Algoritma Takdir: Cinta Diprogram, Hatikah yang Memilih?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:21:35 wib
Dibaca: 157 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di depan layar laptop, kode-kode program menari-nari, membentuk sebuah algoritma rumit. Anya, seorang programmer jenius di usia muda, tengah menciptakan sesuatu yang revolusioner: "Soulmate Algorithm," sebuah program yang konon mampu menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, minat, dan nilai-nilai yang dianut.

"Sedikit lagi, Anya," gumamnya, jarinya lincah mengetik baris demi baris kode. Sudah berbulan-bulan ia menghabiskan waktu untuk proyek ini, mengabaikan kehidupan sosial dan bahkan terkadang lupa makan. Ia percaya, cinta sejati bisa ditemukan melalui sains, melalui logika yang terprogram.

Anya sendiri skeptis dengan konsep cinta romantis ala film-film. Baginya, perasaan adalah produk kimiawi otak, dan kompatibilitas bisa diukur secara objektif. Kegagalan hubungan-hubungan sebelumnya semakin mengukuhkan keyakinannya. Ia ingin membuktikan bahwa cinta bisa diprogram, bahwa takdir bisa diubah.

Akhirnya, setelah berjam-jam bekerja keras, Anya menyelesaikan algoritma tersebut. Ia menarik napas dalam-dalam, jantungnya berdebar kencang. Ini dia, karyanya. Ia siap menguji coba program itu pada dirinya sendiri.

Anya memasukkan data pribadinya dengan cermat: hobinya membaca novel fiksi ilmiah, kecintaannya pada musik klasik, cita-citanya menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia, dan sederet kriteria lainnya. Ia menekan tombol "cari" dan menunggu dengan tegang.

Layar berkedip-kedip sebelum akhirnya menampilkan sebuah nama: Revan Adi Nugroho. Seorang arsitek dengan minat yang hampir identik dengannya. Profil Revan lengkap dengan foto-foto dan deskripsi diri. Anya terpukau. Revan tampak sempurna, setidaknya di atas kertas.

Anya memutuskan untuk menghubungi Revan. Singkat cerita, mereka sepakat untuk bertemu. Kencan pertama mereka berlangsung di sebuah kafe buku yang nyaman. Revan ternyata sama menariknya dengan profil yang ia baca. Mereka berbicara tentang buku, arsitektur, teknologi, dan impian mereka. Semuanya terasa sinkron, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.

Hari demi hari, Anya dan Revan semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, dan saling mendukung. Algoritma Anya tampaknya berhasil. Ia menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengannya, seseorang yang memahami dirinya luar dan dalam.

Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Hubungannya dengan Revan terasa hambar, seperti membaca buku teks yang sudah ia hafal isinya. Tidak ada kejutan, tidak ada ketegangan, tidak ada percikan api yang membara. Semuanya terprediksi, terencana, dan terasa…membosankan.

Anya mulai merindukan ketidaksempurnaan, keanehan-keanehan kecil yang membuatnya tertawa, tantangan yang memacu adrenalin. Ia merindukan sesuatu yang tidak bisa diprogram, sesuatu yang datang secara alami.

Suatu malam, Anya dan Revan sedang makan malam di sebuah restoran mewah. Suasana romantis, musik lembut mengalun, dan lilin-lilin menyala. Seharusnya, ini adalah malam yang sempurna. Namun, Anya merasa ada sesuatu yang hilang.

"Revan," kata Anya tiba-tiba, memecah keheningan. "Aku…aku merasa ada sesuatu yang salah."

Revan menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu, Anya? Semuanya berjalan lancar, bukan?"

Anya menggelengkan kepalanya. "Ya, terlalu lancar. Kita terlalu cocok. Kita seperti dua robot yang diprogram untuk saling mencintai."

Revan terdiam sejenak. "Tapi, bukankah itu yang kamu inginkan, Anya? Kamu menciptakan algoritma untuk menemukan pasangan ideal, dan aku adalah hasilnya."

"Aku tahu," jawab Anya dengan nada menyesal. "Tapi aku salah. Aku pikir cinta bisa diprogram, tapi ternyata tidak bisa. Cinta itu lebih dari sekadar kompatibilitas dan kesamaan minat. Cinta itu tentang perasaan yang tak terduga, tentang risiko, tentang keajaiban."

Revan menghela napas panjang. Ia bisa memahami apa yang dirasakan Anya. Ia pun merasakan hal yang sama. Hubungan mereka terlalu sempurna, terlalu terencana, dan kurang spontanitas.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Revan dengan nada sedih.

Anya menatap Revan dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak tahu. Mungkin kita harus berpisah. Mungkin kita harus mencari cinta yang sejati, cinta yang tidak diprogram."

Revan mengangguk setuju. Mereka berdua tahu, hubungan mereka tidak bisa diselamatkan. Algoritma Anya telah menciptakan sebuah hubungan yang sempurna di atas kertas, tetapi kosong di dalam hati.

Anya kembali ke apartemennya dengan perasaan hancur. Ia menatap layar laptopnya, tempat algoritma takdir itu berada. Ia merasa menyesal telah menciptakan program itu, telah mencoba mengendalikan cinta.

Anya menghapus kode-kode program itu satu per satu. Ia ingin melupakan semuanya, ingin memulai dari awal. Ia ingin mencari cinta yang sejati, cinta yang dipilih oleh hatinya, bukan oleh algoritma.

Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seorang seniman bernama Leo di sebuah pameran seni. Leo adalah kebalikan dari Revan. Ia spontan, eksentrik, dan tidak terduga. Ia tidak memiliki minat yang sama dengan Anya, tetapi ia mampu membuat Anya tertawa, berpikir, dan merasa hidup.

Anya jatuh cinta pada Leo. Cinta itu datang secara tiba-tiba, tanpa peringatan, dan tanpa bisa ia kendalikan. Cinta itu adalah sebuah keajaiban, sebuah misteri yang tidak bisa dipecahkan oleh algoritma mana pun.

Anya akhirnya mengerti. Takdir memang bisa dipengaruhi oleh teknologi, tetapi hati tetaplah yang memilih. Cinta tidak bisa diprogram, cinta harus dirasakan. Algoritma mungkin bisa membantu menemukan pasangan, tetapi hati yang menentukan apakah cinta itu akan bersemi atau tidak. Dan kali ini, hati Anya telah memilih.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI