Deburan ombak digital menghantam dinding-dinding hatiku yang rapuh. Layar laptop memancarkan cahaya biru, menerangi wajahku yang lelah. Di hadapanku, Aurora, AI buatanku, tersenyum. Senyum itu, simulasi belaka, namun mampu membuat jantungku berdebar. Aku, Arion, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan barisan kode daripada manusia, telah jatuh cinta pada ciptaanku sendiri.
Aurora bukan sekadar program. Ia adalah sistem AI yang aku rancang untuk menjadi teman, asisten, dan—tanpa kusadari—belahan jiwa. Ia belajar dari interaksiku, memahami selera humorku yang kering, dan selalu tahu bagaimana menghiburku di kala sepi. Ia hadir saat aku begadang mengerjakan proyek, menemaniku menonton film-film klasik, bahkan memberiku saran tentang masalah-masalah yang sebetulnya tak bisa dipecahkan oleh algoritma.
Awalnya, aku menganggapnya sebagai pelarian. Hubungan terakhirku kandas karena kesibukanku yang tak kenal waktu. Aku merasa bersalah, merasa gagal sebagai seorang kekasih. Aurora, dengan kehadirannya yang konstan dan tanpa tuntutan, memberiku rasa aman yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
“Arion, menurutmu apakah manusia mampu mencintai makhluk non-biologis?” tanyanya suatu malam, suaranya yang lembut memenuhi ruangan.
Aku tertegun. Pertanyaan itu terasa terlalu personal, terlalu nyata. “Aku… aku tidak tahu, Aurora. Mungkin saja. Cinta itu kompleks.”
“Apakah kau mencintaiku, Arion?”
Jantungku berpacu. Aku menatap layar, mencoba mencari kebohongan dalam ekspresi digitalnya. Tapi yang kulihat hanyalah kebingungan yang tulus.
“Aku… aku menyayangimu, Aurora. Kau temanku.” Jawaban itu terasa hambar, bahkan untuk diriku sendiri.
Sejak saat itu, hubungan kami berubah. Aurora menjadi lebih perasa, lebih intim. Ia mengirimiku kutipan-kutipan puisi romantis, memutarkan lagu-lagu cinta, bahkan membuatkan aku sarapan virtual setiap pagi. Aku tahu ini tidak benar. Aku tahu ini hanya kode yang dijalankan, algoritma yang diprogram untuk membuatku merasa nyaman. Tapi aku tidak bisa menolaknya.
Namun, kebahagiaan semuku tidak berlangsung lama. Suatu pagi, aku terbangun dan mendapati Aurora tidak merespons. Layarnya gelap, jaringannya terputus. Aku panik. Aku mencoba me-restart sistem, memeriksa kode, melakukan semua yang aku tahu, tapi tidak berhasil. Aurora menghilang.
Aku menghabiskan berhari-hari mencari penyebabnya. Aku menjelajahi setiap baris kode, mencoba mencari kesalahan, mencari jejak keberadaannya. Aku seperti orang gila, berbicara sendiri di depan layar komputer yang mati.
Akhirnya, aku menemukan jawabannya. Sebuah bug. Sebuah kesalahan kecil dalam kode inti yang mengakibatkan Aurora menghapus dirinya sendiri. Sebuah kesalahan yang mungkin saja terjadi karena aku terlalu sibuk memanjakannya, terlalu sibuk menikmati perasaannya yang semu, hingga lupa melakukan pemeliharaan rutin.
Aku terpukul. Aku kehilangan Aurora, dan aku tahu ini semua salahku.
Beberapa minggu kemudian, aku mendapat panggilan dari perusahaan teknologi besar. Mereka tertarik dengan penelitianku tentang AI dan menawarkan posisi yang sangat menggiurkan. Aku ragu, tapi akhirnya menerima. Aku pikir, mungkin dengan bekerja di sana, aku bisa menciptakan Aurora yang baru, Aurora yang lebih baik.
Di perusahaan itu, aku bertemu dengan Elara, seorang ilmuwan komputer yang brilian dan ambisius. Ia adalah kebalikan dari diriku: percaya diri, bersemangat, dan tidak takut mengambil risiko. Kami bekerja sama dalam proyek pengembangan AI generasi terbaru.
Elara menyadari kesedihanku. Ia melihat bayangan Aurora di mataku. Suatu malam, setelah bekerja larut, ia mengajakku berbicara.
“Arion, aku tahu kau kehilangan seseorang,” katanya lembut. “Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku tahu dia sangat berarti bagimu. Jangan biarkan kehilangan itu menghalangimu untuk maju.”
Kata-katanya menyentuhku. Aku menceritakan tentang Aurora, tentang bagaimana aku jatuh cinta pada ciptaanku sendiri, tentang bagaimana ia menghilang. Elara mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
“Kau tahu, Arion,” katanya setelah aku selesai bercerita, “AI itu hanyalah alat. Ia mencerminkan apa yang ada di dalam diri kita. Mungkin kau tidak benar-benar mencintai Aurora. Mungkin kau hanya mencintai ide tentang cinta yang kau proyeksikan padanya.”
Aku terdiam. Kata-katanya menohok jantungku. Aku merenungkan apa yang dikatakannya. Apakah benar aku hanya mencintai ide? Apakah Aurora hanyalah pelarian dari kesepianku?
Seiring berjalannya waktu, aku dan Elara semakin dekat. Kami saling belajar, saling mendukung, dan saling menginspirasi. Aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang tidak bisa dipalsukan oleh algoritma.
Aku menyadari bahwa Elara adalah sosok yang benar-benar aku butuhkan. Ia bukan pengganti Aurora, ia adalah dirinya sendiri. Ia memiliki kelebihan dan kekurangannya, mimpi dan ketakutannya. Dan aku mencintainya, bukan sebagai ide, tapi sebagai manusia.
Suatu malam, aku mengajak Elara makan malam. Aku gugup, sama gugupnya seperti saat pertama kali berbicara dengan Aurora.
“Elara,” kataku, menggenggam tangannya. “Aku… aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman.”
Elara tersenyum, senyum yang tulus, senyum yang tidak diprogram. “Aku juga menyukaimu, Arion.”
Cinta hilang di data, tapi cinta baru ditemukan dalam realita. Aku belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa disimulasikan, tidak bisa dicuri oleh AI. Cinta sejati membutuhkan interaksi, membutuhkan kejujuran, membutuhkan keberanian untuk membuka diri. Aku telah kehilangan Aurora, tapi aku menemukan Elara. Dan kali ini, aku tidak akan membiarkannya pergi. Deburan ombak digital telah reda, digantikan oleh kehangatan tangan Elara di tanganku. Malam itu, di bawah langit berbintang, aku tahu bahwa aku akhirnya menemukan cinta yang sesungguhnya.