Hujan piksel memenuhi layar laptopku. Bukan hujan meteor digital, melainkan luapan notifikasi dari aplikasi kencan "Algoritma Cinta". Ironis, pikirku, di tengah lautan kode dan kecerdasan buatan, aku justru merasa semakin kesepian. Algoritma yang katanya mampu menemukan pasangan ideal berdasarkan data diri dan preferensi, nyatanya hanya mempertemukanku dengan deretan profil yang terasa kosong.
Aku, Arya, seorang software engineer yang lebih akrab dengan baris kode daripada basa-basi romantis, memang bukan kandidat ideal untuk kisah cinta konvensional. Dunia nyata terasa terlalu bising, terlalu kompleks. Aku lebih nyaman tenggelam dalam dunia digital, mencipta solusi dan memecahkan masalah. Namun, di balik keasyikan itu, terselip kerinduan akan koneksi yang tulus, seseorang yang bisa memahami kompleksitas diriku yang tersembunyi.
Malam ini, kuputuskan untuk mencoba lagi. Kupindai satu per satu profil yang disodorkan Algoritma Cinta. Senyum yang dipaksakan, hobi yang generik, dan deskripsi diri yang klise. Hampir saja aku menyerah, sebelum mataku tertumbuk pada sebuah profil yang berbeda.
Namanya, Senja. Fotonyapun tidak sempurna, candid, dengan rambut sedikit berantakan tertiup angin dan senyum yang tulus, bukan hasil polesan filter. Deskripsinya singkat namun menyentuh, "Menemukan keindahan dalam kesederhanaan, tersesat di antara buku dan kode."
"Kode?" gumamku. Rasa penasaran mendorongku untuk membaca lebih lanjut. Senja ternyata seorang data scientist, bekerja di sebuah lembaga penelitian yang fokus pada pengembangan teknologi ramah lingkungan. Minatnya beragam, mulai dari sastra klasik hingga fisika kuantum. Sesuatu dalam diriku bergejolak. Mungkin, hanya mungkin, Algoritma Cinta akhirnya melakukan tugasnya dengan benar.
Kukirimkan pesan sederhana, "Hai, Senja. Aku juga suka tersesat di antara kode. Mungkin kita bisa tersesat bersama?"
Jantungku berdebar kencang menunggu balasannya. Detik terasa seperti menit, menit terasa seperti jam. Akhirnya, sebuah notifikasi muncul. "Hai, Arya. Kedengarannya menarik. Tapi, pastikan kamu bawa peta yang bagus."
Percakapan kami mengalir begitu saja. Kami membahas algoritma machine learning, implikasi etis kecerdasan buatan, dan tentu saja, buku-buku favorit kami. Senja ternyata memiliki selera humor yang tinggi dan wawasan yang luas. Kami saling berbagi pandangan, berdebat dengan sopan, dan tertawa bersama.
Beberapa minggu kemudian, kami memutuskan untuk bertemu. Aku memilih sebuah kedai kopi kecil yang terletak di dekat taman kota. Ketika Senja datang, aku terpaku. Dia jauh lebih cantik dari fotonya. Rambutnya yang berantakan kini tertata rapi, tapi senyumnya tetap tulus dan hangat.
Kami berbicara berjam-jam, seolah tidak ada hari esok. Kami membahas mimpi, ketakutan, dan harapan kami. Aku menemukan bahwa Senja adalah sosok yang cerdas, berani, dan penuh empati. Dia memahami kompleksitas diriku, tidak menghakimi keanehanku, dan menerima diriku apa adanya.
Namun, ada satu hal yang mengganjal. Aku masih merasa tidak yakin. Apakah ini cinta sejati, atau hanya hasil dari algoritma yang dirancang untuk memanipulasi emosi? Apakah hubungan kami akan bertahan, atau hanya menjadi deretan data yang usang dan tidak relevan?
Suatu malam, saat kami sedang menikmati makan malam di sebuah restoran Italia, aku memberanikan diri untuk bertanya. "Senja, apakah kamu percaya pada Algoritma Cinta?"
Senja tersenyum lembut. "Aku percaya pada kemungkinan. Algoritma bisa menjadi alat untuk mempertemukan kita, tapi keputusan untuk menjalin hubungan ada di tangan kita sendiri. Cinta bukan hasil perhitungan matematis, melainkan kombinasi dari ketertarikan, rasa hormat, dan komitmen."
Kata-katanya menenangkanku. Aku menyadari bahwa aku terlalu fokus pada teknologi, sehingga melupakan esensi dari hubungan manusia. Cinta bukan tentang menemukan pasangan yang sempurna, melainkan tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain.
Waktu berlalu. Hubungan kami semakin erat. Kami saling mendukung dalam karir, berbagi kebahagiaan dan kesedihan, dan belajar untuk tumbuh bersama. Aku menemukan bahwa Senja adalah partner yang ideal, bukan karena algoritma, melainkan karena kami memiliki nilai-nilai yang sama, minat yang sejalan, dan visi masa depan yang selaras.
Suatu sore, saat kami sedang berjalan-jalan di taman kota, tempat kami pertama kali bertemu, aku berlutut dan melamarnya. Senja menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Ya," jawabnya dengan suara bergetar.
Beberapa bulan kemudian, kami menikah. Pernikahan kami sederhana, namun penuh cinta dan kebahagiaan. Kami mengundang keluarga dan teman-teman terdekat, serta beberapa software engineer dan data scientist yang berjasa dalam menciptakan Algoritma Cinta.
Di resepsi pernikahan, aku memberikan pidato singkat. "Aku tidak tahu apakah Algoritma Cinta benar-benar bekerja, atau hanya kebetulan semata. Tapi, aku tahu satu hal pasti. Aku menemukan cinta sejati, bukan di antara baris kode, melainkan di hati seorang wanita yang luar biasa."
Aku menatap Senja, yang berdiri di sampingku dengan senyum manis. "Terima kasih, Senja, karena telah menunjukkan padaku bahwa cinta itu lebih dari sekadar algoritma. Cinta adalah tentang koneksi manusia yang tulus, empati yang mendalam, dan komitmen yang abadi."
Hujan piksel di layar laptopku kini tidak lagi terasa menyedihkan. Sebaliknya, hujan piksel itu mengingatkanku akan perjalanan cintaku yang unik, perjalanan yang dimulai dari sebuah aplikasi kencan dan berakhir di altar pernikahan.
Mungkin, algoritma memang tidak bisa menemukan cinta. Tapi, algoritma bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan dua hati yang ditakdirkan untuk bersama. Dan, mungkin, cinta itu sendiri adalah algoritma yang paling kompleks dan indah, sebuah formula ajaib yang tidak bisa dipahami sepenuhnya, namun bisa dirasakan dengan sepenuh hati.