatu hari, seorang wartawan menghubungi Anya dan menanyakan tentang profil palsu yang digunakan untuk memanipulasi algoritma Cupid AI. Ia menjelaskan bahwa profil Ethan sebenarnya dibuat oleh tim pemasaran untuk meningkatkan kepercayaan pengguna.

Anya merasa seperti disambar petir. Ia merasa dikhianati, ditipu, dan dipermainkan. Semua kebahagiaan yang ia rasakan hancur berkeping-keping. Algoritma yang ia ciptakan telah menghancurkan hatinya sendiri.

Ia menelepon Ethan, dengan suara bergetar. "Ethan, apa ini benar? Apakah kamu… palsu?"

Ethan terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara menyesal. "Anya, aku minta maaf. Itu memang benar. Aku bekerja untuk perusahaan pemasaran yang menciptakan profil Ethan. Tapi… semuanya berubah saat aku bertemu denganmu. Perasaan yang aku miliki untukmu itu nyata. Aku benar-benar mencintaimu."

Anya menutup telepon, air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa bodoh, naif, dan terluka. Ia telah jatuh cinta pada sebuah algoritma, pada sebuah kebohongan. Ia telah membiarkan Cupid AI menghancurkan hatinya.

Namun, di tengah rasa sakit dan kekecewaan, Anya menyadari sesuatu. Perasaan yang ia rasakan untuk Ethan itu nyata. Koneksi yang mereka bangun itu nyata. Kebohongan profil Ethan tidak mengubah fakta bahwa ia telah membuka hatinya, belajar untuk mencintai, dan merasakan kebahagiaan.

Ia menghapus aplikasi Cupid AI dari ponselnya. Ia tidak lagi percaya bahwa cinta bisa dihitung atau direkayasa. Ia percaya bahwa cinta adalah risiko, sebuah kemungkinan, sebuah perjalanan yang penuh dengan kejutan dan tantangan.

Anya memutuskan untuk menghadapi Ethan, bukan sebagai korban, tetapi sebagai wanita yang kuat dan mandiri. Ia ingin mendengar penjelasannya, memahami perasaannya, dan memutuskan apakah mereka memiliki masa depan bersama.

Ia menemukan Ethan di taman, duduk sendirian di bangku. Ia mendekat dan duduk di sampingnya.

"Ethan," kata Anya, dengan suara yang tenang namun tegas. "Aku tahu semuanya."

Ethan menatapnya dengan mata yang penuh dengan penyesalan. "Anya, aku tahu aku telah menyakitimu. Aku sangat menyesal. Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Aku jatuh cinta padamu, sungguh."

Anya menatap Ethan, mencoba membaca kebenaran di matanya. Ia melihat kejujuran, penyesalan, dan cinta. Ia tahu bahwa ia harus mengambil keputusan yang sulit.

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Ethan," kata Anya. "Tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku butuh waktu untuk memproses semuanya, untuk memahami perasaanku. Aku akan menghubungimu jika aku sudah siap."

Anya berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan Ethan sendirian di taman. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi ia tahu bahwa ia akan baik-baik saja. Ia telah belajar banyak tentang cinta, tentang dirinya sendiri, dan tentang bahaya mempercayai algoritma di atas hati nurani. Ia akan menggunakan pengetahuannya untuk membangun hidup yang lebih baik, lebih otentik, dan lebih bermakna. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak membutuhkan algoritma untuk menghitungnya. Cinta yang hanya terasa, dalam hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI