Jejak Digital Hati: Cinta di Era Algoritma Bertumbuh

Dipublikasikan pada: 31 Aug 2025 - 03:20:12 wib
Dibaca: 128 kali
Debu digital beterbangan di antara jemari Anya yang lincah menari di atas keyboard. Di depannya, layar laptop memancarkan cahaya biru yang menenangkan, memantulkan bayangan wajahnya yang serius. Kode-kode program berbaris rapi, membentuk algoritma kompleks yang sedang ia rancang. Anya adalah seorang data scientist di sebuah startup teknologi ambisius bernama "Synapse," yang berfokus pada pengembangan aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan.

Ironis, pikirnya, menciptakan alat untuk menemukan cinta sementara dirinya sendiri masih terjebak dalam labirin kesendirian. Anya lebih nyaman berkutat dengan data dan logika daripada obrolan basa-basi di bar atau swipe kanan tanpa makna di aplikasi kencan biasa. Baginya, cinta adalah persamaan rumit yang belum berhasil ia pecahkan.

Suatu malam, saat Anya hampir menyerah pada bug yang terus menghantuinya, sebuah notifikasi muncul di layar. Itu adalah pesan dari sistem yang ia rancang sendiri. "Potensi Kecocokan Tertinggi: User ID 7492."

Anya mengerutkan kening. Sistem memang sering memberikan rekomendasi, tapi notifikasi dengan label "Potensi Kecocokan Tertinggi" baru pertama kali ini muncul. Rasa penasaran mengalahkan skeptismenya. Ia membuka profil User ID 7492.

Foto profil menampilkan seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang berbinar. Namanya, Leo. Profesi: Artificial Intelligence Engineer. Data pribadinya menunjukkan kesamaan minat yang mencengangkan dengan Anya. Dari film klasik hingga musik indie, dari kecintaan pada kopi hingga hobi mendaki gunung. Bahkan, algoritma Synapse menemukan kesamaan preferensi buku dan podcast yang sama.

Anya tertegun. Ini terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Apakah ini kesalahan sistem? Atau keajaiban algoritma yang tak terduga? Ia menelan keraguannya dan mengirimkan pesan singkat: "Hai, Leo. Saya Anya, salah satu developer di Synapse. Algoritma kami sepertinya berpikir kita memiliki banyak kesamaan."

Balasan datang hampir seketika. "Hai, Anya! Saya Leo. Jujur, saya juga terkejut dengan rekomendasi ini. Tapi, melihat profilmu, saya tidak bisa menyangkal keakuratan algoritma tersebut. Mungkin kita ditakdirkan untuk bertemu, setidaknya secara digital."

Percakapan mereka mengalir deras bagai sungai. Mereka membahas kode, etika AI, dan mimpi-mimpi masa depan. Anya menemukan dirinya tertawa lepas untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Leo bukan hanya seorang engineer yang cerdas, tapi juga seorang pendengar yang baik dan pribadi yang hangat.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Mereka bertukar pesan setiap hari, bahkan larut malam. Anya mulai menyadari bahwa dia tidak hanya tertarik pada pikiran Leo, tapi juga pada pribadinya. Ia mulai membayangkan bagaimana rasanya bertemu Leo secara langsung, merasakan kehadirannya, dan menatap matanya secara langsung.

Namun, keraguan kembali menghantuinya. Apakah ini hanya ilusi digital? Apakah Leo benar-benar seperti yang ia gambarkan di dunia maya? Atau hanya persona yang dikonstruksi dengan hati-hati untuk menarik perhatian?

Suatu sore, Leo mengajaknya bertemu. "Anya, saya rasa sudah saatnya kita bertemu secara langsung. Bagaimana kalau kita minum kopi di kafe 'Pixel Perfect' besok sore? Jam 4?"

Jantung Anya berdegup kencang. Ia setuju tanpa ragu sedikit pun. Malam itu, ia sulit tidur. Pikiran tentang pertemuan besok terus berputar di kepalanya. Ia memilih pakaian yang tepat, memikirkan topik pembicaraan, dan mencoba meredakan kecemasannya.

Keesokan harinya, Anya tiba di kafe 'Pixel Perfect' tepat waktu. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap jalanan yang ramai dengan gugup. Tepat pukul 4, seorang pria memasuki kafe. Pria itu tersenyum, dan Anya langsung mengenalinya. Itu Leo, persis seperti yang ia lihat di foto profilnya, bahkan lebih tampan.

"Anya?" sapa Leo dengan suara yang lembut.

"Leo," balas Anya, berusaha menutupi kegugupannya.

Mereka duduk dan memesan kopi. Awalnya, suasana terasa canggung, tapi perlahan, percakapan mulai mengalir. Mereka membahas tentang proyek Synapse, tentang algoritma cinta yang mempertemukan mereka, dan tentang mimpi-mimpi mereka di masa depan.

Anya menyadari bahwa Leo bahkan lebih menawan di dunia nyata. Ia jujur, cerdas, dan memiliki selera humor yang baik. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita, dan saling menatap mata. Anya merasa seolah-olah telah mengenal Leo seumur hidup.

Saat senja mulai merayap, Leo meraih tangan Anya. "Anya, saya tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi saya merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Saya tidak tahu apakah ini karena algoritma atau karena takdir, tapi saya ingin mengenalmu lebih jauh."

Anya menatap mata Leo, merasakan ketulusan dalam tatapannya. Ia tersenyum dan menggenggam tangan Leo dengan erat. "Saya juga merasakan hal yang sama, Leo. Mari kita lihat ke mana jejak digital hati ini akan membawa kita."

Mereka menghabiskan malam itu dengan berjalan-jalan di taman kota, bercerita, dan tertawa. Anya merasa bahagia dan damai. Ia akhirnya menemukan cinta, bukan di antara barisan kode, melainkan di dalam hati seorang pria yang ditemukan oleh algoritma yang ia ciptakan sendiri.

Kisah cinta mereka menjadi legenda di Synapse. Para karyawan sering bercanda bahwa algoritma Anya lebih akurat daripada Cupid. Anya dan Leo terus bekerja bersama, mengembangkan aplikasi kencan yang lebih baik dan lebih personal. Mereka membuktikan bahwa di era algoritma yang bertumbuh, cinta sejati masih bisa ditemukan, bahkan dengan bantuan teknologi. Dan terkadang, persamaan cinta yang rumit dapat dipecahkan dengan bantuan algoritma yang tepat dan hati yang terbuka.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI