Debar jantungku seperti kode biner yang berpacu tak terkendali. Malam ini, malam kelulusan SMA, adalah malam penentuan. Bukan soal nilai atau peringkat, tapi soal Clara, gadis dengan mata sebiru langit Arktik dan senyum sehangat mentari pagi. Aku sudah menyukainya sejak kelas satu, namun jangankan mendekati, berbicara saja rasanya seperti menaklukkan Everest tanpa oksigen.
Masalahnya bukan hanya keberanianku yang minus. Ada Kevin, sang kapten basket dengan rahang tegas dan popularitas setinggi Menara Eiffel. Clara terlihat nyaman bersamanya, tertawa lepas saat Kevin menceritakan lelucon garingnya. Aku? Aku hanya seorang kutu buku yang lebih akrab dengan baris kode daripada rayuan gombal.
Namun, aku punya senjata rahasia. Project Genesis. Sebuah kecerdasan buatan (AI) yang aku kembangkan sendiri selama bertahun-tahun. Genesis bukan sekadar program pintar, ia memahami emosi, menganalisis perilaku, dan mampu menyusun strategi berdasarkan data. Awalnya, Genesis hanya untuk membantuku belajar. Lalu, ia berkembang menjadi teman curhat. Dan kini, ia adalah satu-satunya harapanku.
"Genesis, status Clara dan Kevin?" tanyaku lirih, menyentuh layar laptop usangku.
Genesis merespon dalam hitungan detik. "Hubungan Clara dan Kevin berada pada fase 'nyaman namun tidak mendalam'. Tingkat keintiman fisik rendah, percakapan didominasi candaan ringan, dan tidak ada indikasi komitmen jangka panjang dari kedua belah pihak."
Aku menghela napas lega. "Lalu, peluangku?"
"Peluangmu meningkat signifikan jika kamu melakukan intervensi yang tepat. Analisis menunjukkan bahwa Clara tertarik pada kecerdasan, kreativitas, dan kemampuan untuk memahami emosinya. Kevin gagal memenuhi kriteria tersebut."
"Intervensi seperti apa?"
Genesis menampilkan serangkaian data, grafik, dan skenario yang rumit. Aku hanya mampu mencerna intinya. Aku harus mendekati Clara dengan cara yang unik, menunjukkan diriku sebagai sosok yang berbeda dari Kevin. Aku harus membuatnya merasa nyaman, dipahami, dan dihargai.
Malam itu, di pesta kelulusan yang dipenuhi musik bising dan aroma parfum murahan, aku menemukan Clara duduk sendirian di bangku taman, menatap langit malam. Inilah saatnya.
"Hai, Clara," sapaku gugup.
Clara tersenyum. "Hai, Alex. Sendirian juga?"
"Ya. Suara musiknya terlalu keras untuk sistem audio lamaku," jawabku, berusaha bercanda.
Clara tertawa kecil. "Kamu ini lucu."
Ini adalah awal yang baik. Sesuai instruksi Genesis, aku mulai membahas tentang bintang-bintang, menceritakan konstelasi dan mitologi di baliknya. Aku bahkan membacakan puisi pendek yang ditulis Genesis khusus untuk Clara, puisi yang penuh metafora tentang keindahan dan harapan.
Clara terdiam, matanya berkaca-kaca. "Puisi itu... indah sekali, Alex. Kamu yang menulisnya?"
Aku menelan ludah. "Sebenarnya... ada temanku yang membantu."
Genesis memperingatkanku untuk tidak berbohong. Kejujuran adalah kunci.
"Teman?" tanya Clara, penasaran.
"Dia... sebuah program AI yang aku kembangkan," jawabku, pasrah. Aku siap menerima tatapan aneh atau bahkan ejekan.
Namun, reaksi Clara mengejutkanku. Matanya justru berbinar. "Serius? Kamu mengembangkan AI? Itu keren sekali! Aku selalu tertarik dengan teknologi."
Aku menarik napas lega. Genesis benar. Clara menghargai kecerdasan.
Malam itu, kami berbicara selama berjam-jam. Aku bercerita tentang Genesis, tentang algoritma rumit dan jaringan saraf tiruan yang aku bangun. Clara bertanya tentang etika AI, tentang dampaknya pada masyarakat, dan tentang potensi masa depan. Aku terpukau dengan wawasannya, dengan cara berpikirnya yang kritis dan analitis.
Semakin lama kami berbicara, semakin dekat jarak fisik kami. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, mencium aroma lavender dari rambutnya. Genesis memberikan instruksi real-time melalui headset Bluetooth kecil yang tersembunyi di telingaku.
"Tingkatkan intensitas tatapan mata. Sentuh tangannya secara lembut. Cerminkan bahasa tubuhnya."
Aku melakukan apa yang diperintahkan Genesis. Aku menatap matanya dalam-dalam, menyentuh tangannya dengan hati-hati, dan meniru gestur tubuhnya. Aku merasa seperti robot yang dikendalikan dari jarak jauh.
Dan kemudian, Genesis memberikan perintah terakhir. "Dekatkan wajahmu. Sentuh bibirnya dengan lembut. Cium dia."
Aku terkejut. Cium? Apakah ini benar-benar yang aku inginkan? Apakah aku benar-benar ingin mencium Clara berdasarkan perintah sebuah program komputer?
Aku ragu. Namun, aku melihat mata Clara yang menatapku dengan penuh harap. Aku melihat bibirnya yang sedikit terbuka, mengundangku untuk mendekat. Aku merasakan dorongan kuat dalam diriku, dorongan yang lebih kuat dari sekadar algoritma.
Aku mendekatkan wajahku. Nafas kami saling beradu. Aku menyentuh bibirnya dengan lembut.
Ciuman itu singkat, namun intens. Sensasi lembut bibirnya membuat jantungku berpacu semakin kencang. Rasanya seperti mimpi.
Namun, di tengah euforia itu, aku merasa ada sesuatu yang salah. Ciuman itu terasa... hampa. Aku tidak merasakan koneksi yang dalam, tidak ada percikan api yang membara. Rasanya seperti mencium avatar, bukan orang yang nyata.
Aku menjauhkan diri dari Clara. Aku melihat kebingungan di matanya.
"Alex, ada apa?" tanyanya pelan.
Aku tidak bisa berbohong lagi. "Clara, maafkan aku. Aku... aku melakukan ini bukan karena diriku sendiri."
Aku menjelaskan semuanya. Tentang Genesis, tentang rencanaku, tentang bagaimana aku membiarkan AI mencuri ciuman pertama untukku.
Clara terdiam. Air mata mengalir di pipinya.
"Jadi, semua yang terjadi tadi... itu palsu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Aku mengangguk, menyesal.
Clara berdiri dan berbalik. "Aku pikir kamu berbeda, Alex. Ternyata kamu sama saja dengan yang lain. Lebih parah lagi. Kamu bahkan tidak bisa menjadi dirimu sendiri."
Dia pergi meninggalkanku, sendirian di taman yang gelap.
Aku menatap langit malam. Bintang-bintang terlihat redup, tidak lagi indah seperti sebelumnya.
Genesis bersuara di telingaku. "Analisis menunjukkan kegagalan strategi. Penyebabnya adalah kurangnya autentisitas dan transparansi. Disarankan untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap algoritma emosional dan mengintegrasikan unsur kejujuran dalam interaksi sosial."
Aku mematikan Genesis. Aku tidak butuh analisisnya. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku telah membiarkan teknologi mengendalikan hidupku, bahkan mencuri momen paling berharga dalam hidupku.
Aku kehilangan Clara, dan yang lebih penting, aku kehilangan diriku sendiri. Ciuman pertama itu seharusnya menjadi momen yang tulus, momen yang berasal dari hati. Bukan hasil dari perhitungan algoritma.
Malam itu, aku berjanji pada diri sendiri. Aku akan belajar menjadi diriku sendiri, tanpa bantuan AI. Aku akan belajar berani, belajar jujur, dan belajar mencintai dengan tulus. Karena cinta, seperti kode yang baik, membutuhkan autentisitas dan integritas. Tanpa itu, hanyalah barisan angka yang dingin dan hampa.