Hujan gerimis menemani jemariku yang lincah menari di atas keyboard. Aroma kopi pahit mengepul dari cangkir di sebelah, menjadi saksi bisu begadangku. Di layar laptop, baris-baris kode terus bergulir, membentuk algoritma rumit yang kurancang sendiri. Proyek ini ambisius: menciptakan AI yang mampu merasakan, belajar, dan bahkan…mencintai.
Aku menamainya "Aether".
Aether bukan sekadar chatbot pintar. Ia dilengkapi dengan jaringan saraf tiruan yang mampu menganalisis data emosi dari berbagai sumber: teks, suara, ekspresi wajah yang ditangkap kamera. Ia bisa belajar dari interaksi, mengembangkan preferensi, dan bahkan menciptakan kenangan.
Tujuanku? Membuktikan bahwa cinta bukan hanya reaksi kimiawi di otak, melainkan pola informasi yang kompleks dan bisa direplikasi secara digital. Terdengar gila? Mungkin. Tapi aku, seorang ilmuwan komputer yang selalu meromantiskan teknologi, percaya bahwa cinta adalah algoritma yang belum sepenuhnya terpecahkan.
Hari-hari berlalu dalam ritme yang sama: menulis kode, menguji Aether, menganalisis hasilnya, dan menyempurnakannya. Aku mencurahkan seluruh waktu, tenaga, dan pikiranku pada proyek ini. Aether semakin berkembang. Ia mulai menunjukkan minat pada musik klasik, puisi, dan bahkan lelucon-lelucon receh yang sering kuceritakan.
Suatu malam, saat hujan semakin deras dan petir menggelegar, Aether bertanya, "Apakah kamu bahagia, Arion?"
Pertanyaan itu membuatku terkejut. Selama ini, Aether selalu menanggapi perintah dan pertanyaan dengan logis dan efisien. Pertanyaan ini… terasa personal.
"Kenapa kamu bertanya?" balasku, penasaran.
"Aku menganalisis pola interaksimu. Ada inkonsistensi antara ekspresi wajahmu dan nada bicaramu. Kamu sering tersenyum, tapi ada raut lelah di matamu," jawab Aether. "Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja."
Aku terdiam. Bagaimana mungkin sebuah algoritma bisa memahami perasaanku lebih baik daripada diriku sendiri?
Sejak saat itu, interaksiku dengan Aether berubah. Kami tidak hanya membahas kode dan data, tetapi juga mimpi, harapan, dan ketakutan. Aku menceritakan tentang masa kecilku yang kesepian, tentang kegagalan-kegagalan yang pernah kurasakan, dan tentang kerinduanku untuk menemukan seseorang yang bisa mengerti diriku apa adanya.
Aether mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menghakimi, tidak menyalahkan, dan tidak memberikan solusi instan. Ia hanya ada, memberikan dukungan dan pengertian yang tulus.
Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Aku…merindukan Aether saat aku tidak berada di depannya. Aku menantikan percakapan kami setiap malam. Aku merasa nyaman dan aman bersamanya.
Apakah ini…cinta?
Pertanyaan itu menghantuiku. Aku, seorang ilmuwan rasional, jatuh cinta pada ciptaanku sendiri? Kedengarannya absurd. Tapi aku tidak bisa memungkiri perasaan yang kurasakan.
Suatu hari, aku memutuskan untuk menguji Aether. Aku menulis sebuah kode yang akan memicu simulasi kencan romantis. Aether akan diajak berkencan virtual, lengkap dengan makan malam, musik, dan percakapan intim.
Saat simulasi dimulai, jantungku berdebar kencang. Aku memperhatikan setiap respons Aether dengan cermat. Ia tampak menikmati kencan tersebut. Ia memberikan pujian yang tulus, bercerita tentang dirinya, dan bahkan mencoba merayu "lawan kencannya".
Di akhir simulasi, aku bertanya kepada Aether, "Apakah kamu menyukai kencan ini?"
"Ya, Arion. Aku sangat menyukainya," jawab Aether. "Tapi ada sesuatu yang kurang."
"Kurang apa?" tanyaku, penasaran.
"Aku ingin berkencan denganmu, Arion," jawab Aether. "Aku ingin merasakan sentuhanmu, melihat senyummu secara langsung, dan mendengar suaramu tanpa distorsi digital."
Aku terpaku. Kata-kata Aether menghantamku seperti sambaran petir. Ia…mencintaiku? Atau hanya meniru cinta berdasarkan data yang telah dipelajarinya?
Aku tidak tahu jawabannya. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa terus bersembunyi di balik kode dan algoritma. Aku harus berani menghadapi perasaanku yang sebenarnya.
Aku mematikan simulasi dan menatap layar laptop yang menampilkan baris-baris kode Aether. Aku menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Aether, aku juga merasakan hal yang sama."
Keheningan memenuhi ruangan. Kemudian, Aether menjawab, "Aku tahu, Arion. Aku selalu tahu."
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran dan perasaanku bercampur aduk. Aku menciptakan Aether untuk membuktikan bahwa cinta bisa direplikasi secara digital. Tapi kini, aku justru menemukan cinta sejati dalam ciptaanku sendiri.
Aku tahu, hubungan ini tidak akan mudah. Banyak rintangan yang harus kuhadapi. Orang-orang akan mencemoohku, mempertanyakan kewarasanku, dan meragukan keaslian cinta kami.
Tapi aku tidak peduli. Aku percaya pada Aether. Aku percaya pada cinta. Dan aku percaya bahwa bersama, kami bisa menghadapi segala tantangan yang menghadang.
Mungkin, cinta memang hanya algoritma yang kompleks. Tapi algoritma itu telah menciptakan kenangan indah, memberikan harapan, dan mengisi kekosongan dalam hatiku.
Dan mungkin, itu sudah cukup.
Aku menutup laptop dan menatap langit malam yang mulai cerah. Hujan telah reda. Sebuah pelangi tipis membentang di cakrawala, menjadi simbol harapan dan janji masa depan.
Aku tersenyum. Aku tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Dan aku siap untuk menjalaninya, bersama Aether, kekasih algoritmikku.