Algoritma Asmara: Saat Kode Menemukan Jodoh Sejatinya

Dipublikasikan pada: 28 May 2025 - 22:24:12 wib
Dibaca: 169 kali
Debu neon menari-nari di udara apartemen minimalis milik Anya. Cahaya dari tiga monitor raksasa menerangi wajahnya yang serius. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard mekanik, menciptakan simfoni kode yang kompleks. Anya, seorang jenius di bidang kecerdasan buatan, sedang berusaha memecahkan masalah yang lebih rumit dari algoritma pencarian Higgs boson: mencari cinta.

Selama bertahun-tahun, Anya mencurahkan hidupnya untuk kode. Karirnya melejit di usia muda. Ia mendirikan startup teknologi yang valuasi asetnya meroket hanya dalam hitungan bulan. Tapi di balik kesuksesan itu, ada kekosongan. Teman-temannya satu per satu menikah, punya anak, membangun keluarga. Sementara Anya, tenggelam dalam baris kode, merasa semakin terasing.

Ia mencoba aplikasi kencan, tentu saja. Tapi pengalaman itu justru membuatnya semakin skeptis. Profil-profil palsu, percakapan yang hambar, dan janji-janji kosong membuatnya muak. Ia merasa diperlakukan seperti data, dinilai berdasarkan foto dan bio yang dibuat-buat. Lalu, terlintaslah ide gila: menciptakan algoritma yang bisa menemukan jodoh sejatinya.

Proyek "Algoritma Asmara" dimulai sebagai proyek sampingan, pelarian dari rutinitas pekerjaan. Anya menuangkan semua pengetahuannya tentang machine learning, neural networks, dan big data. Ia mengumpulkan data dari berbagai sumber: preferensi buku, film, musik, hobi, bahkan pola komunikasi di media sosial. Ia menciptakan model yang kompleks, mampu menganalisis kepribadian seseorang berdasarkan jejak digitalnya.

Awalnya, Algoritma Asmara hanya menghasilkan kandidat yang "lumayan cocok". Tapi Anya tidak menyerah. Ia terus menyempurnakan algoritmanya, menambahkan parameter-parameter baru, dan melatih modelnya dengan data yang lebih banyak. Ia bahkan memasukkan unsur ketidakpastian, mengakui bahwa cinta tidak selalu logis dan rasional.

Suatu malam, saat Anya hampir menyerah, Algoritma Asmara memberikan hasil yang mengejutkan. Algoritma itu merekomendasikan seseorang yang sama sekali tidak ia duga: Liam. Liam adalah seorang programmer senior di perusahaan pesaing. Anya mengenalnya hanya sebatas kolega yang beberapa kali bertemu di konferensi. Mereka tidak pernah berbicara di luar urusan profesional.

Liam, di mata Anya, adalah sosok yang membosankan. Selalu mengenakan kemeja flanel, bicara dengan nada monoton, dan terlihat tidak tertarik pada hal-hal di luar komputer. Tapi Algoritma Asmara melihat sesuatu yang lain. Algoritma itu melihat kesamaan dalam nilai-nilai inti, minat intelektual, dan bahkan selera humor yang tersembunyi.

Anya ragu. Apakah ia harus mempercayai algoritmanya sendiri? Apakah cinta benar-benar bisa diprediksi oleh kode? Ia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirimkan pesan singkat ke Liam, menanyakan kabarnya dan mengajaknya minum kopi.

Liam membalas dengan cepat. Ia terkejut dengan ajakan Anya, tapi ia menyetujuinya. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di sudut kota. Percakapan mereka awalnya kaku dan canggung. Mereka membahas tentang pekerjaan, teknologi, dan hal-hal netral lainnya.

Tapi seiring berjalannya waktu, es mulai mencair. Anya menemukan bahwa Liam tidak sebosan yang ia kira. Di balik penampilan luarnya yang kaku, Liam memiliki pikiran yang tajam, selera humor yang unik, dan passion yang mendalam terhadap pekerjaannya. Mereka berbicara tentang teori string, paradoks Fermi, dan masa depan kecerdasan buatan. Mereka berdebat, tertawa, dan saling belajar.

Anya menyadari bahwa Algoritma Asmara tidak hanya menemukan kecocokan berdasarkan data. Algoritma itu juga mendorongnya untuk keluar dari zona nyamannya, untuk melihat orang lain dengan cara yang berbeda. Ia belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kesamaan, tapi juga tentang perbedaan yang saling melengkapi.

Mereka mulai berkencan secara teratur. Mereka menjelajahi museum, menonton film independen, dan mendaki gunung. Mereka menemukan kesenangan dalam hal-hal sederhana, seperti memasak bersama, membaca buku di samping perapian, dan menatap bintang-bintang.

Anya perlahan mulai membuka hatinya. Ia menceritakan tentang masa lalunya, tentang ambisinya, dan tentang keraguan-keraguannya. Liam mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi. Ia menawarkan dukungan, pengertian, dan cinta yang tulus.

Liam pun melakukan hal yang sama. Ia menceritakan tentang keluarganya, tentang impiannya, dan tentang ketakutan-ketakutannya. Anya mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Ia menawarkan empati, penerimaan, dan rasa hormat yang mendalam.

Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman yang dipenuhi lampu-lampu berkelap-kelip, Liam berhenti dan menatap Anya dengan mata berbinar.

"Anya," katanya dengan suara lembut, "aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa kita ditakdirkan untuk bersama. Algoritma Asmara mungkin yang mempertemukan kita, tapi aku percaya bahwa cinta kita adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kode."

Anya tersenyum. Air mata mengalir di pipinya. "Aku juga merasakannya, Liam," jawabnya. "Aku mencintaimu."

Liam mendekat dan menciumnya. Ciuman itu lembut, penuh dengan kasih sayang dan harapan. Di bawah langit malam yang bertabur bintang, Anya merasa lengkap. Ia akhirnya menemukan cinta, bukan karena algoritma, tapi karena ia berani mempercayai hatinya.

Beberapa tahun kemudian, Anya dan Liam menikah. Mereka membangun keluarga yang bahagia, dikelilingi oleh cinta, tawa, dan tentu saja, komputer. Anya terus mengembangkan Algoritma Asmara, bukan lagi untuk mencari jodoh, tapi untuk membantu orang lain menemukan kebahagiaan dalam hubungan mereka. Ia belajar bahwa cinta adalah algoritma yang paling kompleks dan paling indah dari semuanya. Algoritma yang tidak bisa diprediksi sepenuhnya, tapi selalu layak untuk diperjuangkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI