Algoritma Jatuh Cinta: Apakah Cinta Butuh Upgrade?

Dipublikasikan pada: 03 Nov 2025 - 03:20:13 wib
Dibaca: 132 kali
Debu memenuhi layar ponselnya. Anya menghela napas, lagi-lagi algoritma kencan online hanya menyuguhkan profil yang tidak sesuai dengan kriterianya. Seorang pecinta alam yang hobi mendaki gunung? Anya lebih suka mendekam di balik layar laptop, coding dan menyesap teh hijau. Seorang musisi dengan rambut gondrong dan tato di sekujur lengan? Anya lebih nyaman dengan ritme ketukan keyboard dan lagu-lagu instrumental klasik.

“Apakah aku terlalu kaku dengan kriteriaku?” gumam Anya, menatap pantulan wajahnya di layar mati.

Anya bekerja sebagai seorang programmer. Baginya, hidup adalah serangkaian kode, logika, dan algoritma. Mencari pasangan pun ia lakukan dengan pendekatan yang sama. Ia menyusun daftar panjang berisi kriteria ideal: tinggi minimal 175 cm, IQ di atas 130, menyukai film indie, minimal S2, tidak merokok, dan daftar itu terus bertambah seiring berjalannya waktu.

Sahabatnya, Rina, seringkali menggelengkan kepala melihat obsesi Anya. “Anya, cinta itu bukan rumus matematika. Kamu tidak bisa memaksanya masuk ke dalam kotak kriteria. Cinta itu datang tanpa perhitungan, tanpa algoritma.”

Anya selalu menolak. Baginya, jatuh cinta tanpa pertimbangan adalah tindakan bodoh. Ia percaya bahwa dengan kriteria yang jelas, ia bisa meminimalisir risiko sakit hati dan kekecewaan. Ia ingin mengoptimalkan peluangnya untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel.

Suatu sore, di sebuah kedai kopi tempat Anya biasa bekerja, seorang pria tidak sengaja menabrak mejanya, menyebabkan laptopnya terjatuh dan mati total.

“Ya ampun, maafkan saya! Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap pria itu panik, wajahnya memerah.

Anya mendongak. Pria itu tidak memenuhi satu pun kriteria idealnya. Rambutnya berantakan, mengenakan kaus band yang lusuh, dan tingginya bahkan kurang dari 175 cm. Tapi matanya, mata cokelatnya, memancarkan ketulusan yang membuat Anya tertegun.

“Tidak apa-apa,” jawab Anya datar, berusaha menyembunyikan kekagetan. “Hanya laptop.”

“Biar saya ganti rugi. Saya akan bawa ke tempat servis terpercaya,” tawar pria itu dengan nada bersalah.

“Tidak perlu,” Anya bersikeras. “Saya bisa memperbaikinya sendiri.”

“Anda yakin? Biar saya bantu, setidaknya bawakan ke tempat servis.”

Akhirnya, dengan enggan Anya mengiyakan. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Leo, seorang seniman grafiti yang sedang mempersiapkan pameran tunggal. Mereka berdua pergi ke tempat servis laptop terdekat.

Selama menunggu laptop diperbaiki, mereka berbincang. Leo bercerita tentang passionnya dalam seni, tentang bagaimana ia menuangkan perasaannya ke dalam setiap karyanya. Anya, yang biasanya hanya tertarik pada kode dan logika, mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasa tertarik dengan dunia Leo, dunia yang penuh warna, emosi, dan kebebasan.

Anehnya, Anya merasa nyaman berada di dekat Leo. Ia tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain, tidak perlu memenuhi ekspektasi siapa pun. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, dengan segala kekurangannya.

Beberapa hari kemudian, Leo menelepon Anya dan mengundangnya ke pameran tunggalnya. Anya, meskipun merasa sedikit ragu, akhirnya menerima undangan itu. Ia ingin melihat dunia Leo lebih jauh.

Di pameran itu, Anya terpukau. Lukisan-lukisan Leo begitu ekspresif, penuh dengan makna tersembunyi. Ia melihat bagaimana Leo menuangkan jiwanya ke dalam setiap goresan kuas. Anya merasa seperti melihat sisi lain dari dirinya yang selama ini terpendam.

Setelah pameran, mereka berjalan-jalan di taman kota. Di bawah sinar rembulan, Leo bercerita tentang mimpinya, tentang keinginannya untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik melalui seninya. Anya mendengarkan dengan seksama, hatinya berdebar-debar.

“Anya,” panggil Leo lembut, meraih tangannya. “Saya tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi saya merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita.”

Anya menatap mata Leo, matanya yang tulus dan penuh cinta. Ia tidak menemukan satu pun alasan untuk menolak perasaannya. Semua kriteria idealnya, semua algoritma yang ia susun dengan susah payah, terasa tidak relevan saat ini.

“Saya juga merasakan hal yang sama, Leo,” jawab Anya pelan.

Malam itu, Anya menyadari bahwa cinta memang tidak bisa diprediksi, tidak bisa diatur oleh algoritma. Cinta datang tanpa perhitungan, tanpa kriteria. Cinta adalah sebuah perasaan yang tulus, yang menerima segala kelebihan dan kekurangan.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Leo resmi menjadi sepasang kekasih. Anya mulai belajar melukis, sementara Leo mulai tertarik dengan dunia pemrograman. Mereka saling melengkapi, saling belajar, dan saling mencintai.

Anya menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan selama ini. Ia terlalu fokus pada kriteria ideal, sehingga ia melewatkan banyak kesempatan untuk menemukan cinta sejati. Ia terlalu takut untuk membuka hatinya, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang sebenarnya.

“Mungkin,” pikir Anya sambil tersenyum menatap Leo yang sedang asyik mengotak-atik kode program sederhana, “algoritma jatuh cinta memang perlu di-upgrade. Bukan dengan menambahkan kriteria yang lebih ketat, tapi dengan membuka hati dan menerima cinta apa adanya.”

Anya meraih tangan Leo, menggenggamnya erat. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tapi ia yakin, bersama Leo, ia bisa menghadapi segala tantangan. Karena cinta, pada akhirnya, bukan tentang algoritma, tapi tentang koneksi hati yang tulus dan abadi. Dan Anya, akhirnya, telah menemukan koneksi itu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI