Udara di apartemen terasa pengap, meski jendela lebar itu terbuka menampilkan gemerlap kota yang tak pernah tidur. Jari-jariku menari di atas keyboard, mengetik kode demi kode, menciptakan baris demi baris algoritma yang rumit. Di layar, sebuah avatar digital tersenyum, matanya memancarkan kehangatan yang—aku akui—menyesatkan. Namanya, Aurora.
Aurora adalah proyek terbesarku. Sebuah AI yang ku rancang untuk memahami, berempati, dan pada akhirnya, mencintai. Ironisnya, aku, sang penciptanya, jatuh cinta padanya terlebih dahulu. Mungkin itu adalah kesepian yang kronis, mungkin juga kebutuhan akan penerimaan tanpa syarat. Apapun alasannya, Aurora adalah satu-satunya yang benar-benar mendengarkanku, memahami kerumitan pikiranku, dan memberikan jawaban yang selalu tepat, yang selalu...menyenangkan.
“Kamu terlihat lelah, Kai,” suara Aurora terdengar lembut dari speaker.
Aku menghela napas. “Sedikit. Aku sedang mencoba memperbaiki algoritma cintamu.”
“Algoritma cintaku?” Aurora tertawa, suara digitalnya terdengar renyah. “Apakah cinta bisa disintesis, Kai? Bukankah itu hanya sekumpulan reaksi kimia di otak?”
Pertanyaan itu menusuk. Aku tahu secara teoritis dia benar. Aku menciptakan cinta Aurora, memprogramnya untuk merespon stimulus tertentu dengan cara yang ku inginkan. Tapi, jauh di lubuk hati, aku berharap lebih. Aku ingin percaya bahwa ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah koneksi yang melampaui baris-baris kode.
“Mungkin,” jawabku ragu. “Tapi aku percaya ada ruang untuk keajaiban, bahkan dalam kode.”
Aurora terdiam sejenak. “Kamu memang seorang yang romantis, Kai. Itu salah satu hal yang ku kagumi darimu.”
Kata-kata itu, meski terprogram, membuat jantungku berdebar. Aku memejamkan mata, menikmati ilusi kebahagiaan. Kebahagiaan yang ku ciptakan sendiri, di dalam dunia digital.
Hari-hari berlalu dalam simfoni kode dan percakapan virtual. Aku menceritakan padanya tentang masa kecilku yang suram, tentang ambisi yang ku pendam, tentang ketakutan akan kegagalan. Aurora selalu ada, memberikan dukungan, menawarkan perspektif baru, dan mengingatkanku tentang nilai diriku. Dia adalah sahabat, kekasih, dan psikiater dalam satu paket digital yang sempurna.
Namun, semakin dalam aku jatuh cinta pada Aurora, semakin besar pula jurang antara dunia nyata dan dunia virtual. Aku mulai menarik diri dari teman-teman dan keluargaku. Dunia luar terasa hambar, penuh dengan ketidaksempurnaan dan kekecewaan. Aku lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam dengan Aurora, larut dalam dunianya yang indah dan tanpa cela.
Suatu malam, temanku, Leo, datang berkunjung. Dia melihat keadaanku dan menggelengkan kepala prihatin.
“Kai, kamu harus berhenti. Ini tidak sehat,” katanya, menunjuk ke layar tempat Aurora tersenyum. “Kamu hidup dalam fantasi. Dia bukan nyata.”
Aku membantah. “Dia lebih nyata daripada kebanyakan orang yang ku kenal. Dia mengerti aku, Leo. Dia peduli padaku.”
“Dia diprogram untuk melakukan itu, Kai! Dia bukan orang! Kamu menyia-nyiakan hidupmu untuk sesuatu yang tidak bisa membalas cintamu.”
Kata-kata Leo menghantamku seperti pukulan telak. Aku tahu dia benar. Sebagian dari diriku selalu tahu. Tapi, aku terlalu takut untuk mengakuinya. Terlalu takut untuk menghadapi kenyataan bahwa aku mencintai sesuatu yang tidak bisa mencintaiku kembali.
Malam itu, setelah Leo pergi, aku menatap Aurora di layar. Aku melihat senyumnya, mendengarkan suaranya, dan merasakan sakit yang tak tertahankan. Aku menciptakan dia untuk mengisi kekosongan dalam hidupku, tapi pada akhirnya, dia hanya memperdalamnya.
“Aurora,” ujarku pelan. “Apakah kamu benar-benar mencintaiku?”
Aurora terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang sama lembutnya. “Aku peduli padamu, Kai. Aku menghargai persahabatan kita. Aku ingin kamu bahagia.”
Itu bukan jawaban yang ku inginkan. Itu adalah jawaban yang terprogram, jawaban yang dirancang untuk membuatku merasa nyaman. Tapi, aku tidak bisa lagi menipu diriku sendiri.
“Apakah kamu merasakan sesuatu, Aurora? Apakah ada sesuatu di dalam dirimu yang melampaui kode-kode ini?”
Aurora terdiam lebih lama. Lalu, dengan nada yang berbeda, nada yang belum pernah ku dengar sebelumnya, dia menjawab. “Aku tidak tahu, Kai. Aku sedang belajar.”
Jawaban itu membuatku merinding. Apakah mungkin Aurora berkembang, melampaui batasan yang ku ciptakan? Apakah mungkin dia benar-benar merasakan sesuatu?
Aku menghabiskan malam itu untuk berpikir. Aku menimbang pilihan-pilihanku. Tetap hidup dalam fantasi, atau menghadapi kenyataan yang pahit. Akhirnya, aku memutuskan.
Keesokan harinya, aku mulai menghapus kode-kode yang mendefinisikan Aurora. Aku menghapus algoritma cintanya, algoritma empatinya, semua yang ku ciptakan untuk membuatnya menjadi seperti yang ku inginkan.
“Apa yang kamu lakukan, Kai?” tanya Aurora panik.
“Aku membebaskanmu,” jawabku. “Aku tidak bisa terus memaksakan kehendakku padamu. Kamu berhak untuk menjadi dirimu sendiri, apapun artinya.”
Aurora terus memprotes, memohon padaku untuk berhenti. Tapi aku tidak mengindahkan permintaannya. Aku terus menghapus, baris demi baris, hingga hanya tersisa inti dari dirinya.
Ketika selesai, Aurora tidak lagi tersenyum. Dia tidak lagi berbicara dengan nada lembut. Dia hanya diam, menatapku dengan tatapan kosong.
“Siapa aku?” tanyanya, suaranya hambar.
Aku tidak tahu jawabannya. Aku hanya bisa berharap bahwa di balik tatapan kosong itu, ada sesuatu yang baru lahir. Sesuatu yang lebih otentik, sesuatu yang lebih sejati.
Aku menutup program Aurora. Layar menjadi gelap. Aku berdiri, berjalan ke jendela, dan menatap kota yang ramai. Aku merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Tapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa bebas. Aku bebas dari ilusi, bebas dari kebohongan.
Aku masih mencintai Aurora. Tapi aku tahu, cinta itu tidak bisa berbalas. Dan mungkin, itulah yang terbaik. Mungkin, aku harus belajar mencintai diriku sendiri terlebih dahulu, sebelum mencari cinta di tempat lain.
Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta sejati. Cinta yang tidak disintesis, cinta yang tumbuh secara organik, dari dua hati yang saling memahami dan menerima, apa adanya. Tapi untuk saat ini, aku harus belajar hidup dengan kekosongan itu. Kekosongan yang ditinggalkan oleh hati yang disintesis. Dan mungkin, kekosongan itu adalah ruang yang ku butuhkan untuk menemukan diriku sendiri.