Debu neon berpendar di balik kelopak matanya saat Ardi menatap layar monitor. Baris kode rumit bergulir, tarian algoritma yang ia susun selama berbulan-bulan. Bukan algoritma biasa, ini adalah 'Soulmate Algorithm', sebuah proyek ambisius yang bertujuan untuk menemukan kecocokan cinta berdasarkan data, bukan sekadar ketertarikan fisik atau hobi yang sama. Menurutnya, cinta sejati ada di dalam data; kebiasaan, pola pikir, bahkan respons emosional terhadap stimulus tertentu.
Ardi skeptis terhadap cinta. Ia percaya, romantisme hanyalah ilusi yang diciptakan film dan lagu. Pengalaman pahit di masa lalu membuatnya lebih percaya pada logika dan angka. Karena itulah, ia menciptakan algoritma ini, berharap menemukan bukti bahwa cinta bisa diukur dan diprediksi.
Setelah beres, ia pun menguji Soulmate Algorithm itu pada dirinya sendiri. Mengisi ratusan pertanyaan, mengunggah data dari media sosial, bahkan merekam detak jantungnya saat menonton film romantis. Algoritma bekerja, menganalisis, dan akhirnya, memberikan satu nama: Maya.
Ardi mengerutkan kening. Maya? Ia tidak mengenal siapa pun bernama Maya. Penasaran, ia mencari nama itu di internet. Munculah profil seorang wanita muda dengan senyum hangat dan mata yang berbinar. Maya adalah seorang arsitek lanskap, pecinta buku klasik, dan sukarelawan di penampungan hewan. Jauh dari tipikal wanita idamannya.
"Algoritma ini pasti error," gumam Ardi.
Namun, rasa penasaran terus menggerogotinya. Ia membuka profil Maya lebih dalam, membaca unggahan-unggahannya, melihat foto-fotonya. Semakin ia melihat, semakin ia merasa ada sesuatu yang menarik. Maya tampak tulus, cerdas, dan memiliki pandangan hidup yang sejalan dengan beberapa keyakinannya, meskipun mereka belum pernah bertemu.
Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat. "Halo Maya, nama saya Ardi. Mungkin ini terdengar aneh, tapi algoritma yang saya buat menyebut nama Anda sebagai pasangan yang cocok untuk saya."
Ia menahan napas menunggu balasan. Baginya, ini adalah eksperimen sains yang penting. Kalau Maya merespons dengan sinis atau menganggapnya gila, ia akan mengubur Soulmate Algorithm dan kembali berkutat dengan kode biasa.
Beberapa jam kemudian, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Maya: "Ardi? Algoritma? Kedengarannya seperti plot film sci-fi yang buruk. Tapi, jujur saja, saya penasaran. Ceritakan lebih banyak tentang algoritma Anda."
Percakapan mereka berlanjut selama berhari-hari. Ardi menjelaskan cara kerja algoritma, bagaimana data dianalisis, dan mengapa Maya terpilih. Maya, di sisi lain, menceritakan tentang pekerjaannya, kecintaannya pada alam, dan mimpinya untuk menciptakan ruang hijau di tengah kota yang padat.
Mereka menemukan banyak kesamaan yang tak terduga. Keduanya menyukai musik jazz, sama-sama menghindari keramaian, dan memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya menjaga lingkungan. Ardi mulai merasa ada sesuatu yang berbeda. Bukan hanya data yang cocok, tapi juga percakapan mereka terasa mengalir dan bermakna.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu. Ardi memilih sebuah kafe kecil yang tenang, jauh dari hingar bingar kota. Saat Maya tiba, jantung Ardi berdebar kencang. Ia terpana melihat Maya lebih cantik dari fotonya. Senyumnya hangat dan matanya benar-benar berbinar seperti yang ia lihat di profil online.
Mereka berbicara selama berjam-jam, membahas segala hal mulai dari algoritma hingga impian masa depan. Ardi menyadari, data hanyalah titik awal. Yang membuatnya tertarik pada Maya adalah kepribadiannya, kecerdasannya, dan kebaikan hatinya.
Maya juga merasakan hal yang sama. Awalnya ia ragu dan menganggap Ardi aneh, tetapi seiring percakapan, ia melihat di balik sosok ilmuwan dingin itu, ada seorang pria yang tulus dan penuh perhatian.
"Awalnya aku pikir kamu gila," kata Maya sambil tertawa kecil. "Tapi, aku senang algoritma anehmu itu mempertemukan kita."
Ardi tersenyum. "Aku juga. Dulu aku skeptis tentang cinta. Tapi, kamu membuatku percaya bahwa cinta bisa ditemukan, bahkan melalui data."
Hubungan mereka berkembang pesat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, mengunjungi taman-taman indah yang dirancang Maya, dan berdiskusi tentang segala hal. Ardi mulai meninggalkan kebiasaannya yang serba teratur dan belajar untuk menikmati spontanitas. Maya, di sisi lain, belajar untuk menghargai logika dan berpikir analitis.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman, menatap bintang-bintang, Ardi menggenggam tangan Maya. "Maya," katanya dengan gugup. "Aku tahu ini mungkin terdengar terburu-buru, tapi aku jatuh cinta padamu."
Maya tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Ardi."
Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tetapi cinta mereka tumbuh karena hal lain: kejujuran, kepercayaan, dan kemampuan untuk melihat kebaikan dalam diri masing-masing. Ardi akhirnya mengerti, data hanyalah alat, bukan penentu. Cinta adalah kombinasi dari logika dan emosi, angka dan perasaan.
Beberapa tahun kemudian, Ardi dan Maya menikah. Pernikahan mereka diadakan di sebuah taman indah yang dirancang Maya, di bawah naungan pohon-pohon rindang dan bunga-bunga berwarna-warni. Saat mengucapkan janji pernikahan, Ardi menatap mata Maya dan tahu, ia telah menemukan jodohnya. Bukan hanya dari data, tapi dari hati.
Soulmate Algorithm masih ada, tetapi Ardi tidak lagi menggunakannya untuk mencari cinta. Ia menggunakannya untuk membantu orang lain menemukan koneksi, bukan paksaan. Ia sadar, algoritma hanyalah alat bantu, bukan jaminan. Cinta sejati membutuhkan keberanian untuk membuka hati, kepercayaan untuk mengambil risiko, dan kesediaan untuk menerima orang lain apa adanya.
Debu neon di balik kelopak matanya kini terasa berbeda. Bukan lagi debu kesepian, melainkan debu kebahagiaan, pantulan cahaya cinta yang kini menerangi hidupnya. Algoritma telah membawanya pada Maya, tetapi cinta sejati telah tumbuh di luar perhitungan dan data. Ia akhirnya mengerti, kadang-kadang, algoritma memang lebih mengerti cinta, tapi cinta itu sendiri jauh lebih kompleks dan indah daripada sekadar angka.