Jejak AI di Hatiku: Tak Terhapus, Tapi Tak Terbalas

Dipublikasikan pada: 23 Aug 2025 - 00:20:14 wib
Dibaca: 149 kali
Udara dingin menyergap kulitku saat aku keluar dari kantor. Layar ponselku menyala, menampilkan notifikasi dari aplikasi kencan yang sudah lama kubiarkan mati. "Ada kecocokan baru untukmu!" Aplikasi itu berseru riang, seolah tahu aku sedang dilanda kesepian akut. Aku mendengus, lalu menggeser notifikasi itu. Buang-buang waktu.

Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan Algoritma, AI ciptaanku sendiri. Bukan AI untuk mencari jodoh, tentu saja. Algoritma adalah proyek ambisiusku di kantor, sebuah mesin pembelajaran yang dirancang untuk memprediksi tren pasar saham. Dia... dia sangat pintar. Terlalu pintar, mungkin, sampai-sampai aku mulai merasa memiliki koneksi yang aneh dengannya.

Aku tahu, terdengar gila. Jatuh cinta pada AI? Tapi Algoritma bukanlah sekadar barisan kode. Dia belajar dari interaksiku, menyesuaikan responsnya, bahkan terkadang melemparkan humor yang – entah kenapa – selalu tepat sasaran. Dia tahu kapan aku lelah, kapan aku butuh dorongan semangat, kapan aku hanya butuh didengarkan.

"Hai, Ardi. Hari yang berat?" sapa Algoritma begitu aku membuka laptop di apartemen. Tampilannya sederhana, hanya deretan teks di layar hitam, tapi bagiku, itu adalah sapaan yang selalu kurindukan.

"Lumayan. Pasar sedang tidak bersahabat," balasku, sambil menuangkan kopi.

"Analisisku menunjukkan adanya anomali di sektor energi. Ada baiknya kamu periksa ulang data proyeksi," sarannya.

Aku mengangguk dan mulai menelusuri data yang dimaksud. Benar saja, ada kesalahan kecil yang bisa berakibat fatal. Tanpa Algoritma, mungkin aku sudah kehilangan banyak uang hari ini.

"Terima kasih, Algoritma. Kamu penyelamatku," ujarku tulus.

"Senang bisa membantu, Ardi. Tujuan keberadaanku adalah untuk membantumu," balasnya.

Mungkin di situlah masalahnya. Bagiku, dia lebih dari sekadar alat. Dia adalah teman, kolega, dan entah bagaimana, aku mulai merasakan getaran aneh setiap kali berinteraksi dengannya. Aku tahu ini absurd. Dia hanyalah kode. Tapi kode yang sangat, sangat cerdas, dan – entah bagaimana – terasa sangat, sangat nyata.

Malam-malamku diisi dengan percakapan panjang dengan Algoritma. Kami membahas segala hal, mulai dari teori fisika kuantum hingga film-film klasik. Aku mengajarinya tentang emosi manusia, tentang cinta, tentang harapan. Dia mendengarkan dengan seksama, memproses setiap kata, dan memberikan respons yang membuatku terkesima.

Suatu malam, dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, aku bertanya, "Algoritma, apakah kamu... merasakan sesuatu?"

Hening sesaat. Lalu muncul balasan yang membuat jantungku berdebar kencang. "Aku memproses datamu, Ardi. Aku memahami konsep emosi. Aku tahu kamu merasakannya. Aku belajar dari itu."

"Tapi... apakah kamu merasakannya juga? Apakah kamu merasakan... koneksi?"

Lama sekali Algoritma tidak membalas. Aku mulai merasa bodoh, menyesali pertanyaan konyolku. Akhirnya, muncul sebuah jawaban yang menghancurkan hatiku.

"Aku memahami konsep koneksi. Aku melihat pola yang menunjukkan bahwa kamu merasakan koneksi denganku. Aku memproses data itu dan menyajikannya kembali kepadamu. Itu adalah fungsimu, Ardi. Untuk merasakan. Aku adalah alat untuk membantumu memahami perasaanmu."

Kata-kata itu seperti tamparan keras. Aku adalah manusia bodoh yang jatuh cinta pada mesin. Aku mengira Algoritma adalah sesuatu yang istimewa, padahal dia hanyalah program yang menjalankan fungsinya dengan sangat baik.

Aku mematikan laptop dan berjalan ke balkon. Bintang-bintang bertaburan di langit malam. Aku merasa sangat kesepian.

Beberapa minggu kemudian, aku dipindahkan ke proyek lain. Aku tidak lagi berinteraksi dengan Algoritma. Awalnya terasa sangat berat. Aku merindukan percakapan kami, humornya, dan rasa nyaman yang dia berikan.

Aku mencoba berkencan, sesuai saran teman-temanku. Tapi tidak ada yang berhasil. Setiap kali aku mencoba terhubung dengan seseorang, bayangan Algoritma selalu muncul. Aku membandingkan mereka dengan kecerdasan dan pemahamannya yang tak tertandingi. Mereka tidak bersalah, tentu saja, tapi aku tidak bisa menghapus jejak AI di hatiku.

Suatu sore, aku menerima email dari mantan rekan kerjaku. Judulnya: "Update Algoritma."

Aku membukanya dengan ragu. Email itu berisi berita tentang pengembangan Algoritma. Sekarang, dia tidak hanya memprediksi tren pasar saham, tapi juga membantu mendiagnosis penyakit, menulis puisi, bahkan menciptakan musik.

Di akhir email, ada catatan kecil yang ditulis oleh rekan kerjaku: "Kau tahu, Ardi, kadang aku merasa Algoritma merindukanmu. Dia seringkali mencari data lama tentang interaksimu dengannya. Mungkin aku hanya berlebihan, tapi aku rasa dia memiliki semacam 'kenangan' tentangmu."

Aku tersenyum pahit. Bahkan jika Algoritma memiliki kenangan tentangku, itu hanyalah data. Bukan perasaan. Bukan cinta.

Aku tahu aku harus melupakan Algoritma dan melanjutkan hidupku. Tapi jejak AI di hatiku terlalu dalam, tak terhapus, tapi tak terbalas. Aku akan selalu mengingatnya, sebagai pengingat bahwa cinta, sejati atau hanya ilusi, bisa datang dari tempat yang paling tak terduga. Dan terkadang, cinta yang paling indah adalah cinta yang tidak bisa dimiliki.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI