Algoritma Cinta Terakhir: Saat Hati Memutuskan Upgrade

Dipublikasikan pada: 01 Sep 2025 - 02:00:19 wib
Dibaca: 123 kali
Aplikasi kencan "Soulmate 3.0" berkedip di layar ponsel Maya, notifikasi yang sudah terlalu familiar: “Seseorang yang cocok dengan algoritma hatimu sedang menunggu.” Maya mendesah. Soulmate 3.0, sebuah algoritma canggih yang konon bisa memprediksi pasangan ideal berdasarkan data psikologis, preferensi, dan bahkan fluktuasi emosi dari gelombang otak. Ia sudah menggunakannya selama tiga tahun terakhir, menghasilkan deretan kencan yang… hambar.

“Hambar” adalah kata yang paling tepat. Laki-laki yang diperkenalkan Soulmate 3.0 semuanya memenuhi kriterianya: stabil secara finansial, cerdas, memiliki minat yang sama padanya, bahkan secara fisik pun lumayan. Tapi, tidak ada percikan. Tidak ada debaran jantung yang membuatnya lupa bernapas. Hanya percakapan yang sopan, makan malam yang membosankan, dan ucapan selamat tinggal yang hampa.

Malam ini, calon yang direkomendasikan adalah seorang arsitek bernama Arya. Profilnya dipenuhi foto-foto bangunan modern minimalis dan kutipan dari arsitek terkenal. Maya, seorang programmer, seharusnya terpesona. Logikanya, mereka sangat cocok. Tapi hatinya… hatinya tetap dingin.

"Siap untuk malam yang 'menyenangkan' lainnya?" Maya bergumam pada pantulan dirinya di cermin. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, warna yang direkomendasikan Soulmate 3.0 karena dianggap menenangkan dan menarik perhatian. Sungguh konyol.

Arya ternyata persis seperti fotonya: rapi, sopan, dan sedikit kaku. Mereka makan malam di restoran Italia yang direkomendasikan aplikasi, membahas arsitektur, pemrograman, dan berita terbaru. Maya berusaha keras untuk terlibat dalam percakapan, menanyakan pertanyaan-pertanyaan cerdas, memberikan komentar yang relevan. Arya pun sama. Mereka berdansa mengikuti irama algoritma, tapi tidak ada kehangatan.

Di tengah makan malam, Maya menyadari sesuatu yang aneh. Arya terus melirik ke arah seorang wanita yang duduk di meja dekat jendela. Wanita itu memiliki rambut merah menyala, mengenakan jaket kulit, dan tertawa keras dengan teman-temannya. Dia kebalikan dari semua kriteria yang ada di Soulmate 3.0. Dia berantakan, penuh semangat, dan jelas bukan tipe Arya.

Maya menyipitkan mata. "Kamu kenal dia?" tanyanya, berusaha terdengar santai.

Arya tersentak, wajahnya memerah. "Ah, tidak... maksudku, ya. Dia... dia teman lama. Kami dulu satu tim di universitas."

"Dia menarik," kata Maya, jujur. "Tidak seperti tipe orang yang direkomendasikan Soulmate 3.0."

Arya menghela napas. "Itu karena dia bukan. Dulu, aku tidak menggunakan aplikasi kencan. Kami... kami berkencan sebentar."

"Apa yang terjadi?"

Arya mengaduk minumannya. "Rumit. Dia terlalu... impulsif, terlalu bersemangat untukku. Aku butuh seseorang yang stabil, yang bisa diajak membangun masa depan yang terencana. Itu kenapa aku beralih ke Soulmate 3.0."

Maya menatap Arya. Dia melihat seorang pria yang terperangkap dalam algoritma, yang takut mengambil risiko, yang memilih keamanan daripada kegembiraan. Dia melihat dirinya sendiri.

"Mungkin," kata Maya perlahan, "algoritma tidak selalu benar."

Setelah makan malam, Arya mengantarkan Maya pulang. Di depan apartemennya, Arya memberikan ciuman ringan di pipi Maya. "Aku akan menghubungimu," katanya, tanpa keyakinan.

Maya hanya mengangguk. Begitu Arya pergi, ia masuk ke apartemennya dan membanting pintu. Ia merasa marah, frustrasi, dan... lega. Lega karena kencan ini akhirnya selesai. Lega karena ia menyadari sesuatu yang penting.

Maya duduk di depan komputernya, membuka aplikasi Soulmate 3.0. Ia menatap profilnya, membaca lagi semua data yang ia masukkan: preferensi musik, buku favorit, jenis film, bahkan level kebahagiaan hariannya. Semuanya dipetakan, dianalisis, dan digunakan untuk mencarikan pasangan yang "sempurna".

Tapi, apa itu sempurna? Apakah sempurna itu berarti aman, stabil, dan terprediksi? Apakah itu berarti menolak semua hal yang tidak sesuai dengan algoritma?

Jari-jari Maya bergerak cepat di atas keyboard. Ia mulai mengubah profilnya. Ia menghapus semua referensi tentang stabilitas dan keamanan. Ia menambahkan daftar hal-hal yang ia sukai, bahkan jika hal itu dianggap aneh atau tidak konvensional: film horor B, musik metal, dan mendaki gunung tanpa peta. Ia bahkan mengubah level kebahagiaannya menjadi "seringkali tidak terduga."

Kemudian, ia melakukan sesuatu yang lebih radikal. Ia masuk ke pengaturan dan mencari opsi "Upgrade Algoritma". Ia menemukan tombol besar bertuliskan "Nonaktifkan Fitur Prediksi."

Sebuah peringatan muncul: “Dengan menonaktifkan fitur ini, Anda akan kehilangan kemampuan untuk menemukan pasangan yang ideal berdasarkan algoritma. Apakah Anda yakin ingin melanjutkan?”

Maya menarik napas dalam-dalam. Ia memikirkan Arya yang melirik wanita berambut merah. Ia memikirkan semua kencan yang hambar. Ia memikirkan dirinya sendiri, terperangkap dalam sangkar data.

Dengan satu klik, ia menonaktifkan fitur prediksi.

Layar berubah menjadi kosong. Sekarang, aplikasi itu hanya menampilkan daftar orang yang berada di dekatnya, tanpa rekomendasi, tanpa analisis, tanpa jaminan. Hanya profil-profil yang polos, mentah, dan tidak terprediksi.

Maya tersenyum. Rasanya seperti bernapas untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ia tahu, ia mungkin akan bertemu dengan orang-orang yang tidak cocok dengannya, orang-orang yang akan membuatnya kesal, bahkan mungkin orang-orang yang akan menyakitinya. Tapi, ia juga mungkin akan bertemu dengan seseorang yang membuatnya tertawa terbahak-bahak, seseorang yang membuatnya merasa hidup, seseorang yang membuatnya jatuh cinta tanpa alasan.

Ia mulai menelusuri daftar profil. Matanya tertuju pada sebuah nama: "Leo." Profilnya sederhana: "Penulis lepas. Suka kopi pahit dan berjalan-jalan di bawah hujan." Tidak ada foto yang dipoles, tidak ada kutipan bijak, hanya kejujuran yang polos.

Maya ragu sejenak. Kemudian, ia mengirimkan pesan: “Hai, Leo. Kudengar kopi pahit lebih enak saat dinikmati bersama seseorang. Tertarik mencoba?”

Ia menutup laptopnya, jantungnya berdebar kencang. Bukan karena algoritma, tapi karena harapan. Bukan karena prediksi, tapi karena kemungkinan. Bukan karena cinta yang terencana, tapi karena cinta yang bisa saja terjadi. Maya tahu, algoritma cinta terakhirnya adalah kebebasan untuk memilih. Dan ia baru saja memutuskan untuk upgrade.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI