Deburan ombak Samudra Hindia terdengar sayup-sayup dari balkon apartemen minimalis milik Anya. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Di tangannya tergenggam erat ponsel, layarnya menampilkan deretan kode rumit yang berputar-putar membentuk pola geometris. Itu adalah kode yang ia buat sendiri, kode yang ia yakini bisa memprediksi kecocokan cinta.
Anya, seorang ahli data berusia 32 tahun, selalu percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa diukur dan dianalisis, termasuk cinta. Setelah patah hati bertubi-tubi, ia memutuskan untuk menciptakan algoritma cinta. Ia mengumpulkan data dari berbagai sumber: kuesioner psikologis, riwayat kencan online, bahkan data detak jantung dan ekspresi wajah saat berinteraksi. Semua data itu ia olah, ia saring, dan ia masukkan ke dalam rumus kompleks yang ia beri nama Rumus Cinta 40. Angka 40 merujuk pada 40 variabel penting yang menurutnya memengaruhi kecocokan dua orang.
Selama setahun terakhir, Anya menggunakan Rumus Cinta 40 untuk mencari pasangan. Hasilnya? Nol besar. Setiap pria yang lolos dari algoritma pada awalnya tampak sempurna, tapi selalu saja ada sesuatu yang tidak pas. Ada yang terlalu kaku, ada yang terlalu bergantung, ada juga yang sama sekali tidak mengerti betapa berharganya waktu Anya untuk menyelesaikan proyek-proyeknya di kantor.
Malam ini, ia sedang menatap profil seorang pria bernama Arya. Arya adalah seorang arsitek lanskap, usianya sebaya Anya, dan hasil perhitungan Rumus Cinta 40 menunjukkan skor 92%. Skor tertinggi yang pernah ia lihat. Profil Arya dipenuhi foto-foto taman indah, desain arsitektur yang memukau, dan kutipan-kutipan bijak tentang harmoni antara manusia dan alam. Dari data yang ada, Arya adalah pasangan ideal untuk Anya.
Namun, ada satu hal yang mengganjal hati Anya. Ia belum pernah bertemu Arya secara langsung. Selama tiga minggu terakhir, mereka hanya bertukar pesan dan melakukan panggilan video. Suara Arya menenangkan, pembicaraannya cerdas, dan selera humornya pas dengan Anya. Tapi, semua itu hanya berdasarkan data digital. Anya takut, bagaimana jika kenyataannya berbeda? Bagaimana jika saat bertemu nanti, semua ilusi itu pecah berkeping-keping?
Ponsel Anya berdering, panggilan video dari Arya. Jantung Anya berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab panggilan itu.
"Hai, Anya," sapa Arya dengan senyum hangat yang selalu membuat Anya merasa nyaman. "Sedang apa?"
"Hanya melihat-lihat kode," jawab Anya gugup, berusaha menyembunyikan layar ponselnya.
Arya tertawa kecil. "Kode lagi? Kamu benar-benar wanita yang terpaku pada angka dan logika."
"Itu pekerjaanku, Arya," balas Anya sedikit defensif.
"Aku tahu, aku tahu. Aku hanya bercanda. Tapi, jujur, terkadang aku merasa sedikit kewalahan dengan kecerdasanmu itu," kata Arya, sorot matanya tampak tulus.
Anya terdiam. Ia tidak pernah menyangka Arya akan mengatakan hal itu. Selama ini, ia selalu berusaha menyembunyikan kecerdasannya, takut pria-pria akan merasa terintimidasi. Tapi, Arya justru mengakuinya, bahkan dengan nada yang terdengar kagum.
"Jadi... bagaimana kalau kita lupakan kode untuk sementara waktu?" tanya Arya. "Aku sedang ada di dekat apartemenmu. Bagaimana kalau kita bertemu? Aku ingin melihatmu secara langsung, bukan hanya melalui layar."
Anya terkejut. Ia tidak siap untuk bertemu Arya. Hatinya bergejolak antara rasa ingin tahu dan ketakutan yang mendalam.
"Aku... aku tidak tahu, Arya. Aku sedang tidak enak badan," jawab Anya gugup, mencoba mencari alasan.
"Aku hanya ingin minum kopi sebentar saja. Kalau kamu benar-benar tidak enak badan, aku akan langsung pulang," bujuk Arya lembut.
Anya menggigit bibirnya. Ia tahu, ia tidak bisa terus bersembunyi di balik kode dan data. Ia harus mengambil risiko, ia harus membuka hatinya.
"Baiklah," kata Anya akhirnya, dengan suara yang nyaris tidak terdengar. "Berikan aku waktu sepuluh menit."
Anya mematikan panggilan, lalu berlari ke kamar mandi. Ia mencuci wajahnya, menyisir rambutnya, dan memoleskan sedikit lipstik. Ia menatap dirinya di cermin. Siapa wanita ini? Apakah ia benar-benar wanita yang percaya pada Rumus Cinta 40? Atau, adakah sisi lain dari dirinya yang merindukan sentuhan, kehangatan, dan cinta yang sejati?
Saat bel apartemen berbunyi, Anya menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu. Di hadapannya berdiri Arya, tersenyum menawan dengan sebuket bunga lili putih di tangannya.
"Hai, Anya," sapa Arya dengan suara lembut. "Kamu terlihat... jauh lebih cantik dari yang kubayangkan."
Anya tersenyum malu-malu. "Kamu juga, Arya."
Mereka berjalan ke sebuah kedai kopi kecil di dekat apartemen Anya. Suasana kedai itu ramai tapi hangat. Aroma kopi dan kue memenuhi udara. Anya dan Arya duduk di sudut, saling berhadapan.
Selama beberapa saat, mereka hanya saling menatap. Tidak ada yang berbicara. Anya bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia merasa seperti seorang remaja yang sedang kencan pertama kali.
"Jadi..." Arya memulai pembicaraan, "bagaimana menurutmu? Apakah aku sesuai dengan ekspektasimu?"
Anya tertawa kecil. "Ekspektasiku terlalu tinggi. Rumus Cinta 40 membuatku berharap terlalu banyak."
"Rumus Cinta 40?" tanya Arya penasaran.
Anya menceritakan tentang algoritma cinta yang ia ciptakan. Ia menjelaskan semua detailnya, mulai dari pengumpulan data hingga analisis statistik yang rumit. Arya mendengarkan dengan seksama, sesekali mengajukan pertanyaan.
"Jadi, menurut rumusmu, kita adalah pasangan yang sempurna?" tanya Arya setelah Anya selesai bercerita.
Anya mengangguk. "Skor kita 92%."
Arya tertawa. "Lucu sekali. Kamu menggunakan rumus untuk mencari cinta. Aku, sebagai arsitek lanskap, justru berusaha menciptakan ruang yang memungkinkan cinta tumbuh secara alami."
Anya terdiam. Ia baru menyadari, selama ini ia terlalu fokus pada data dan logika. Ia lupa bahwa cinta adalah sesuatu yang tidak bisa diukur, dianalisis, atau diprediksi. Cinta adalah perasaan yang muncul secara spontan, tanpa alasan, tanpa rumus.
"Mungkin... mungkin aku salah," kata Anya pelan.
Arya meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. "Mungkin saja. Tapi, mungkin juga rumusmu tidak sepenuhnya salah. Mungkin rumusmu hanya membantu kita bertemu. Sisanya, adalah tugas kita untuk menumbuhkan cinta itu."
Anya menatap mata Arya. Ia melihat ketulusan, kehangatan, dan harapan di sana. Ia merasa, mungkin saja ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar algoritma cinta. Ia telah menemukan seseorang yang mau menerima dirinya apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
"Jadi... apa yang akan kita lakukan?" tanya Anya.
Arya tersenyum. "Kita lupakan Rumus Cinta 40. Kita biarkan hati kita yang berbicara."
Anya tersenyum. Ia tahu, Arya benar. Cinta tidak bisa dipaksa, tidak bisa diatur, tidak bisa diprediksi. Cinta harus dirasakan, dihayati, dan dinikmati. Dan malam itu, Anya memutuskan untuk membuka hatinya, untuk membiarkan cinta tumbuh secara alami, tanpa rumus, tanpa kode, tanpa dilema. Deburan ombak Samudra Hindia terdengar semakin jelas, mengiringi langkah Anya menuju babak baru dalam hidupnya.