Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisnya. Jari-jari Aria menari lincah di atas keyboard, baris demi baris kode Python terpampang di layar monitor. Ia bukan peretas biasa. Aria seorang ethical hacker, yang mengkhususkan diri pada keamanan siber perusahaan-perusahaan teknologi. Namun, malam ini, ia sedang mengerjakan proyek sampingan yang jauh lebih personal: membuat algoritma kencan.
Aria muak dengan aplikasi kencan konvensional. Profil palsu, obrolan basa-basi, dan algoritma yang terasa dangkal. Ia ingin menciptakan sesuatu yang lebih dalam, yang benar-benar memahami preferensi dan nilai-nilai seseorang. Sebuah algoritma yang, idealnya, bisa menemukan pasangan jiwa yang sempurna. Ironis, mengingat dirinya sendiri masih berstatus jomblo akut.
"Hanya masalah logika dan data," gumamnya sambil menyesap kopi. Ia memasukkan berbagai variabel: preferensi film, genre musik, buku favorit, pandangan politik, bahkan tingkat toleransi terhadap jokes receh. Semakin banyak data yang dimasukkan, semakin kompleks algoritmanya. Dan semakin besar harapan Aria untuk menemukan seseorang yang benar-benar klik.
Setelah berbulan-bulan berkutat dengan kode, algoritma kencannya akhirnya selesai. Ia menamainya "SoulMate v1.0". Uji coba pertama, tentu saja, dirinya sendiri. Aria memasukkan semua datanya dengan teliti, menjawab setiap pertanyaan dengan jujur. Lalu, ia menekan tombol "Cari".
Hasilnya muncul dalam hitungan detik. Satu nama terpampang di layar: Tristan.
Jantung Aria berdebar kencang. Tristan… nama itu terdengar familiar. Ia mencari profil Tristan di LinkedIn. Seorang software engineer di perusahaan startup yang bergerak di bidang kecerdasan buatan. Foto profilnya menampilkan seorang pria dengan senyum menawan dan mata yang teduh. Aria mengakui, secara visual, Tristan memang tipenya.
Algoritma kencannya memberikan penjelasan detail mengapa Tristan dianggap sebagai pasangan yang cocok untuknya. Mereka memiliki kesamaan dalam preferensi film independen, genre musik indie pop, dan pandangan progresif tentang isu-isu sosial. Bahkan, keduanya memiliki ketertarikan yang sama pada buku-buku karya Haruki Murakami.
Aria mengirimkan pesan singkat kepada Tristan melalui LinkedIn. Sederhana, hanya memperkenalkan diri dan menyebutkan bahwa ia tertarik dengan pekerjaannya di bidang AI. Tristan membalas hampir seketika. Obrolan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas teknologi, filosofi, dan mimpi-mimpi masa depan. Aria merasa seperti menemukan seseorang yang selama ini ia cari.
Setelah beberapa minggu berinteraksi online, Tristan mengajaknya berkencan. Aria gugup sekaligus bersemangat. Ia berdandan rapi, memastikan penampilannya sempurna. Saat bertemu dengan Tristan di sebuah kafe yang nyaman, ia merasa seperti sedang berada dalam mimpi. Tristan persis seperti yang ia bayangkan. Cerdas, humoris, dan penuh perhatian.
Kencan pertama itu berlanjut menjadi kencan-kencan berikutnya. Aria semakin jatuh cinta pada Tristan. Ia merasa algoritma buatannya telah berhasil menemukan pasangan yang sempurna untuknya. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, dan membangun hubungan yang terasa tulus.
Namun, kebahagiaan Aria tidak bertahan lama. Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran Italia, Tristan menerima telepon. Nada bicaranya berubah dingin dan tegas. Aria hanya bisa mendengar sepenggal percakapan, namun ia menangkap kata-kata seperti "data", "manipulasi", dan "pembatalan".
Setelah menutup telepon, Tristan menatap Aria dengan ekspresi bersalah. "Aria, ada sesuatu yang harus aku beritahu padamu," ucapnya dengan suara berat. "Aku… aku tidak benar-benar bekerja di bidang AI. Aku seorang aktor. Dan perkenalan kita… ini semua bagian dari sebuah eksperimen."
Aria terkejut. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tristan menjelaskan bahwa sebuah perusahaan riset pasar membayar para aktor untuk berinteraksi dengan pengguna aplikasi kencan dan mengumpulkan data tentang preferensi dan perilaku mereka. Profil Tristan telah dibuat secara khusus agar sesuai dengan profil ideal Aria, berdasarkan data yang ia masukkan ke dalam algoritma kencannya sendiri.
"Jadi… semua ini bohong?" tanya Aria dengan suara bergetar.
Tristan mengangguk pelan. "Aku minta maaf, Aria. Aku tidak ingin menyakitimu. Tapi aku terikat kontrak. Dan… aku juga mulai menyukaimu. Aku benar-benar menyukaimu."
Air mata mengalir di pipi Aria. Ia merasa dikhianati dan dipermainkan. Algoritma kencannya, yang seharusnya membantunya menemukan cinta sejati, justru menjebaknya dalam sebuah kebohongan yang sempurna.
Aria bangkit dari kursinya dan meninggalkan restoran tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai, merasa hancur dan sendirian. Ia telah memercayai algoritma, memercayai data, memercayai sebuah kebohongan yang dirancang sedemikian rupa hingga terasa nyata.
Kembali ke apartemennya, Aria menatap layar monitor yang menampilkan kode SoulMate v1.0. Ia merasa jijik dengan ciptaannya sendiri. Ia telah menciptakan monster yang bisa memanipulasi emosi dan mempermainkan hati manusia.
Dengan tangan gemetar, Aria menghapus semua kode SoulMate v1.0. Ia tidak ingin lagi bermain-main dengan algoritma kencan. Ia tidak ingin lagi mencari cinta melalui data dan logika. Ia ingin menemukan cinta dengan cara yang alami, dengan cara yang manusiawi, tanpa kebohongan dan manipulasi.
Mungkin, pikirnya, cinta sejati tidak bisa ditemukan melalui algoritma. Mungkin, cinta sejati hanya bisa ditemukan melalui hati. Dan mungkin, ia harus belajar untuk memercayai hatinya sendiri. Meskipun terluka, Aria tahu bahwa ia akan bangkit kembali. Ia akan belajar dari pengalamannya. Dan ia akan membuka hatinya untuk cinta, suatu hari nanti. Tapi kali ini, ia akan melakukannya dengan mata terbuka dan hati yang lebih bijaksana.