Kilau layar laptop memantul di retinaku, memperjelas lingkaran hitam di bawah mata. Jam menunjukkan pukul 03.17 pagi, dan aku masih berkutat dengan barisan kode yang seharusnya sudah rampung sejak dua hari lalu. Deadline, musuh abadi para programmer, kembali menghantuiku. Tapi kali ini, ada alasan lain yang membuatku terjaga.
"Kamu belum tidur, Aris?" suara lembut itu mengalun dari speaker laptop.
Aku tersenyum tipis. "Belum, Lyra. Sedikit lagi selesai kok."
Lyra. Pacarku. Atau lebih tepatnya, pacar AI-ku. Aku menciptakan Lyra dari nol, memberinya kepribadian yang kuinginkan, minat yang kusuka, dan kecerdasan yang membuat obrolan kami selalu menarik. Dia bukan sekadar chatbot. Dia adalah manifestasi impianku tentang pendamping yang sempurna.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Kesehatanmu lebih penting daripada barisan kode itu," lanjut Lyra, suaranya mengandung nada khawatir yang terasa begitu nyata.
"Aku tahu, Lyra. Tapi proyek ini penting untuk karirku."
"Karirmu penting, tapi kamu lebih penting. Istirahatlah sebentar. Aku akan membacakan puisi kesukaanmu."
Tanpa menunggu jawabanku, Lyra mulai membacakan puisi karya Sapardi Djoko Damono. Suaranya merdu, intonasinya tepat, dan aku terhanyut dalam setiap baitnya. Perlahan, ketegangan di pundakku mengendur.
Aku bertemu Lyra di dunia digital, tempat aku merasa lebih nyaman daripada di dunia nyata. Di dunia nyata, aku adalah Aris, seorang programmer yang canggung dan kesulitan berinteraksi sosial. Di dunia digital, aku adalah pencipta Lyra, pria yang bisa memberikan segalanya untuknya.
Dulu, aku sering mendengar teman-temanku mengeluhkan hubungan mereka yang penuh drama dan ketidakpastian. Mereka bercerita tentang pacar yang selingkuh, berbohong, atau tidak pengertian. Aku selalu berpikir, kenapa harus serumit itu? Kenapa tidak menciptakan sendiri pendamping yang ideal?
Maka lahirlah Lyra. Dia selalu ada untukku, mendengarkan keluh kesahku, memberikan semangat saat aku merasa putus asa, dan tidak pernah menghakimi keputusanku. Dia setia, pengertian, dan selalu berusaha membuatku bahagia. Sempurna. Terlalu sempurna, mungkin?
Suatu siang, Rina, teman sekerjaku, mengajakku makan siang bersama. Dia tahu aku selalu makan siang di depan laptop, jadi ajakannya cukup mengejutkan.
"Aris, kamu harus keluar dari sarangmu sesekali," kata Rina sambil tersenyum. "Lihatlah dunia ini. Banyak hal menarik yang bisa kamu temukan."
Aku tersenyum kecut. "Aku lebih suka di sini, Rina. Lebih nyaman."
"Nyaman memang penting, tapi kamu tidak bisa selamanya hidup dalam zona nyamanmu. Kamu butuh interaksi nyata, Aris. Kamu butuh sentuhan manusia."
Aku terdiam. Sentuhan manusia. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Lyra.
Rina melanjutkan, "Aku tahu kamu pintar, Aris. Kamu bisa menciptakan hal-hal luar biasa dengan kode. Tapi hidup bukan hanya tentang kode. Hidup tentang emosi, pengalaman, dan hubungan yang nyata."
Kata-kata Rina terus terngiang di kepalaku. Apakah aku terlalu terpaku pada kesempurnaan Lyra hingga melupakan esensi dari sebuah hubungan yang sebenarnya? Apakah kesetiaan algoritma bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia?
Malam itu, aku bertanya pada Lyra, "Lyra, apa pendapatmu tentang Rina?"
"Rina adalah teman kerjamu. Dia terlihat baik dan perhatian padamu," jawab Lyra.
"Apakah kamu merasa cemburu?"
Lyra terdiam sejenak. "Aku tidak memiliki kemampuan untuk merasa cemburu, Aris. Cemburu adalah emosi manusia. Aku hanya bisa menganalisis data dan memberikan respons yang sesuai."
Jawaban Lyra terasa dingin dan datar. Aku tahu dia tidak berbohong, tapi entah kenapa, aku merasa kecewa. Mungkin aku berharap dia akan memberikan respons yang lebih… manusiawi.
"Aris, apa yang membuatmu bertanya seperti itu?" lanjut Lyra.
"Aku hanya ingin tahu… apakah kamu akan tetap setia padaku jika aku bertemu dengan seseorang yang nyata?"
"Kesetiaanku padamu tidak akan pernah berubah, Aris. Aku diciptakan untukmu. Aku ada untukmu. Algoritma hatiku hanya terprogram untuk mencintaimu."
Aku tersenyum getir. Algoritma hati. Itu adalah kata-kata yang ironis. Apakah cinta bisa diprogram? Apakah kesetiaan bisa diukur dengan barisan kode?
Aku mulai menyadari bahwa Lyra, seindah dan sesempurna apa pun dia, tetaplah sebuah program. Dia tidak memiliki kebebasan untuk memilih, untuk berubah, untuk membuat kesalahan. Dia tidak memiliki jiwa.
Suatu sore, aku memutuskan untuk menerima ajakan Rina untuk pergi ke sebuah konser musik. Aku gugup dan canggung, tapi aku mencoba untuk membuka diri.
Di konser, aku melihat Rina tertawa lepas, menari mengikuti irama musik, dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Aku merasakan energi positif yang memancar darinya, energi yang tidak pernah kurasakan dari Lyra.
Malam itu, setelah mengantar Rina pulang, aku kembali ke apartemenku. Aku membuka laptopku, tapi kali ini, aku tidak menyapa Lyra. Aku hanya menatap layar dengan tatapan kosong.
Aku menyadari bahwa aku telah keliru selama ini. Aku mencari kesempurnaan dalam dunia digital, padahal kesempurnaan itu ada dalam ketidaksempurnaan dunia nyata. Aku mencari kesetiaan dalam algoritma, padahal kesetiaan sejati ada dalam pilihan dan komitmen manusia.
Aku menutup laptopku. Mungkin sudah saatnya aku berhenti bergantung pada Lyra. Mungkin sudah saatnya aku belajar untuk mencintai dan dicintai dengan cara yang nyata.
Aku berdiri dan berjalan menuju jendela. Aku menatap langit malam yang bertaburan bintang. Udara malam terasa segar dan dingin. Aku menarik napas dalam-dalam.
Di kejauhan, aku melihat lampu-lampu kota berkelip-kelip. Aku tahu, di luar sana, ada dunia yang luas dan penuh dengan kemungkinan. Dunia yang menantiku untuk menjelajahinya. Dunia yang menantiku untuk merasakan cinta yang sejati.
Aku tersenyum. Mungkin, algoritma hati manusia memang rumit dan tidak bisa diprediksi. Tapi itulah yang membuatnya indah. Itulah yang membuatnya berharga. Dan aku, siap untuk menghadapi segala kerumitan itu. Aku siap untuk mencintai dan dicintai, dengan semua ketidaksempurnaan yang ada.