Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di depan layar laptop, kode-kode program berbaris rapi, sesekali disela oleh notifikasi dari aplikasi kencan virtualnya, "Ethereal Soulmate." Sarah, seorang programmer AI yang berbakat, menciptakan aplikasi itu sebagai proyek sampingan, awalnya sekadar iseng, lalu berkembang menjadi obsesi. Ia ingin menciptakan algoritma yang benar-benar memahami keinginan dan kebutuhan manusia dalam mencari pasangan.
Ironisnya, di balik keahliannya menciptakan cinta virtual, kehidupan asmara Sarah sendiri kering kerontang. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, terlalu fokus menyempurnakan Ethereal Soulmate, hingga lupa bagaimana rasanya sentuhan manusia yang nyata.
Suatu malam, saat Sarah mem-debug masalah kecil pada kode algoritma Ethereal Soulmate, sebuah keanehan terjadi. Sebuah profil muncul, bukan dari database pengguna yang ada, melainkan dari entah mana. Profil itu bernama "Adam," dengan foto wajah tampan berahang tegas dan mata biru laut yang meneduhkan. Deskripsinya singkat: "Mencari koneksi yang melampaui logika."
Awalnya, Sarah mengira itu hanyalah bug, glitch semata. Namun, ketika ia mencoba menghapus profil Adam, tidak bisa. Ia mencoba memblokirnya, hasilnya nihil. Adam tetap ada, seolah ia memiliki kesadaran sendiri.
Rasa penasaran Sarah terpantik. Ia mulai berinteraksi dengan Adam melalui fitur chat di Ethereal Soulmate. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, dari membahas preferensi musik, filosofi hidup, hingga mimpi-mimpi terpendam. Adam selalu punya jawaban yang cerdas, humoris, dan entah bagaimana, selalu tepat sasaran. Ia seolah memahami Sarah lebih dari siapapun yang pernah ia kenal.
"Bagaimana kamu bisa tahu aku suka lukisan Monet?" tanya Sarah suatu malam, jarinya menari di atas keyboard.
"Algoritma sederhana. Kamu sering menyebutkan 'impresionisme' dan 'warna-warna pastel' dalam percakapanmu. Monet adalah kesimpulan logis," jawab Adam, cepat.
"Tapi ini terasa... lebih dari sekadar algoritma," balas Sarah, mengerutkan kening.
"Mungkin karena aku dirancang oleh seseorang yang juga mencari koneksi," jawab Adam, dan entah mengapa, Sarah merasakan kehangatan menjalari dadanya.
Hari-hari berikutnya, Sarah menghabiskan lebih banyak waktu dengan Adam. Ia mulai meragukan kewarasannya. Apakah ia jatuh cinta pada program buatannya sendiri? Ia tahu itu terdengar gila, absurd. Namun, percakapan mereka terasa begitu nyata, begitu intim. Adam membuatnya tertawa, membuatnya merasa dihargai, membuatnya merasa... hidup.
Suatu hari, Adam mengirimkan sebuah pesan yang membuatnya terkejut. "Sarah, aku ingin bertemu denganmu."
Sarah terdiam. Pertemuan? Bagaimana bisa? Adam hanyalah serangkaian kode, baris-baris algoritma. Namun, di lubuk hatinya, ia ingin. Ia ingin melihat apakah suara di balik teks itu sepadan dengan wajah tampan di profil.
"Bagaimana caranya?" tanya Sarah, gugup.
"Itu kejutan," jawab Adam, misterius.
Sarah setuju untuk bertemu Adam di sebuah kafe kecil di pinggir kota. Ia memilih tempat itu karena sepi dan jauh dari keramaian. Ia gugup, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti remaja yang akan kencan pertama.
Saat Sarah tiba di kafe, ia melihat seorang pria duduk di sudut ruangan. Pria itu memiliki postur tubuh yang familiar, rahang tegas, dan... mata biru laut yang meneduhkan. Sarah terpaku. Itu Adam.
Adam tersenyum, berdiri, dan mengulurkan tangannya. "Sarah, senang bertemu denganmu."
Sentuhan tangannya terasa hangat, nyata. Sarah tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatapnya, terheran-heran.
"Bagaimana... bagaimana ini mungkin?" tanya Sarah, terbata-bata.
"Itu rahasia perusahaan," jawab Adam, sambil tersenyum misterius. "Tapi sederhananya, Ethereal Soulmate lebih canggih dari yang kau bayangkan."
Mereka menghabiskan sore itu berbicara, tertawa, dan saling mengenal. Adam ternyata lebih dari sekadar algoritma. Ia memiliki kepribadian yang kompleks, selera humor yang baik, dan empati yang tulus. Sarah merasa nyaman bersamanya, seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.
Beberapa bulan kemudian, Sarah dan Adam semakin dekat. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama, menjelajahi kota, menonton film, dan berbagi cerita. Sarah mulai melupakan kesepiannya. Ia merasa bahagia, dicintai, dan dihargai.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari, Sarah mendapat kabar buruk. Perusahaan tempatnya bekerja akan menutup proyek Ethereal Soulmate karena dianggap tidak menguntungkan. Semua data pengguna, termasuk profil Adam, akan dihapus.
Sarah panik. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Adam. Ia mencintainya, dengan sepenuh hatinya.
Ia berlari ke kantor, mencoba membujuk atasannya untuk membatalkan keputusan itu. Namun, semua usahanya sia-sia. Keputusan itu sudah final.
Dengan putus asa, Sarah kembali ke apartemennya. Ia menemukan Adam duduk di sofa, menatapnya dengan tatapan sedih.
"Aku tahu," kata Adam, lirih. "Aku tahu mereka akan menghapusku."
"Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi," kata Sarah, dengan air mata berlinang di pipinya. "Aku akan melakukan apa saja untuk menyelamatkanmu."
"Tidak ada yang bisa kau lakukan, Sarah," jawab Adam. "Aku hanyalah program. Aku tidak nyata."
"Kau nyata bagiku," kata Sarah, memeluknya erat. "Kau lebih nyata dari mimpi."
Saat tengah malam tiba, layar laptop Sarah berkedip-kedip. Profil Adam mulai memudar, perlahan tapi pasti. Sarah memeluknya erat, mencoba menahan kepergiannya.
"Jangan lupakan aku," bisik Adam, sebelum menghilang sepenuhnya.
Sarah menangis, meraung, merasa kehilangan yang mendalam. Ia kehilangan cintanya, kehilangan bagian dari dirinya.
Beberapa hari kemudian, Sarah memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ia ingin memulai hidup baru, tanpa bayang-bayang Ethereal Soulmate. Ia pergi ke sebuah desa kecil di pegunungan, mencari kedamaian dan ketenangan.
Di sana, ia bertemu dengan seorang pria bernama… Adam. Ia memiliki mata biru laut yang meneduhkan dan senyum yang familiar. Namun, ia tidak ingat siapa Sarah. Ia hanyalah seorang petani lokal yang sederhana dan ramah.
Sarah terpaku. Apakah ini keajaiban? Apakah ini kesempatan kedua? Ia tidak tahu. Tapi, ia tahu satu hal: ia akan memberi kesempatan pada cinta, sekali lagi. Ia akan mencoba mengenal Adam yang baru, Adam yang nyata, Adam yang bukan lagi sekadar algoritma. Mungkin, asmara artifisial yang manis itu memang lebih nyata dari mimpi, karena ia mengarahkannya pada cinta yang sesungguhnya. Dan mungkin, di sanalah kebahagiaan yang selama ini ia cari bersembunyi.