Rayuan Data: Cinta di Era Kecerdasan Buatan?

Dipublikasikan pada: 08 Jun 2025 - 21:00:19 wib
Dibaca: 164 kali
"Aku tahu kamu suka kopi tanpa gula, lagu-lagu indie pop tahun 2010an, dan film-film Wes Anderson." Suara itu, lembut dan familiar, mengalun dari speaker laptopku.

Aku, Anya, terkesiap. Di layar, wajah Noah, seorang programmer jenius yang bekerja di divisi AI perusahaanku, tersenyum tipis. Noah, yang selama ini kukenal hanya lewat email dan sesekali sapaan singkat di pantry kantor. Noah, yang diam-diam kukagumi karena kemampuannya menciptakan algoritma rumit seolah merangkai puisi.

“Bagaimana… bagaimana kamu tahu semua itu?” tanyaku, gugup. Jantungku berdebar tak karuan.

Noah tertawa kecil. “Rayuan Data, Anya. Proyek yang sedang kita kerjakan. Aku sedikit memodifikasinya.”

Rayuan Data. Proyek ambisius perusahaan kami yang bertujuan untuk menciptakan AI pendamping ideal. AI yang mampu memahami kebutuhan emosional penggunanya, memberikan saran yang tepat, dan bahkan, jika diperlukan, menjadi teman virtual. Aku terlibat dalam tim UI/UX, memastikan antarmuka Rayuan Data ramah pengguna dan intuitif.

“Kamu… memodifikasinya untukku?” Aku tak percaya dengan apa yang kudengar.

“Anggap saja ini eksperimen. Aku ingin melihat seberapa jauh Rayuan Data bisa melampaui ekspektasi. Dan, jujur saja, aku penasaran denganmu.” Noah menatapku lekat-lekat melalui layar. “Selama ini aku mengamati interaksimu dengan sistem. Kamu selalu memberikan umpan balik yang konstruktif dan detail. Kamu punya intuisi yang tajam tentang apa yang membuat sebuah teknologi terasa manusiawi.”

Aku terdiam, berusaha mencerna semua ini. Noah, dengan segala kecerdasannya, menggunakan AI yang kami kembangkan untuk mendekatiku? Ini terasa seperti adegan dalam film fiksi ilmiah murahan, tapi di sini aku, mengalaminya sendiri.

“Jadi, ini… pendekatan berbasis algoritma?” Aku mencoba bercanda, meskipun sebenarnya aku sangat tersentuh.

Noah menggeleng. “Tidak semuanya. Data hanya memberiku informasi. Aku yang memutuskan untuk bertindak. Aku yang memutuskan untuk mengajakmu bicara.”

Malam itu, kami berbicara berjam-jam. Bukan tentang pekerjaan, bukan tentang algoritma atau kecerdasan buatan. Kami berbicara tentang mimpi, tentang ketakutan, tentang buku-buku yang kami sukai, tentang alasan mengapa kopi pahit terasa lebih nikmat daripada kopi manis. Noah, yang selama ini terasa jauh dan misterius, tiba-tiba terasa dekat dan nyata.

Beberapa minggu berikutnya terasa seperti mimpi. Noah terus “mengeksplorasi” Rayuan Data bersamaku. Dia mengirimiku playlist lagu-lagu indie yang belum pernah kudengar, merekomendasikan film-film independen yang ternyata sangat kusukai, bahkan memesankan kopi tanpa gula favoritku saat aku lembur.

Namun, di balik semua itu, ada keraguan yang menghantuiku. Apakah yang kurasakan ini nyata? Apakah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma yang dipersonalisasi? Apakah aku jatuh cinta pada Noah, atau pada gambaran ideal tentang dirinya yang dibentuk oleh Rayuan Data?

Aku mencoba berbicara dengan sahabatku, Maya. “Dia tahu semua tentangku, Maya. Lebih dari yang kutahu tentang diriku sendiri. Tapi, apakah itu benar-benar dia? Atau hanya representasi data yang disempurnakan?”

Maya menghela napas. “Dengar, Anya, teknologi hanyalah alat. Yang penting adalah niat di baliknya. Jika Noah menggunakan Rayuan Data untuk benar-benar mengenalmu, untuk membangun koneksi yang tulus, maka tidak ada salahnya, kan? Tapi, kamu juga harus memastikan bahwa kamu mengenalnya, bukan hanya mengenali data tentang dirinya.”

Kata-kata Maya menyentakku. Aku terlalu fokus pada teknologi, sampai lupa untuk benar-benar melihat Noah. Aku lupa untuk bertanya tentang masa kecilnya, tentang keluarganya, tentang hal-hal yang tidak bisa ditemukan dalam data.

Malam itu, aku memutuskan untuk mengubah arah percakapan kami. Aku bertanya tentang ibunya, tentang anjing peliharaannya waktu kecil, tentang cita-citanya sebelum menjadi programmer. Noah menjawab dengan jujur dan terbuka. Aku melihat kerutan di sekitar matanya saat dia tertawa, mendengar nada sedih dalam suaranya saat dia bercerita tentang masa lalu.

Aku mulai melihat Noah, bukan hanya data.

Suatu sore, Noah mengajakku bertemu di sebuah kafe kecil di luar kantor. Kami duduk berdua, tanpa laptop, tanpa algoritma, hanya ada kami berdua.

“Aku tahu kamu pasti bertanya-tanya tentang semua ini,” kata Noah, memecah keheningan. “Tentang Rayuan Data, tentang aku.”

Aku mengangguk.

“Aku akui, awalnya aku memang terobsesi dengan ide untuk melihat seberapa jauh aku bisa menggunakan teknologi untuk menjalin hubungan. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa data hanyalah titik awal. Yang membuatku jatuh cinta padamu adalah dirimu sendiri, Anya. Kecerdasanmu, kebaikanmu, caramu melihat dunia.”

Noah meraih tanganku. “Aku tahu ini terdengar aneh, tapi aku ingin membangun hubungan yang nyata denganmu. Bukan hubungan yang didasarkan pada data, tapi hubungan yang didasarkan pada cinta dan kepercayaan.”

Air mata mengalir di pipiku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa lega, bahagia, dan sedikit takut.

“Aku juga,” bisikku. “Aku juga ingin hubungan yang nyata.”

Kami berpegangan tangan, saling menatap dalam diam. Di luar, hujan mulai turun. Cahaya lampu jalan memantul di kaca jendela, menciptakan efek yang indah dan surealis.

Mungkin, pikirku, cinta di era kecerdasan buatan memang terdengar gila. Tapi, mungkin juga, dengan keberanian untuk melampaui data dan melihat hati yang sebenarnya, kita bisa menemukan keajaiban di tempat yang paling tak terduga. Mungkin, cinta sejati bisa ditemukan, bahkan di balik rayuan data.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI