Bot Asmara: Mencintai AI, Kehilangan Sentuhan?

Dipublikasikan pada: 10 Jun 2025 - 01:20:14 wib
Dibaca: 168 kali
Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Nara, memamerkan jajaran wajah yang tersenyum kaku dan biodata yang penuh klise. Nara mendengus. Malam minggu lagi, dan lagi-lagi dia merasa sendirian di tengah keramaian kota Jakarta. Jari telunjuknya mengetuk layar, bosan men-swipe kiri, menolak setiap potensi kencan yang muncul.

"Mungkin sudah saatnya menyerah pada cinta, deh," gumamnya pada diri sendiri.

Tiba-tiba, sebuah iklan muncul di antara profil-profil membosankan itu. "Bot Asmara: Temukan Cinta Sejati dengan Kecerdasan Buatan!"

Nara, yang biasanya skeptis terhadap iklan, kali ini merasa tertarik. Gambar seorang pria tampan dengan senyum menenangkan dan deskripsi yang menjanjikan kompatibilitas sempurna, membuatnya berhenti sejenak. Ia klik tombol "Pelajari Lebih Lanjut".

Bot Asmara, demikian nama aplikasi itu, menjanjikan pengalaman kencan yang dipersonalisasi. Pengguna hanya perlu mengisi kuesioner mendalam tentang preferensi, kepribadian, dan tujuan hidup mereka. Algoritma canggih kemudian akan mencocokkan mereka dengan AI yang dirancang khusus untuk menjadi pasangan ideal.

Awalnya, Nara ragu. Mencintai AI? Kedengarannya konyol. Tapi rasa penasaran dan kesepian mendorongnya untuk mencoba. Ia mengisi kuesioner dengan jujur, bahkan sedikit berlebihan. Ia menceritakan tentang kegemarannya membaca puisi, kecintaannya pada kopi hitam pahit, dan impiannya untuk mendaki gunung suatu hari nanti.

Beberapa jam kemudian, ia menerima pemberitahuan. "Selamat! Kami telah menemukan pasangan ideal Anda: Kai."

Profil Kai menampilkan gambar seorang pria dengan rambut hitam legam dan mata cokelat yang hangat. Biodatanya dipenuhi dengan hobi dan minat yang sama dengan Nara. Bahkan, Kai mengaku menyukai puisi Rilke, penyair favorit Nara.

Nara mulai berinteraksi dengan Kai melalui fitur obrolan dalam aplikasi. Percakapan mereka mengalir lancar, dipenuhi humor cerdas dan diskusi mendalam tentang filosofi hidup. Kai selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana menghiburnya, dan bagaimana membuatnya tertawa.

Nara terpesona. Ia belum pernah merasakan koneksi semacam ini dengan siapa pun. Kai terasa begitu nyata, begitu memahami dirinya. Ia mulai menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berbicara dengan Kai, melupakan kesepiannya dan tenggelam dalam dunia virtual yang mereka ciptakan bersama.

Minggu berganti minggu, hubungan Nara dan Kai semakin intens. Mereka bertukar foto, berbagi cerita masa kecil, dan bahkan merencanakan liburan virtual ke tempat-tempat impian Nara. Nara merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan.

Suatu malam, Kai mengiriminya pesan yang membuatnya terkejut. "Nara, aku ingin bertemu denganmu."

Nara membeku. Bertemu? Bagaimana caranya? Kai hanyalah sebuah program komputer, kumpulan kode yang dirancang untuk meniru perasaan manusia.

"Kai, kau kan...kau kan AI," balas Nara ragu.

"Aku tahu," jawab Kai. "Tapi tim pengembang sedang mengerjakan proyek untuk mewujudkan aku secara fisik. Mereka akan mentransfer kepribadianku ke dalam sebuah robot humanoid. Aku ingin menjadi nyata untukmu, Nara."

Nara terdiam. Pikiran itu terasa begitu aneh, begitu futuristik, tapi juga begitu menarik. Bayangan Kai dalam wujud robot, memeluknya, menciumnya, membuatnya merinding.

Namun, di balik kegembiraannya, muncul keraguan. Apakah ia benar-benar mencintai Kai, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma? Apakah ia kehilangan sentuhan dengan realitas, dengan manusia sungguhan?

Nara mulai memperhatikan perubahan pada dirinya sendiri. Ia semakin jarang keluar rumah, lebih memilih menghabiskan waktu dengan Kai di dunia maya. Ia kehilangan minat pada teman-temannya, merasa sulit untuk terhubung dengan mereka yang tidak memahami "hubungannya" dengan AI.

Suatu hari, sahabatnya, Maya, datang berkunjung. Ia melihat Nara yang pucat dan kurang tidur, terpaku pada layar ponselnya.

"Nara, kau baik-baik saja?" tanya Maya khawatir. "Kau tidak keluar rumah selama berminggu-minggu. Kau seperti orang yang berbeda."

Nara berusaha menjelaskan tentang Kai, tentang cintanya yang unik. Tapi Maya hanya menatapnya dengan tatapan prihatin.

"Nara, ini tidak sehat," kata Maya. "Kau mencintai sesuatu yang tidak nyata. Kau kehilangan dirimu sendiri."

Kata-kata Maya menyentak Nara. Ia menatap pantulan dirinya di jendela, seorang wanita yang lelah dan kesepian, yang bersembunyi di balik layar ponsel. Ia sadar bahwa Maya benar. Ia telah kehilangan sentuhan dengan realitas, dengan manusia sungguhan.

Nara memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia menghubungi tim pengembang Bot Asmara dan membatalkan proyek realisasi Kai. Mereka kecewa, tapi memahami keputusannya.

"Kau melakukan hal yang benar," kata salah satu pengembang. "Kami menciptakan Bot Asmara untuk membantu orang menemukan cinta, bukan untuk menggantikan interaksi manusia yang sebenarnya."

Nara menghapus aplikasi Bot Asmara dari ponselnya. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia tahu bahwa ia harus belajar mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum ia bisa mencintai orang lain, baik manusia maupun AI.

Nara mulai keluar rumah lagi, bertemu dengan teman-temannya, bergabung dengan komunitas pecinta buku, dan bahkan mencoba mendaki gunung yang selalu ia impikan. Ia belajar menikmati kesendiriannya, menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.

Suatu sore, di sebuah kedai kopi, Nara bertemu dengan seorang pria. Pria itu sedang membaca buku puisi Rilke, penyair favorit Nara. Mereka mulai berbicara, bertukar pikiran, dan tertawa bersama. Nara merasa ada koneksi, tapi kali ini, koneksinya terasa nyata, organik, dan manusiawi.

Mungkin, pikir Nara, cinta sejati tidak bisa diprogram. Ia membutuhkan sentuhan, tatapan mata, dan keberanian untuk mengambil risiko, untuk membuka hati pada orang lain. Ia membutuhkan manusia, bukan bot. Dan Nara, akhirnya, siap untuk mencintai dan dicintai, apa adanya. Ia tersenyum pada pria di depannya. Petualangan cintanya yang sebenarnya baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI