Sentuhan Algoritma: Saat Hati Pilih Jalan Pintas Cinta

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:09:17 wib
Dibaca: 169 kali
Aplikasi kencan Algoritma Cinta itu memang gila. Semua orang di kantor membicarakannya. Katanya, akurasinya mendekati 98% dalam menemukan pasangan yang cocok. Bayangkan, 98%! Di dunia yang penuh ketidakpastian ini, angka itu bagaikan oase di gurun pasir. Aku, seorang programmer yang lebih nyaman dengan barisan kode daripada interaksi sosial, tentu saja penasaran.

Namaku Ardi, 28 tahun, dan selama ini, kisah cintaku lebih mirip bug dalam sistem operasi: selalu ada masalah dan seringkali berakhir dengan blue screen. Jadi, ketika Sari, si desainer grafis yang selalu ceria, memamerkan foto profil pacar barunya – hasil algoritma – aku akhirnya menyerah. Aku unduh Algoritma Cinta.

Prosesnya cukup sederhana. Aku mengisi serangkaian pertanyaan, mulai dari hobi, preferensi makanan, hingga pandangan tentang masa depan. Algoritma lalu mencocokkan dataku dengan ribuan profil lain. Hasilnya? Seorang wanita bernama Aila.

Profil Aila sungguh sempurna. Usia 27 tahun, bekerja sebagai pustakawan, menyukai buku, musik klasik, dan pendakian gunung. Kami berdua sama-sama introvert dan punya selera humor yang… yah, cukup aneh untuk dimengerti satu sama lain. Aplikasi itu bahkan memberikan persentase kecocokan: 99.2%. Hampir sempurna.

Aku memberanikan diri mengirimkan pesan. Aila membalas. Kami mulai bertukar pesan setiap hari, membahas buku-buku favorit, film-film klasik, dan mimpi-mimpi kami yang terpendam. Semuanya terasa mudah, nyaman, dan menyenangkan. Seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.

Setelah dua minggu saling berkirim pesan, kami sepakat untuk bertemu. Kafe buku di pusat kota menjadi saksi kencan pertama kami. Jantungku berdebar kencang saat melihat Aila. Dia persis seperti fotonya: rambut hitam panjang, mata coklat yang hangat, dan senyum yang menenangkan.

Kencan itu berjalan lancar. Kami tertawa, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan. Seolah algoritma itu benar-benar tahu apa yang aku inginkan. Aila adalah versi wanita dari diriku sendiri, tapi lebih ceria dan lebih berani.

Beberapa minggu kemudian, kami resmi berpacaran. Hubungan kami terasa seperti program yang berjalan dengan mulus tanpa gangguan. Tidak ada drama, tidak ada pertengkaran, hanya kebahagiaan yang stabil dan terukur. Kami melakukan hal-hal yang kami sukai bersama: membaca buku di taman, menonton film klasik di rumah, dan mendaki gunung di akhir pekan.

Satu tahun berlalu. Aku dan Aila semakin dekat. Kami mulai membicarakan tentang masa depan, tentang pernikahan dan keluarga. Semuanya terasa logis, terencana, dan terkalkulasi dengan baik. Algoritma itu memang ajaib.

Namun, di suatu malam yang sunyi, saat kami berdua duduk di balkon apartemenku, menikmati bintang-bintang, Aila tiba-tiba bertanya, "Ardi, apakah kamu benar-benar mencintaiku?"

Pertanyaan itu membuatku tertegun. Tentu saja aku mencintainya. Kami sangat cocok, kami memiliki banyak kesamaan, dan kami bahagia bersama. Tapi, ketika aku mencoba mengucapkan kata-kata itu, suaraku tercekat.

"Tentu saja, Aila. Aku… aku sangat menyayangimu," jawabku akhirnya, merasa tidak yakin dengan kata-kataku sendiri.

Aila menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Tapi… apakah itu cinta yang sesungguhnya? Atau hanya hasil dari perhitungan algoritma?"

Pertanyaan itu menghantamku seperti petir. Apakah benar begitu? Apakah cintaku pada Aila hanya hasil dari perhitungan matematika? Apakah aku hanya mencintainya karena algoritma mengatakan bahwa kami cocok?

Aku mulai meragukan perasaanku sendiri. Aku mulai bertanya-tanya apakah kebahagiaan yang kurasakan selama ini hanyalah ilusi, sebuah simulasi yang dirancang dengan sempurna.

Beberapa hari kemudian, aku mencoba berbicara dengan Sari. Aku menceritakan keraguanku tentang hubunganku dengan Aila. Sari mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Ardi, algoritma itu hanya alat. Ia bisa membantu kita menemukan orang yang cocok, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta itu tumbuh dari interaksi, dari pengalaman, dari menerima kekurangan satu sama lain."

Kata-kata Sari menyadarkanku. Aku selama ini terlalu fokus pada kesamaan kami, pada kecocokan yang dihasilkan oleh algoritma. Aku lupa untuk benar-benar mengenal Aila, untuk melihat di balik profil dan data yang terpampang di aplikasi.

Aku memutuskan untuk berbicara dengan Aila. Aku menceritakan keraguanku, ketakutanku, dan kebingunganku. Aila mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Aku juga merasakan hal yang sama, Ardi. Aku senang kita cocok, tapi aku juga ingin dicintai apa adanya, bukan karena algoritma."

Malam itu, kami memutuskan untuk melepaskan diri dari belenggu algoritma. Kami menghapus aplikasi Algoritma Cinta dari ponsel kami. Kami sepakat untuk saling mengenal lebih dalam, untuk menerima kekurangan masing-masing, dan untuk membangun hubungan yang didasarkan pada cinta yang sesungguhnya, bukan hanya perhitungan matematika.

Prosesnya tidak mudah. Kami harus belajar untuk berkomunikasi lebih baik, untuk mengatasi perbedaan pendapat, dan untuk saling mendukung dalam menghadapi tantangan. Tapi, seiring waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang baru dalam hubunganku dengan Aila. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat, dan lebih nyata daripada kebahagiaan yang terukur.

Aku mulai melihat Aila bukan hanya sebagai profil yang sempurna, tapi sebagai seorang wanita yang unik, dengan kelebihan dan kekurangannya. Aku mulai mencintai keunikannya, kekurangannya, dan semua hal yang membuatnya menjadi Aila.

Suatu malam, di balkon yang sama, di bawah bintang-bintang yang sama, aku kembali bertanya pada Aila, "Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"

Aila tersenyum, lalu menggenggam tanganku erat-erat. "Sekarang, Ardi, aku tahu bahwa cinta kita lebih dari sekadar algoritma. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu."

Aku membalas senyumnya, lalu memeluknya erat-erat. Aku tahu, perjalanan kami masih panjang. Akan ada tantangan, akan ada kesulitan. Tapi, kali ini, aku yakin bahwa kami bisa menghadapinya bersama, karena cinta kami didasarkan pada sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar perhitungan matematika. Cinta kami adalah sentuhan hati, bukan sentuhan algoritma. Kami memilih jalan cinta kami sendiri, bukan jalan pintas cinta. Dan jalan itu, meski lebih berliku, terasa jauh lebih indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI